Tokoh bandit legendaris dari Medan, Naga Bonar, kembali meramaikan bioskop Indonesia. Film berjudul Naga Bonar Reborn ini tayang di seluruh bioskop mulai 21 November 2019.
Naga Bonar Reborn disutradarai oleh Dedi Setiadi dan tokoh Naga Bonar diperankan oleh Gading Marten. Sedangkan Kirana diperankan oleh Citra Kirana dan tokoh Emak diperankan oleh Rita Matumona.
Dalam peluncuran trailer Naga Bonar Reborn, Gusti Randa, selaku produser mengatakan bahwa tim produksi telah berkonsultasi dengan Mutiara Sani, istri Asrul Sani pencipta karakter Naga Bonar. Gusti juga mengatakan film Naga Bonar kali ini akan berbeda dengan versi-versi sebelumnya.
"Kalau ditanya apa hebatnya, kita adalah versi yang paling lengkap. Jadi bukan part of Naga Bonar tapi dari awal sampai Naga Bonar," kata Gusti.
Baca juga: Kemasan Anyar Naga Bonar
Sementara itu, Gading Marten, pemeran Naga Bonar mengaku enggan menonton film Naga Bonar yang sebelumnya agar tidak terpengaruh dengan karakter lawas Naga Bonar.
"Saya cuma pernah nonton sepotong-sepotong. Jadi per adegan doang gitu. Takutnya kalau terlalu suka banget nanti jatuhnya kita jiplak dia gitu," jelas Gading.
Kisah Naga Bonar pertama kali dibuat oleh Asrul Sani dan difilmkan dengan judul Naga Bonar pada 1987. Kemudian pada 2007, film kedua Naga Bonar dibuat dengan judul Naga Bonar (Jadi) 2. Dalam kedua film tersebut, tokoh Naga Bonar diperankan Deddy Mizwar.
Baca juga: Gusti Randa, dari Aktor menjadi Plt Ketua Umum PSSI
Lakon Naga Bonar sendiri disebut-sebut terisnpirasi dari tokoh Timur Pane. Timur Pane ialah tokoh laskar yang mengangkat diri sendiri menjadi jenderal. Sebelumnya, Timur Pane dikenal sebagai bandit dan copet di Kota Medan.
Sebelum 1945, Timur Pane ialah seorang pedagang jengkol dan sayuran di Pasar Sambu, Medan sekaligus menjadi copet dan jagoan. Kemudian sesudah 1945, dia bergabung dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) yang merupakan organ bersenjata Partai Nasional Indoenesia (PNI) di Sumatra Utara. Timur Pane bersama pasukan Napindo Naga Terbang ikut dalam pertempuran Medan Area.
Pada 1946, Timur Pane keluar dari Napindo lalu membentuk Brigade Marsose. Dia mengangkat diri menjadi jenderal serta meminta 120 juta gulden kepada gubernur.
"Mungkin juga (Timur Pane) sangat ditakuti, karena tindakannya kerapkali radikal, dan musuh yang ditangkapnya terus dipotong saja," ujar wartawan Antara, Mohammad Radjab dalam reportasenya Tjatatan dari Sumatera.
Baca juga: Timur Pane, Lakon Sang Bandit
Pada 1947, dia diterima dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai panglima Legiun Penggempur.
Wakil Presiden Mohammad Hatta, dalam kunjungannya ke Tapanuli dan Sumatra Utara memerintahkannya merebut Kota Medan atas permintaan Timur Pane sendiri.
"Pada hari itu juga kuperintahkan kepadanya (Timur Pane) memasuki daerah Belanda sekitar Medan," kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku Jilid 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Namun, ketika tentara Belanda berhasil mendarat di Pantai Cermin dan mengalahkan pasukan TNI, Timur Pane membatalkan rencananya. Dia dan pasukannya mundur ke markas.
Baca juga: Gertak Sambal ala Timur Pane
Pada 1948, Legiun Penggempur dilikuidasi. Timur Pane tergabung dalam Divisi Banteng Negara Sektor II Komandemen Sumatra, membentuk Sang Gerilya, lalu membuat kekacauan dan mengundurkan diri ke Sektor III pada 1949. Di Sektor III pun Timur Pane lagi-lagi membuat ulah.
Pada tahun yang sama, Timur Pane bergabung dengan Gerakan Rakyat Murba Indonesia yang menentang Sektor III. Sang Gerilya menjadi pasukan tempurnya. Namun, Sang Gerilya kemudian ditumpas oleh Sektor III.
Akhir perjalanan Timur Pane belum diketahui. Kabar kematian atau di mana dia meninggal dunia pun demikian. Sejarah mencatat namanya identik sebagai bandit sekaligus pejuang yang melegenda.