Pada 1927, di usia 19 tahun, Hamka pergi ke Mekah naik kapal Karimata dari pelabuhan Belawan. Di perjalanan, dia mendekati Kulsum, janda muda nan cantik asal Cianjur, yang berdiri di tepi kapal. Keduanya lantas membisu karena tak mengerti bahasa masing-masing.
“Namun penglihatan yang sayu dari kedua belah pihak dapatlah menggambarkan apa gerangan yang menggelora dalam hati masing-masing,” kata Hamka dalam otobiografinya, Kenang-kenangan Hidup Jilid I.
Hamka kemudian mencabut sehelai saputangan putih yang terlipat rapi dari saku bajunya lalu memberikan kepada Kulsum. Esok harinya, giliran Kulsum yang memberikan saputangan putih berpinggir biru.
Sukarta, jemaah asal Cianjur, mendorong Hamka untuk meminang Kulsum. Dia menggaransi orangtuanya yang ada di kapal, pasti akan merestuinya. Namun Hamka tak melakukannya.
Baca juga: Buya Hamka dan Tongkatnya
Saputangan. Ya, ia pernah menjadi tanda cinta sepasang kekasih.
Asal-usul saputangan, menurut Stephie Kleden Beetz dalam “Riwayat saputangan, kancing baju, kipas dan payung” Kompas, 21 Agustus 1983, bermula dari para raja, sultan, dan bangsawan di Orient (sebutan tradisional untuk apapun yang dimiliki dunia Timur dalam kaitannya dengan Eropa). Mereka memakai sehelai kain untuk menutupi kepala dari sengatan matahari. Kalau tak dipakai, kain itu diselipkan pada ikat pinggang. Para pelaut memperkenalkannya ke Italia dan Prancis. Di Italia disebut fazzoletto, yang menyebar ke negeri-negeri berbahasa Jerman dengan sebutan fazilettlein sekira tahun 1520. Dua abad kemudian mereka menyebutnya sacktuch, dan pada abad ke-19 kata Jerman untuk saputangan yang dikenal sampai sekarang ialah taschentuch (kain saku).
Di Prancis, penamaan saputangan masih berarti sama dengan di Orient, yaitu penutup kepala (couvrir chef). Saputangan kemudian menjadi mode dan menyebar ke Inggris. Lidah Inggris mengubah couvrir chef menjadi kerchief. Namun, mereka bertanya, mana bisa kain sepotong itu untuk menutup kepala dari hawa dingin? Mereka lalu memakai saputangan dengan cara lain; memegang-megangnya di tangan dan sesekali dipakai menyeka hidung dan dahi.
“Cara memakai saputangan semacam inilah yang melahirkan kata handkerchief yang terjemahan lurusnya berarti penutup tangan-kepala,” tulis Beetz. “Apakah di Indonesia juga saputangan mula-mula berarti penutup kepala, kurang jelas.”
Baca juga: Katakan Cinta dengan Sirih
Saputangan untuk menyeka daerah sekitar wajah kemudian menjadi tanda cinta. Hal ini diduga berawal dari drama tragedi Othello yang digubah William Shakespeare, sastrawan tersohor Inggris, sekitar tahun 1603. Saputangan menjadi simbol dominan dalam keseluruhan drama ini. “Othello memberikan saputangan kepada Desdemona sebagai hadiah pertama dan tanda cintanya,” termuat dalam shmoop.com. Tokoh utama Othello, seorang jenderal Moor (Muslim Afrika) yang memimpin pasukan Venesia, menikahi Desdemona.
Iago, letnan muda di pasukan Othello sebagai sosok antagonis, membenci Othello karena mempromosikan seorang pemuda, Michael Cassio, menjadi atasannya. Tahu bahwa saputangan itu sangat berharga dan Othello akan marah bila Desdemona tak menyimpannya, Iago membujuk Emilia, istrinya yang jadi pelayan Desdemona, untuk mencuri saputangan itu. Iago juga mengatakan kepada Othello bahwa Cassio dan Desdemona menjalin asmara, dengan bukti sebuah saputangan.
Othello percaya dan membunuh Desdemona. Emilia sadar telah diperalat suaminya dan menceritakan semuanya. Othello menyesali perbuatannya dan bunuh diri. Sedangkan Iago diadili dan Cassio diangkat menjadi gubernur Siprus.
Baca juga: Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga
Drama Othello pernah dipentaskan pada peresmian Gedung Teater Kota (Stadsshouwburg) –kini Gedung Kesenian Jakarta– pada Desember 1921. Sebagai simbol cinta, saputangan juga tersua dalam berbagai karya seni. Sebut saja novel Cinta Tanah Air (1944) karya Nur Sutan Iskandar, lagu Saputangan dari Bandung Selatan (1946) karya Ismail Marzuki, dan film Saputangan (1949) besutan sutradara Fred Young.
Saputangan sebagai tanda cinta bertahan lama, namun kemudian berakhir. Sebuah mitos dimunculkan bahwa hubungan akan putus bila sepasang kekasih bertukar kain, seperti saputangan. Barangkali mitos ini mengacu pada kisah tragis Othello.