Masuk Daftar
My Getplus

Katakan Cinta dengan Sirih

Sirih bukan sekadar memerahkan gigi tapi juga menjadi tanda pertemuan dan perpisahan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 18 Jan 2012
Ilustrasi: Ganda Permana.

SEBELUM akad nikah Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Siti Rubi Aliya Rajasa dimulai, dilakukanlah prosesi Buka Kandang Adat. Setelah berbalas pantun, masing-masing utusan mempelai saling bertukar dan mencicipi sirih, tanda saling menerima. Prosesi ini disebut Cicip Sirih dan Tukar Tepak Sirih. Bagaimana sirih bisa menjadi tanda cinta dan mempersatuan dua insan manusia?

Tanaman sirih asli Indonesia. Orang Portugis menyebutnya betel. Orang Melayu ada yang menyebutnya sirih atau sireh. Ia bisa hidup dan tumbuh menjalar di tiap wilayah Indonesia. Bahkan melingkupi hingga wilayah Asia Tenggara. Meski penelitian kesehatan belakangan ini menyatakan ada bahaya setelah mengunyahnya, sirih telah lama dikonsumsi masyarakat Nusantara. Tidak hanya untuk dikunyah, tapi juga jadi pelengkap ritual dan mahar pernikahan.

Pertengahan abad ke-15, ketika jung-jung besar dari “negeri atas angin” (India, Persia, China, dan Eropa) hilir-mudik di lautan Nusantara, kota-kota pelabuhan dagang di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Maluku segera menjadi kosmopolit. Orang-orang dari belahan dunia yang berbeda bertemu di pesisir. Mereka berinteraksi setelah rempah-rempah Maluku dan Banda menjadi komoditas utama. Dari interaksi tersebut, perbedaan budaya menampak. Kemudian sebagian dari mereka yang datang ke Nusantara, wilayah yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai “tanah di bawah angin”, mencatat keadaan itu dalam risalah perjalanannya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mengabadikan cinta melalui surat cinta

Orang-orang Peringgi (Eropa) meninggalkan catatan yang berharga mengenai gambaran kebiasaan masyarakat Nusantara pada masa itu. Sebut saja karya Tome Pires, Antonio Pigafetta, dan Antonio Galvao yang ditulis dalam abad ke-16. Sementara itu, catatan lain berasal dari China. Pelaut China bernama Ma Huan menuangkan pengalamannya singgah ke negeri yang dia sebut “Nan-Yang” (Laut Selatan) itu dalam karyanya, Ying-yai Sheng-lan. Karyanya ditulis satu abad lebih awal daripada karya orang Peringgi.

Dalam karya-karya tersebut, kebiasaan mengunyah sirih (bisa juga disebut menginang atau menyirih) masyarakat Nusantara terekam. Pigafetta, misalnya, mengetahui kebiasaan menyirih merupakan aktivitas penyejuk hati bagi masyarakat Nusantara. Orang-orang berkulit coklat itu bertutur kepada Pigafetta bahwa tanpa mengunyah sirih, mereka seolah-olah akan mati. Catatan Ma Huan memberikan gambaran yang lebih detail. Tulisan Ma Huan dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin.

Baca juga: Majapahit dalam catatan Ma Huan dan sejarah Dinasti Ming

Ma Huan menuliskannya dengan deskripsi yang jelas. “Lelaki dan perempuan mengambil buah pinang serta daun sirih, dan mencampurnya dengan kapur, yang diperoleh dari kulit kerang; mulut mereka tak pernah lepas dari kunyahan ini,” tulis Ma Huan. Gambaran itu dia dapatkan setelah melihat orang-orang Jawa tak berhenti mengunyah sirih, baik saat bekerja, santai, maupun berbicara. Mereka meracik sirih dengan mencampurkan bahan-bahan lain seperti kapur, buah pinang, dan gambir. Racikan itu menghasilkan rasa yang berbeda. Itu artinya, masyarakat Nusantara memiliki cara sendiri dalam mengolah sirih sejak abad ke-15.

Pada abad yang sama, kebiasaan menyirih juga ditemukan di India Selatan dan China Selatan. Temuan itu sempat melayangkan dugaan bahwa menyirih berasal dari India. Menyirih dianggap telah berusia 2000 tahun. Tapi, dalam Betel-Chewing in South East Asia, Dawn F. Rooney membantahnya, “Hanya bukti tertulis yang dapat mendukung pendapat tersebut.” Dia juga menambahkan temuan arkeologis dan linguistik terakhir telah meragukan teori India tersebut.

Anthony Reid sepakat dengan Rooney. Reid yakin menyirih merupakan tradisi asli masyarakat Asia Tenggara. Di kepulauan ini, menyirih telah mengakar sehingga mempunyai makna dalam pelbagai ritus sosial. Di Sikka, Flores, menyirih dapat menjadi sasmita diterimanya lamaran seorang lelaki terhadap gadis pujaannya.

Dalam Hikayat Kerajaan Sikka yang ditulis Kondi, seorang laki-laki yang dianggap pendiri kerajaan, Moang Rae Raja, harus mencari sirih hingga ke tengah hutan. Setelah mendapatkannya, dia mesti menaruh sirih di dalam rumah. Lalu menunggu mimpi baik datang. Jika bermimpi baik, dia harus bercerita kepada keluarga gadis pujaannya, Dewi Sikh. Sirih yang ditaruh itu lalu diberikan ke keluarga si gadis. Jika dikunyah keluarga si gadis, itulah sasmita lamarannya diterima. Cerita ini diuraikan G. Forth dalam “Ritual implications of settlement change: An Eastern Indonesian example,” jurnal KITLV, Vol. 154 tahun 1998.   

Baca juga: Katakan cinta dengan kelopak bunga

Di wilayah barat Nusantara, Melaka, sirih merupakan tanda cinta. Kisah Hang Jebat yang tersohor jago berhikayat dalam masa kurun niaga itu menjadi buktinya. Suatu malam, Hang Jebat diundang berhikayat di istana oleh Sultan Melaka. Istana telah dipenuhi gadis-gadis cantik jelita yang menunggu suara indah Hang Jebat. Ketika Hang Jebat mulai berhikayat, gadis-gadis itu terpukau. Dan selesai pembacaan hikayat, mereka mendatangi Hang Jebat dengan membawa sekotak sirih, lalu menawarkannya. Mereka menyatakan cinta dengan sirih. Menyirih bersama-sama atau sekapur sesirih menjadi ritual selanjutnya.

Selain sebagai simbol yang mempersatukan, sirih juga digunakan dalam upacara kematian. Menurut Kari G. Telle dalam “Feeding the Dead : Reformulating Sasak Mortuary Practices” jurnal KITLV, Vol. 156 tahun 2000, masyarakat di timur Indonesia hingga kini masih mempertahankan tradisi menyirih dalam upacara kematian. Mereka memberikan sirih kepada orang mati sebagai penghormatan terakhir sekaligus wujud rasa sayang. Mereka meyakini arwah akan merasa senang jika diberi sirih.

Menyirih pernah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Sirih juga pernah menempati posisi sakral dalam ritus kehidupan masyarakat. Namun, penelitian terkini dr. Simandjuntak SpB, ONK dari Rumah Sakit PGI Cikini menyatakan sirih menjadi salah satu penyebab kanker mulut. Ini tentu bukan satu-satunya alasan mengapa tradisi menyirih masyarakat Indonesia perlahan hilang.

Merokok, mengeteh, mengopi, dan mengunyah permen karet tampaknya lebih disukai ketimbang menyirih. Menyatakan cinta dengan bunga tentu jauh lebih populer ketimbang dengan sirih. Masyarakat mulai berjarak dengan sirih.

TAG

Cerita-Cinta

ARTIKEL TERKAIT

Elegi Cinta Pierre Tendean dan Rukmini Nasihat Istri untuk Soeharto dan Kemal Idris Wejangan Istri untuk Perwira Penjudi Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno Kisah Sedih Sang Gubernur Cinta Sultan Bersemi di Perpustakaan Hartini, First Lady yang Tak Diakui Pramugari yang Menolak Cinta Sukarno Ketika Bung Besar Digugat Cerai Ken Dedes Cinta Pertama Ken Angrok