PADA 2009, Gert van den Berg, peneliti dari University of Wollongong, Australia, melakukan penelitian di situs Talepu, lembah sungai Wallanae, Sulawesi Selatan. Temuannya ada ribuan tulang hewan dan alat batu. Beberapa alat batu yang berusia mencapai 118 ribu hingga 200 ribu tahun lalu, dipublikasikan pada Januari 2016. Secara arkeologis, artefak batu tidak hanya dilihat sebagai benda melainkan merekam perkembangan teknologi dan perkembangan kebudayaan masyarakat pembuatnya.
Mark Moore, arkeolog eksperimental dari University of New England Armidale, Australia mengatakan, penggunaan batu dimulai di Afrika sekitar 3,2 juta tahun lalu. “Ini adalah ide manusia. Bukan muncul begitu saja,” katanya.
Pada masa awal persebaran manusia, penggunaan alat batu digunakan secara luas, dari mulai Afrika hingga Sulawesi. Temuan alat batu di situs Leang Burung 2 dan Leang Buttue Maros, berasal dari zaman es terakhir antara 28 ribu hingga 22 ribu tahun lalu dan masa Pleistosen antara 120 ribu hingga 60 ribu tahun lalu. Sementara itu, alat batu yang ditemukan di Flores berusia hingga satu juta tahun lalu.
Alat-alat batu dapat digenggam, memiliki lancipan dan di bagian tertentu terdapat sisi yang tajam –semacam mata pisau– untuk mengiris, menguliti atau merobek. Manusia pendukung kebudayaan itu diperkirakan membuat alat batu dengan cara menghantamkannya ke batu lain. Penanda lain yang digunakan para arkeolog adalah menemukan sisi lengkungan dengan istilah dataran pukul.
Moore yang sejak 30 tahun terakhir bereksperimen membuat alat batu, mengatakan, bahwa perkembangan otak manusia terlihat dengan menelisik alat batunya. “Alat-alat batu ini berevolusi dari masa ke masa. Mulai alat batu yang kasar, hingga menjadi halus (yang telah diupam),” katanya.
Di Maros terkenal Maros point (lancipan Maros), sebuah mata panah dari batu berukuran sekitar satu sentimeter. Pada setiap sisinya memiliki gerigi. Mata panah ini ditempelkan (diikat) pada ujung kayu dan digunakan untuk berburu.
Sementara alat batu yang lebih tua, tertanam di dasar tanah. Pada lapisan tua, tinggalan alat batunya tidak begitu beraturan, sedangkan pada lapisan yang lebih muda semakin berbentuk. Moore bilang, manusia pendukung kebudayaan alat batu ini menggunakannya untuk membunuh binatang dan mengulutinya.
Mungkin saja, alat batu yang lebih besar digunakan untuk menimpuk. Serpihan dari batu yang dibuat dengan sengaja untuk menguliti hewan buruan. Moore menguji analisis itu, menggunakan alat serpih batu menguliti seekor rusa muda. Hasilnya, dia membutuhkan sekitar satu jam, dengan empat alat serpih. “Cukup cepat,” katanya.
Bagi Moore, alat batu yang digunakan masyarakat prasejarah adalah teknologi pertama yang diciptakan manusia melalui pemikiran. “Saya yakin, ini adalah teknologi pertama dari manusia. Alat batu. Kalau menggunakan kayu, saya tak bisa menyebutkannya karena tidak menemukan bukti dan tinggalan,” katanya.
Akhirnya, seiring perkembangan evolusi manusia dan kebudayaan, perlahan-lahan alat batu mulai ditinggalkan secara massal. Namun, di beberapa tempat seperti Australia, penggunaan alat batu untuk melakukan aktivitas sehari-hari oleh masyarakat Aborigin digunakan hingga tahun 1960. Di Turki hingga tahun 1970-an. Dan di Papua untuk beberapa wilayah digunakan hingga sekarang.
Apakah masyarakat yang menggunakan alat batu adalah masyarakat primitif? Moore menolaknya dengan tegas. “Tidak. Ini adalah hasil cipta manusia. Dibutuhkan keahlian dan keuletan untuk menjadikan sebuah batu layak digunakan,” katanya.
“Anda bayangkan. Ketika orang menemukan besi dan membuat pisau. Untuk menggunakannya harus mengeluarkan biaya (uang). Alat batu, tidak,” kata Iwan Sumantri, arkeolog-cum-antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar. “Saya kira alat batu, menunjukkan pada kita. Bila masyarakat pendukungnya lebih memiliki kemandirian.”
[pages]