MAULWI Saelan masih ingat kejadian pada malam 30 September 1965. Saat itu dia sempat menegur Letkol Untung di Istora Senayan yang lalai menjaga salah satu pintu masuk Istora Senayan. Padahal Presiden Sukarno sedang berpidato di hadapan para insinyur di acara Munastek (Musyawarah Nasional Teknik). Maulwi pegang tanggungjawab pengamanan presiden karena Sabur, komandannya, sedang pergi ke Bandung.
Selesai acara, ditemani Kolonel Bambang Widjanarko, Maulwi kembali ke Istana mengantar presiden. Sekira pukul 24.00 dia pulang ke rumahnya di Jalan Birah II, Kebayoran Baru.
Telepon di rumahnya berdering sekitar pukul 05.10, selepas Maulwi sholat Subuh. Dari seberang, ajudan presiden Kombes Sumirat mengabarkan tentang terjadinya penembakan di rumah Waperdam Leimena dan Menko Hankam/KASAB Jenderal Nasution. Maulwi mengeceknya kemudian.
Selang setengah jam kemudian, Sumirat kembali menelepon. Rumah Menpangau Laksamana Omar Dhani dan rumah Brigjen DI Panjaitan juga ditembaki, katanya. Namun, kabar itu segera dia ralat bahwa rumah Omar Dhani tak ditembaki, dan di sekitar Istana Merdeka ada banyak pasukan tak dikenal.
Di rumah Maulwi, Kapten Suwarno (Dan Ki I Yon KK) sudah hadir pukul 6 kurang seperempat. “Bapak ada di mana?” tanyanya, yang langsung dijawab Maulwi, “Apakah Bapak tak ada di Istana?”
“Tidak ada,” jawab Suwarno.
Mereka berdua segera bergegas mencari keberadaan presiden. Rumah Haryati di Grogol menjadi tujuan mereka, sesuai kebiasaan presiden apabila tak di Istana berarti ada di Wisma Yaso atau di rumah Haryati. Namun presiden tak ada di Grogol. Maulwi buru-buru bergegas ke Wisma Yaso namun langkahnya terhenti ketika sebuah jip DKP yang dilengkapi radio transmittor & receiver Lorentz tiba.
Dengan alat komunikasi itu Maulwi mencari keberadaan presiden. Akhirnya kontak tersambung dengan para pengawal presiden yang sedang bertugas. Mereka menjawab: iring-iringan presiden sedang menuju Istana Merdeka. Maulwi langsung meminta bicara dengan AKBP Mangil komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi).
Keduanya mendapat laporan dari sumber masing-masing mengenai perkembangan situasi dan keberadaan pasukan tak dikenal di sekitar Lapangan Monas. Berbekal informasi itu, Maulwi langsung memerintahkan Mangil agar membawa rombongan presiden ke rumah Haryati di Grogol. Dia menunggu di sana.
Namun rombongan presiden keburu sampai dekat air mancur Monas di Jalan Merdeka. Upaya pembelokan melalui Jalan Kebon Sirih sudah telat. Mangil langsung memerintahkan rombongan berbelok di Jalan Budi Kemuliaan, menuju Grogol untuk menghindari pasukan tak dikenal tadi. Rombongan tiba di rumah Haryati pukul 07.00.
Laporan yang diterima dari Sumirat segera Maulwi sampaikan kepada presiden. Presiden terhenyak dan berubah air mukanya. “Wah, ik ben overrompeld (wah, saya terguncang, red),” ujar presiden, kaget. Dia gelisah dan mengatakan kepada Maulwi bahwa mereka tak bisa berlama-lama di sana.
Sambil terus mengusahakan kontak dengan panglima ketiga angkatan dan Kodam Jaya, Maulwi berunding dengan Mangil mengenai upaya penyelamatan presiden dan ke mana presiden mesti dibawa. Sementara informasi dari berbagai pihak terus berdatangan. Sempat ada upaya membawa presiden untuk sementara ke rumah Sie Bian Ho, seorang kenalan Mangil di Kebayoran Baru. Tapi presiden sendiri akhirnya yang meminta mereka membawanya ke Lanud Halim Perdanakusuma.
“Sesuai prosedur standar operasi (SOP) Resimen Tjakrabirawa, pesawat Jetstar kepresidenan selalu stand by,” ujar Maulwi sebagaimana dimuat dalam biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno.
Setelah persiapan singkat, rombongan berangkat ke Halim. Di ruang Komando Operasi, Menpangau Laksamana Omar Dhani sudah menunggu. Di sanalah mereka tinggal untuk beberapa saat sambil terus mengamati perkembangan yang ada.
Keterangan Maulwi menggugurkan pendapat Kolonel Bambang Widjanarko, yang mengatakan dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno, bahwa Bung Karno terlibat G 30 S. Menurut Bambang, saat di acara Munastek presiden sempat menerima sepucuk surat dari Letkol Untung yang dititipkan lewat Sogol dan Nitri, keduanya anggota Tjakrabirawa bagian hygiene. Presiden, lanjut Bambang, lalu pergi ke toilet ditemani dirinya, Maulwi, dan Mangil. Di teras Istora, presiden berhenti sesaat untuk membaca surat tadi. Isinya, pemberitahuan Untung mengenai akan dimulainya Gerakan 30 September, yang akan menindak sejumlah perwira tinggi AD yang tak disukai Sukarno.
“Saya yang terus mendampingi Bung Karno, dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar, tidak melihat kedatangan pelayan Sogol yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno. Pada malam itu, Bung Karno juga tidak pernah meninggalkan tempat duduk untuk pergi ke toilet dan tidak benar berhenti sejenak di teras Istora yang terang lampunya untuk membaca surat,” bantah Maulwi.
Bambang juga menganggap percakapan Kresna dan Arjuna yang dikutip Sukarno dalam pidatonya di Munastek sebagai sinyal kepada Letkol Untung dan komplotannya untuk bergerak. Padahal, Sukarno sendiri menyatakan cuplikan percapakan itu ditujukan untuk memompa semangat para insinyur agar sadar akan peran dan tanggungjawabnya dalam kehidupan berbangsa.
“Maka aku sekarang berkata kepada para teknisi, kepada seluruh rakyat Indonesia, mari kita kerjakan kita punya tugas, tanpa menghitung-hitung apa yang nanti terjadi dengan kita,” ujar Sukarno dalam pidato itu, sebagaimana dimuat dalam buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara yang dieditori Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.
Menurut James Luhulima dalam Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain, keterangan Bambang hampir semua dibuat-buat untuk keamanan dirinya dan menjadikan Sukarno sebagai kambing hitam. Pernyataan Bambang itu disampaikannya di depan Kolonel CPM Soegiarjo dan AKBP Azwir Nawie dari Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) pada 3 Oktober 1970.
Hasil pemeriksaannya itu lalu muncul menjadi buku The Devious Dalang: Soekarno and So Called Untung Putsh, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko yang ditulis Antonie Dake. Bambang kemudian juga membuat memoar. “Uniknya, di dalam bukunya yang berjudul Sewindu Dekat Bung Karno yang terbit pada tahun 1988, atau hampir 18 tahun sesudahnya, Kolonel KKO Bambang Widjanarko sama sekali tidak menyinggung tentang kesaksiannya yang memberatkan Presiden Soekarno yang diberikannya kepada Teperpu,” tulis Luhulima.
Kecuali Bambang, Maulwi, Mangil, dan komandan mereka Brigjen Sabur semua dipenjara tanpa pengadilan ketika Sukarno sudah turun dari kursi presiden. Resimen Tjakrabirawa sendiri dibubarkan Soeharto pada 1966. Maulwi sempat menelepon Bambang untuk bertemu guna mendapatkan penjelasan dari informasinya. Bambang menyanggupi. “Tapi sampai dia meninggal, dia nggak pernah mau bertemu saya,” ujar Maulwi kepada Historia.