Pada malam 30 September 1965, Margaretha Wagina sedang berada di rumah bersama anak-anaknya. Suaminya sedang bertugas di kota yang berbeda dengannya.
Wagina ingat bagaimana dulu berkenalan dengan suaminya pada 1954. Waktu itu, dia tinggal di rumah saudaranya yang menjadi suster di Jakarta. Lalu, ia berkenalan dengan seorang perempuan yang bertunangan dengan anggota Brigade Mobil (Brimob).
Wanita itu mengajak Wagina berfoto. Ia mengirimkan foto itu ke tunangannya yang sedang bertugas di Aceh. Foto itu tidak hanya dilihat tunangannya, tapi juga kawannya yang sama-sama bertugas sebagai Brimob di Aceh.
Kawan itu bernama Karel Sadsuitubun, yang dikenal dengan Karel Tubun atau KS Tubun. Kedua anggota Brimob itu pulang dari Aceh sekitar 1954. Wagina berkenalan secara langsung dengan KS Tubun.
“Kami bergaul (berpacaran, red.) cukup lama yaitu lima tahun. Selama bergaul itu, Karel sering beroperasi di daerah, sehingga saya katakan bahwa kita tidak bisa terus-menerus begini. Sebab itulah akhirnya kami menikah dan dikaruniai 3 anak,” kata Wagina dalam majalah Kartini No. 25 tahun 1975. KS Tubun pernah terlibat dalam penumpasan PRRI dan operasi perebutan Irian Barat.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Pada malam 30 September 1965 jelang 1 Oktober 1965, KS Tubun sedang bertugas menjaga rumah Wakil Perdana Menteri dr. Johannes Leimena di Menteng, Jakarta Pusat, yang terletak di sebelah rumah Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
Kala itu, KS Tubun sudah berpangkat Brigadir Polisi. Dia berjaga bersama Lussy dan Lubis. Frans Hitipeuw dalam Karel Sadsuitubun menyebut Lussy berjaga di bagian belakang rumah, sedangkan Lubis dan KS Tubun berjaga di bagian depan. Jelang pukul 4 subuh, gerombolan berseragam dan bersenjata di bawah pimpinan Pembantu Letnan Dua Djaharup merangsek ke rumah Nasution.
Lussy yang berada di dalam rumah melihat kedatangan gerombolan itu. Dia bersabar dengan tidak menembak gerombolan itu agar Leimena tidak terancam. Beberapa anggota gerombolan lalu menyatroni bagian depan rumah Leimena. Mereka melucuti Lubis.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Setia Sampai Akhir
Sementara itu, KS Tubun yang sedang dapat giliran tidur dibangunkan dengan kasar oleh gerombolan itu.
“Karel Sadsuitubun terbangun dan ia melihat yang ada di depannya bukan kawannya. Maka Karel terus melompat langsung berkelahi dengan anggota gerombolan PKI itu,” tulis Hitipeuw.
A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 6 Masa Kebangkitan Orde Baru menyebut KS Tubun berhadapan dengan delapan orang prajurit Angkatan Darat terlatih yang ikut Gerakan 30 September.
KS Tubun kelahiran Tual, Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928, dan sudah berkarier di kepolisian selama 14 tahun tewas ditembak gerombolan itu. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Pangkatnya dinaikkan dari Brigadir Polisi menjadi Ajun Inspektur Polisi II. Ia dijadikan Pahlawan Revolusi dan nama jalan salah satunya di depan kantor Historia.ID di Slipi, Jakarta Barat.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara
Setelah pagi 1 Oktober 1965, kabar kematian KS Tubun sampai ke Wagina. Ia sedih dan kehilangan tapi harus kuat untuk menjaga ketiga anaknya: Phillipus Sumarno, Petrus Indro Waluyo, dan Linus Paulus Suprapto.
Paulus masih berumur satu tahun ketika ayahnya gugur dalam tugas. Suatu hari, ketika ia berusia lima tahun merengek kepada ibunya.
“Ayo, Mak. Kita lihat Bapak?” desak Paulus.
“Ya, sebentar dong, Mak kan berpakaian dulu,” kata Wagina.
“Cepat sedikit, dan kasihan Bapak menunggu,” desak Paulus lagi.
Mereka lalu tiba di Kalibata. Tepat di pusara ayahnya, Paulus yang masih bocah bertanya, “Bapak di mana ya, Mak?”
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: DI Pandjaitan, Jenderal-Pendeta yang Gugur di Hadapan Keluarga
Wagina tentu sulit mengatakan kepada anaknya bahwa ayahnya sudah lama pergi dari dunia ini. Ia tak kuat mengatakannya secara langsung. Tapi hari itu ia harus menunjukannya.
“Ya di sini, di kuburan. Di dalam ini ada Bapak,” jawab Wagina dengan lemah lembut. Paulus pun bengong. Ia sudah tahu kuburan adalah tempat orang yang sudah mati.
“Kalau begitu Bapak sudah mati?” tanya Paulus. Wagina mengiyakan.
Paulus bertanya lagi, “Kalau begitu Bapak sudah mati?” Wagina hanya bisa mengangguk karena sedih.
Begitulah kesedihan Wagina dan anak-anaknya. Wagina kembali merasakan kesedihan ketika pada 1970-an Petrus mengutarakan keinginan menjadi polisi seperti ayahnya dan Paulus ingin jadi tentara.
Setelah kematian KS Tubun, Wagina dan anak-anaknya harus meninggalkan Kedunghalang, Bogor. Sejak 1974, mereka tinggal di sebuah rumah kavling yang dihadiahkan kepada keluarga ini di Jelambar, Jakarta. Jauh setelah kepergian KS Tubun, Wagina sering didatangi lewat mimpi. Keluarga penganut Katolik ini berusaha pasrah akan perjalanan hidup mereka.*