Terbunuhnya Brigadir Yosua Nofriansyah Hutabarat, ajudan Inspektur Jenderal Pol. Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022, atas perintah sang jenderal dari Saguling itu melalui tangan bawahannya yang lain, membuka mata publik bahwa menjadi ajudan atau orang terdekat jenderal tidaklah selalu menyenangkan.
Tangan beberapa bawahan Sambo pun menjadi kotor. Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, yang diperintahkan Sambo untuk menembak Yosua, harus jadi pesakitan dan menjalani pengadilan. Ini belum termasuk yang dialami ajudan Sambo yang lain.
Sambo punya beberapa ajudan. Mereka adalah para brigadir polisi, setara sersan di TNI. Publik mengira semua yang menjaga Sambo adalah ajudan. Eliezer sendiri bukanlah ajudan, dia hanya sopir sang jenderal.
Baca juga: Kencan Ajudan Presiden Sukarno
Pada zaman Belanda, ajudan dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL), adalah pangkat militer yang kira-kira setara pembantu letnan di TNI saat ini, yang biasa ditulis sebagai adjudant. Seorang ajudan di KNIL biasanya berusia cukup senior dan sudah sangat lama menjadi sersan. Mereka nyaris tak bisa melampaui pangkat itu dengan menjadi letnan sebelum mereka pensiun.
Ajudan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah perwira yang diperbantukan kepada raja, presiden, atau perwira tinggi, biasanya diberi tugas mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan pekerjaannya. Jadi, ajudan yang dimaksud dewasa ini adalah pembantu pejabat dan kerap mengawal atau mengikuti si pejabat dalam banyak urusan.
Baca juga: Keluarga KS Tubun Setelah G30S
Dalam dunia pengawalan pejabat, selain ajudan dan sopir, ada pengawal (yang biasanya dari militer atau polisi) yang bertugas menjaga rumah seorang pejabat. Karel Sadsuitubun, yang gugur pada dini hari 1 Oktober 1965 ketika menjaga rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, adalah contoh seorang pengawal pejabat.
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, sebelum gugur pada 1 Oktober 1965, adalah contoh seorang ajudan. Tendean adalah ajudan dari Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution ketika Sukarno masih menjadi presiden.
Baca juga: Kisah Pierre Tendean Si Ajudan Tampan
Terbunuh oleh atasan sendiri seperti Yosua adalah kasus langka dalam sejarah hubungan ajudan dan yang diajudani. Kisah Yosua tentu berbeda dengan Tendean. Tendean gugur setelah dibawa dari rumah Nasution ke Lubang Buaya.
“Saya Nasution,” kata Tendean kepada para pasukan penculik G30S yang hendak menculik Nasution. Setelahnya Tendean dibawa ke Lubang Buaya. Buku Monumen Pancasila Çakti menyebut Pelda Djahurup dan kawan-kawannya begitu pasti bahwa orang yang tertangkap itu adalah Jenderal Nasution. Namun, sebagian pasukan penculik yang dipimpin Djahurup itu melihat Nasution di ruang lain.
Tak hanya dalam menjaga atasan, ada pula ajudan perwira yang gugur dalam percobaan senjata. Itulah yang dialami Letnan Olih, ajudan Kapten Soegih Arto, komandan batalyon TNI di Jawa Barat pada masa revolusi.
Baca juga: Cerita Lucu Batalion Soegih Arto di Cibatu
Suatu hari, mereka kedatangan kiriman mortir buatan dalam negeri di masa perang. Meski ada kekurangan dan meragukan, mortir ini merupakan suatu pencapaian yang baik. Mortir ini diuji coba oleh Letnan Olih.
“Siaaap, tembaaak!” seru Soegih Arto. Mortir itu ditembakan namun yang terjadi malah ledakan pada mortir itu sehingga Letnan Olih celaka. Kepalanya hilang karena ledakan mortir. Beberapa bocah yang menonton uji coba itu juga terluka. Soegih Arto mencatat kisah ini dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid I. Setelahnya, Soegih Arto, yang kelak menjadi Jaksa Agung, memutuskan agar pasukannya tidak memakai mortir tersebut karena menyebabkan ajudannya gugur.
Selain karena kecelakaan dan usaha menjaga pimpinan, tidak sedikit ajudan yang celaka ketika atasannya terpuruk. Sebut saja Kolonel CPM Maulwi Saelan, mantan ajudan Presiden Sukarno (1966–1967). Meski tak ikut serta atau paham soal penculikan jenderal dalam G30S, Maulwi kerap dikaitkan dengan G30S.
Baca juga: Maulwi Saelan: Sukarno Tak Terlibat G30S
Ajudan yang dekat dengan pejabat dan politisi pun bisa bernasib malang seperti Kapten Andi Azis. Mantan ajudan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Gde Raka Sukowati itu, sebelum kejadian 5 April 1950, diajak ke rumah bekas Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung NIT Dr. Christian Steven Soumokil. Di sana, Andi Azis didaulat memimpin gerakan menolak tentara dari Jawa.
Andi Azis yang buta politik pun terjebak dalam kekacauan politik di Indonesia Timur. Gerakannya jelas ditunggangi oleh politisi sipil. Kala itu ada kelompok anti negara kesatuan dan masih ingin meneruskan bentuk negara federal di Makassar. Begitulah derita ajudan. Tak semua ajudan bernasib mujur seperti Try Sutrisno, Sjafrie Sjamsoeddin, Wiranto, atau Budi Gunawan yang kariernya melesat di pemerintahan.*