Masuk Daftar
My Getplus

Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (2)

Nina Epton bertemu anak pemimpin adat Baduy yang melarikan diri. Pria tua itu yang menemani perjalanannya untuk menemui Suku Baduy Dalam.

Oleh: Amanda Rachmadita | 13 Okt 2023
Kampung Suku Baduy Luar. (Riyono Rusli/Historia.ID).

TUKANG becak mengantar Nina Consuelo Epton, pelancong asal Inggris, dari tempat Hoesein Djajadiningrat ke sebuah bungalow di sudut jalan yang sepi di daerah permukiman Jakarta. Setibanya di sana, ia disambut pelayan yang mengantarkannya ke ruangan yang nyaman dan berperabot lengkap. Tak lama kemudian Hilman Djajadiningrat masuk ke dalam ruangan.

“Sama sekali tidak ada gunanya kamu pergi sendirian, kamu tidak akan bertemu siapa-siapa dan tidak ada yang bisa masuk ke wilayah Baduy Dalam kecuali orang Baduy,” kata Hilman sebagaimana ditulis Epton dalam Magic and Mystic of Java yang berisi catatan perjalanannya selama mengunjungi Indonesia pada 1950-an.

Hilman pernah menjabat bupati Serang (1935–1945) dan gubernur daerah federal Batavia (1948–1950). Ia bercerita kepada Epton bahwa salah satu anggota keluarganya mempekerjakan seorang Baduy pelarian bernama Japar di perkebunan karetnya. Seperti nenek moyang Djajadiningrat kami dari abad ke-17, ia juga anak seorang Pu’un atau pemimpin Suku Baduy Dalam.

Advertising
Advertising

“Ia sekarang sudah tua dan telah memeluk agama Islam, sama seperti kami, tetapi ia sesekali mengunjungi kerabatnya di hutan dan bertindak sebagai penghubung kami,” kata Hilman. Japar sosok yang tepat mendampingi Epton dalam ekspedisi bertemu Suku Baduy Dalam.

Baca juga: Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (1)

Seperti saat bertemu Hoesein, Epton juga bertanya mengenai hubungan Hilman dengan orang-orang Baduy. Adik Hoesein dan Aria Achmad Djajadiningrat itu mengatakan bahwa orang-orang Baduy turun dari bukit setiap tahun untuk menemuinya. Mereka melakukan perjalanan dari hutan ke Jakarta dengan berjalan kaki karena tak diizinkan menggunakan alat transportasi. Waktu tempuh pun memakan waktu yang lama.

Sebelum melakukan perjalanan, orang-orang Baduy akan membuat persiapan dengan matang. Mereka sangat berhati-hati dan menolak menyentuh apa pun kecuali makanan yang mereka bawa. “Tentang apa mereka datang menemuimu?” tanya Epton.

“Menurut hukum mereka, orang-orang Baduy Dalam terikat untuk tetap berhubungan dengan keluarga-keluarga Baduy terkemuka, bahkan jika mereka hanya dalam jumlah kecil, seperti kami. Dengan cara tertentu, mereka juga mengawasi kita,” jawab Hilman.

“Mengawasi dari kejauhan? Apakah mereka cenayang?” Epton kembali bertanya.

“Sepertinya iya, dilihat dari satu atau dua pengalaman pribadi yang saya alami. Anda telah diberitahu bukan, bagaimana mereka menyimpan silsilah-silsilah keluarga para pemimpin mereka? Ini adalah pohon-pohon yang hidup di tempat keramat bagi orang Baduy, yakni Arca Domas. Pepohonan itu ditanam untuk melambangkan para pemimpin suku. Setiap tahun, para pemuka dari tiga desa yang termasuk dalam lingkaran dalam menemani para pemimpin ke Arca Domas. Di sana mereka tinggal selama tiga hari, berpuasa dan bermeditasi. Selama waktu ini mereka memperhatikan dan membuat catatan terkait keadaan-keadaan dahannya. Jika ada yang layu, ini merupakan pertanda pasti bahwa kemalangan akan menimpa anggota keluarga yang diwakilinya. Terkadang, cahaya terlihat berkedip-kedip di antara cabang-cabang pohon tersebut –yang menandakan kabar baik,” kata Hilman menjelaskan.

“Setelah kunjungan tahunan mereka ke Arca Domas, orang-orang Baduy Dalam melakukan perjalanan panjang untuk menemui saya, dan menyampaikan ‘pesan dari hutan’,” tambahnya.

Baca juga: Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (3)

Menurut Achmad Djajadiningrat, Arca Domas dikeramatkan karena berkaitan dengan sejarah Suku Baduy. “Batara Tunggal berputra lima orang. Yang sulung, Batara Cikal, wafat tak berputra. Sekarang ia memerintah dunia bersama-sama ayahnya. Putranya yang kedua, Batara Patanjala, semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Baduy) dan ketiga putranya yang lain berkuasa di Salawe Nagara (25 negeri). Batara Patanjala berputra beberapa laki-laki, yang termuda bernama Batara Bungsu. Dari Batara Bungsu inilah asalnya Pu’un-pu’un Cibeo,” jelas Achmad dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat.

Beberapa hari kemudian, Hilman menghubungi Epton bahwa Japar telah tiba dari kebun karet. Bersama penerjemah dari Kementerian Penerangan, Epton pergi menemui Hilman dan Japar. “Dia adalah seorang pria dengan tulang pipi tinggi dan mata sipit yang menatap kami dengan penuh rasa takut dan curiga,” kata Epton.

Setelah mengetahui tujuan Epton, Japar mengatakan bahwa perjalanan ke pedalaman Banten berbahaya. Perjalanan akan memakan waktu lama. Karena pedalaman Baduy tak dapat diakses dengan kendaraan bermotor, maka proses pendakian akan sangat sulit. “Kondisi saya yang sudah tua akan membuat proses pendakian sulit dilakukan, kecuali jika saya digendong,” kata Japar.

Baca juga: Hitam Putih Baju Baduy

Epton mengatakan akan mencari orang di Leuwidamar yang mau diupah menggendong Japar. Japar setuju namun ada kendala lain yaitu ular. “Ada banyak ular besar dan berbisa di hutan,” katanya. Epton mengatakan akan berhati-hati dan waspada saat melintasi hutan.

Selain ular, Japar kemudian menyebut nyamuk. Epton lagi-lagi meyakinkan Japar bahwa ada solusinya. “Kalau begitu, kita harus membawa kelambu,” kata Epton. Japar pun menyadari tekad Epton menemui orang-orang Baduy tak dapat dibendung.

Mereka kemudian mendiskusikan tanggal keberangkatan. Di sela-sela diskusi, Japar mengatakan agar membawa hadiah bagi orang-orang Baduy. “Sepertinya ada dua hal yang sangat disukai orang-orang Baduy dan tidak bisa mereka dapatkan di hutan, yakni garam dan ikan asin. Mereka tidak pernah menerima uang –karena hal ini tabu dan tak pernah menggunakannya,” tulis Epton. Japar menyebut ada 40 keluarga Baduy yang tinggal di pedalaman.

Setelah melakukan persiapan, hari yang ditunggu pun tiba. Mobil kementerian datang menjemput Epton. Selain Japar, Epton didampingi oleh Darmono, penerjemah dari Kementerian Penerangan, yang sebelumnya menemaninya menjelajahi Sumatra.

Mereka tiba di Leuwidamar pada sore hari dan menginap di rumah wedana. Selepas makan malam, Epton berbincang dengan Japar. Ia bertanya alasan Japar meninggalkan masyarakatnya. “Saya pergi ketika berusia dua belas tahun, karena saya ingin bisa berbicara dengan gadis-gadis muda,” jawab Japar.

Baca juga: Pertemuan Sukarno dan Baduy

Japar menjelaskan bahwa menurut aturan Suku “Baduy Putih” yang sangat ketat, tidak ada laki-laki yang diizinkan berbicara dengan perempuan di luar lingkungan keluarganya. “Lalu bagaimana anak muda bisa menikah jika mereka tidak bisa berbicara satu sama lain?” tanya Epton.

“Oh, ada banyak kesempatan untuk bertemu dan melihat satu sama lain saat bekerja di ladang,” kata Japar.

Meski begitu sebelum mereka diizinkan menikah, para pemuda harus meminta persetujuan dari kepala desa atau Pu’un. Di sisi lain anak laki-laki dapat menolak perjodohan jika tidak sesuai dengan keinginannya.

Keesokan paginya, setelah memastikan segala kebutuhan telah siap, Epton bersama rombongan memulai perjalanan ke pedalaman Banten. Tempat pemberhentian pertama adalah Tjikangeri. “Kami berjalan mengitari rumah dan menaiki jalan setapak yang sempit. Dalam waktu kurang dari lima menit, kami sudah berada di tengah hutan,” tulis Epton.

Baca juga: Mang Odon di Tanah Kabuyutan Baduy

Epton memutuskan berjalan tanpa alas kaki. Hujan membuat perjalanan lebih sulit. Ia lebih waspada dan hati-hati saat melintasi jembatan yang licin dan tidak memiliki pegangan. “Saya selalu merasa takut bahwa hal ini bisa saja berakhir tragis. Satu langkah yang salah dapat membawa saya jauh sekali turun ke bawah di mana aliran sungai pegunungan menggeram di antara bebatuan yang tidak bersahabat,” tulisnya.

Epton dan rombongan menelusuri hutan demi hutan. Beberapa kali mereka berpapasan dengan petani yang membawa pisang dan biji kopi untuk dijual di pasar Leuwidamar. Mereka juga berpapasan dengan orang-orang Baduy Luar. “Mereka memiliki bentuk tubuh yang berbeda dari petani Jawa lainnya; mereka lebih kekar dan kokoh, dan wajah mereka lebih berat, namun seperti yang saya ketahui kemudian, ada banyak jenis di antara orang Baduy,” tulis Epton.

Epton menanyai Japar banyak hal tentang kehidupan orang-orang Baduy, salah satunya mengenai kemampuan meramal masa depan. Japar menyebut kemampuan itu dimiliki para tetua atau pemimpin adat setelah mereka berpuasa dan bermeditasi. Japar mengatakan orang Baduy telah meramalkan Perang Dunia, dan banyak peristiwa lain yang akhirnya terjadi.

“Arca Domas menunjukkan kepada mereka apa yang akan terjadi di dunia,” kata Japar. “Mereka dapat melihat semuanya di atas sana tanpa harus turun dan membaca koran. Tetapi mereka hanya pergi ke sana setahun sekali, karena tanda-tanda yang dilihat oleh para tetua di sana bukan tentang hal-hal kecil. Mereka hanya memperhatikan perubahan-perubahan penting.”

Baca juga: Beban Berat Lestarikan Adat Baduy

Selain membahas kehidupan orang Baduy, Epton juga bertanya tentang respons masyarakat itu setelah Japar meninggalkan kelompoknya. Japar mengatakan bahwa dirinya telah diasingkan karena menolak mematuhi aturan-aturan mereka. Ia tidak akan pernah bisa tinggal di sana lagi bahkan jika menginginkannya. Itu adalah peraturan yang berlaku. Selain itu, ia juga tidak diizinkan ikut serta dalam perayaan atau pergi ke Arca Domas.

“Tetapi karena saya putra seorang Pu’un, saya diizinkan untuk menghabiskan tiga hari di antara orang-orang Baduy Dalam setiap tahun. Pada akhir hari ketiga, saya harus pergi. Meski saya dianggap sebagai pelanggar, tetapi saya tetap orang Baduy,” kata Japar.

Setelah melalui perjalanan panjang menjelajah hutan, Epton beserta rombongan tiba di desa Tjikangeri setelah tengah hari. Japar membawa mereka ke rumah kepala desa, namun rumah itu tertutup rapat karena pemiliknya tengah bekerja di sawah. Pada pukul tiga sore, desa mulai ramai dengan kembalinya para pekerja dari ladang. Tak berselang lama rumah kepala desa mulai terbuka untuk menyambut tamu. Setelah mendengarkan penjelasan Darmono dengan saksama, kepala desa itu meminta Epton dan rombongan bermalam di rumahnya karena sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Baduy Dalam. (Bersambung).*

TAG

suku baduy

ARTIKEL TERKAIT

Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Riwayat Jackson Record Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself"