Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Lucu Batalion Cibatu

Menghindari mortir malah dikerubuti semut. Keluar lagi dari kolong jembatan dan memilih mati oleh mortir daripada oleh semut.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 13 Agt 2019
Jaksa Agung Soegih Arto dan Presiden Soeharto ketika berkunjung ke daerah. (Repro Sanul Daca).

Suatu hari, Letnan Satu Soegih Arto dipanggil Letnan Kolonel Omon Abdurahman, Komandan Resimen 8 Divisi Siliwangi. Dia tak lagi jadi ajudan karena sang komandan menugaskannya untuk memimpin batalion di daerah Garut.

Pada hari yang telah ditentukan, Soegih Arto dibawa oleh Kepala Staf Resimen 8 menghadap Letnan Kolonel Ponto, Komandan Resimen 10 di Garut. Dia menyambut dengan gembira kehadiran Soegih Arto untuk menggantikan komandan batalion yang lama, Djaja Iskandar.

Setiba di markas batalion di Cibatu, sebuah bangunan bekas Kawedanaan, Soegih Arto diperkenalkan dengan seluruh anggota staf.

Advertising
Advertising

“Wah, ini sih bukan batalion, tetapi paguyuban warga Cibatu dan Garut sekitarnya,” kata Soegih Arto dalam memoarnya, Sanul Daca.

Baca juga: Ketika Kakak Adik Berhadapan dalam Perang

Mereka memang memakai seragam tentara, namun sikapnya masih seperti warga sipil. Kalau sudah menghormat, saluir, terus munjungan (menyalami sambil membungkuk seperti sungkem). Kalau menunjuk arah masih menggunakan ibu jari tangan kanan dengan ditopang tangan kiri.

“Saya berpikir, apakah saya ini jadi wedana atau komandan batalion,” kata Soegih Arto.

Soegih Arto pun bertekad mengubah paguyuban itu menjadi unit tentara yang siap maju ke medan perang. Dia dibantu seorang komandan kompi bekas tentara Peta (Pembela Tanah Air) zaman Jepang, menyusun pelatihan. Sehingga lambat laun paguyuban berubah menjadi unit tentara.

Setelah menjalani latihan yang keras selama beberapa bulan, Batalion Cibatu dikirim ke garis depan di Bandung Selatan, di sektor Ciparay/Sapan. Pada hari-hari pertama, Soegih Arto telah kehilangan seorang komandan kompi yang tertembak kakinya oleh sniper Belanda. Pertolongan terlambat, kakinya infeksi tetanus sehingga harus diamputasi. Pemuda bernama Yusuf itu punya semangat hidup yang kuat. Setelah meninggalkan tentara, dia kemudian menjadi lurah di daerah Cirebon. Desa yang dipimpinnya maju dan berkali-kali menjadi juara desa se-Jawa Barat.

Pertempuran di sektor Sapan jarang terjadi. Sekalinya menyerang, Belanda membabi buta: tembakan meriam dan mortir tak henti-hentinya, rentetan senapan tak ada habisnya. Soegih Arto pun menarik mundur pasukannya.

Baca juga: "You Muslim, I Muslim: Teretet No!"

Di lain waktu, Soegih Arto sedang patroli, beberapa mortir jatuh tak jauh dari mereka. Mereka lari tunggang langgang ke depan dan masuk ke kolong jembatan. Mereka terhindar dari ledakan, namun sial ketika menjatuhkan diri menimpa sarang semut. Semut-semut yang mendapatkan serangan itu keluar mengerubungi badan mereka.

“Tidak ada yang terlewatkan sampai alat pengebor saya pun dikerubutinya,” kata Soegih Arto.

Mereka tak dapat bertahan lebih lama dari serangan semut. Sehingga mereka keluar semua: memilih mati oleh mortir daripada oleh semut.

“Akan sangat memalukan kalau dimuat di koran, seorang komandan batalion mati karena dikerubut semut,” kata Soegih Arto.

Mereka buka baju lalu menceburkan diri ke sungai. Badannya babak belur, bentol-bentol.

Soegih Arto dan pasukannya melanjutkan pertempuran melawan Belanda yang berlangsung nonstop selama 13 jam. Karena batalionnya dapat bertahan dari serangan Belanda yang bertubi-tubi, Panglima Siliwangi memberikan penghargaan. Ini adalah surat penghargaan pertama yang diberikan oleh Divisi Siliwangi.

Baca juga: Lelucon Long March Siliwangi

Batalion Cibatu yang dipimpin Soegih Arto mondar-mandir antara Cibatu dan Ciparay. Istirahat di Cibatu, kalau bertugas ke front, ke Ciparay lagi. Menurut Soegih Arto, keadaan di medan perang tidak selalu menegangkan dan mengerikan. Banyak juga yang menyenangkan, seperti menangkap ikan di Citarum, lalu dibakar, dimakan dengan nasi merah yang pulen dan sambal yang hitam pekat karena banyak terasinya. Hmmm... nikmatnya.

Malam harinya diadakan hiburan pertunjukan pencak silat. Para perwira bermain kartu atau domino. Tak pakai judi karena memang tak punya uang.

“Penghidupan yang seperti apa lagi yang diinginkan?” kata Soegih Arto. “Usia muda, beban keluarga tak ada, makan cukup, kurang makan tinggal minta, kalau bosan istirahat langsung berangkat menyerang Belanda. Suatu kehidupan yang penuh variasi."

Karier Kapten Soegih Arto, Komandan Batalion Cibatu yang dikerubuti semut, terus naik. Dari komandan batalion sampai menjadi Jaksa Agung dan pensiun dengan pangkat letnan jenderal. Dia sempat menjabat duta besar di Burma (Myanmar) dan India.

TAG

Revolusi

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Napoleon yang Sarat Dramatisasi Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis Mayor Bedjo Kobarkan Api dan Darah di Tapanuli Di Balik Warna Merah dan Istilah Kiri Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang Perang Saudara di Tapanuli Chevalier Menggugat Égalité