Masuk Daftar
My Getplus

Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman

Awalnya kebaya tradisional Betawi ini hanya dikenakan pada acara resmi, kemudian dipakai untuk keseharian. Bahkan, kini dipakai generasi milenial.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 12 Agt 2018
Pementasan tari lenggang nyai, tari tradisional Betawi, dalam Festival Betawi Hari Ini di Jakarta, 11 Agustus 2018. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia).

SIAPA bilang busana tradisional ketinggalan zaman dan kaku? Dengan pemaknaan ulang dan kreativitas, busana tradisional selalu aktual dan luwes.

Begitu menurut Dyah Wara, antropolog jebolan Universitas Indonesia, dan Intan Soekotjo, perempuan muda penyanyi keroncong, pada diskusi seputar “Sejarah Kebaya Encim” dalam Festival Betawi Hari Ini di Art:1 New Museum, Jakarta Pusat (11/08/2018).

Dyah mengatakan busana tradisional tidak selalu ajeg. Ia mengalami ubah-suai motif dan penggunaan seiring kondisi zaman. Hal demikian terjadi pada perkembangan kebaya encim, busana tradisional Betawi.

Advertising
Advertising

Kebaya encim muncul sebagai bentuk akulturasi kebudayaan Betawi, Melayu, Tionghoa, dan Belanda pada abad ke-19 . “Sebutan aslinya adalah kebaya nyonya,” kata Dyah. Sebutan nyonya mengacu pada kebanyakan penggunanya, yaitu para nyonya pembesar dari kalangan atas, baik penduduk tempatan maupun Belanda.

Kebaya nyonya memiliki bentuk khas. Blus dengan sudut melancip dari bagian pinggang sampai ke paha, tetapi agak sedikit landai pada bagian belakang. Kerahnya menyerupai huruf V. Terdapat renda-renda pada sejumlah bagian kebaya untuk menambah kesan elegan.

Harga kebaya nyonya cukup mahal bagi sebagian besar perempuan tempatan. “Pemakaian kebaya nyonya semula juga terbatas pada peristiwa penting atau hari raya,” lanjut Dyah.

Perempuan Tionghoa kemudian berperan memassalkan penggunaan kebaya nyonya. Penggunaan massal telah mengubah harga kebaya menjadi lebih terjangkau oleh banyak perempuan. Nama kebaya nyonya pun menjelma kebaya encim.

“Kata encim berasal dari bahasa Hokkian, suku Tionghoa paling dominan di Batavia. Dan kemudian istilah itu langgeng dipakai untuk menyebut kebaya jenis ini,” kata Dyah.

Perempuan Tionghoa mengkreasi ulang warna dan motif kebaya. Mereka menghindari warna putih. Sebab dalam pandangan orang Tionghoa, warna putih bermakna duka. Mereka menggantinya dengan warna merah dan emas, lambang keberuntungan dan kejayaan. Motif khas Tionghoa seperti burung Phoenix dan Merak mulai hadir memperkaya kebaya.

“Burung Phoenix melambangkan keagungan dan kejayaan, sedangkan merak berarti kemakmuran dan kebahagiaan,” terang Dyah.

Perubahan kebaya encim menyentuh pula waktu penggunaannya. Ia tak lagi sebatas muncul dalam acara resmi dan hari raya, tetapi juga hadir dalam keseharian sampai sekarang. Salah satu penggunanya ialah Intan Soekotjo.

Intan gemar memakai kebaya encim untuk aktivitas sehari-hari. Dia memilih kebaya berukuran agak longgar demi memudahkan gerak. Motifnya berupa bunga dan warnanya tidak terlalu mencolok.

Intan memadupadankan kebaya dengan kain berwarna terang sebatas lutut. Alas kakinya berupa sepatu sneakers model terbaru. Dia tampak tetap anggun dan cantik dengan kombinasi busana tradisional dengan modern.

Intan mengaku modifikasi kebaya ala generasi milenial sempat membuat risih ibunya, Sundari Soekotjo, penyanyi keroncong legendaris. Namun, dia berhasil meyakinkan ibunya bahwa anak muda perlu sesuatu yang segar pada busana tradisional tanpa meninggalkan makna filosofisnya.

“Saya ingin kebaya dapat dimengerti dan dinikmati oleh kalangan anak-anak muda milenial,” kata Intan. Dan karena itu, anak muda harus memperoleh kesempatan untuk memaknai dan mengkreasi ulang kebaya sesuai dengan tren kekinian.

Untuk mengatasi ketegangan antara kaum muda dan orang tua terhadap perubahan busana tradisional, Intan berbagi jurus ampuh. “Komunikasi antara kaum tua dengan kaum muda menjadi kunci dalam pelestarian khazanah tradisional kita. Khususnya kepada generasi muda, hal ini menjadi penting,” ungkap Intan.

Intan menyarankan generasi muda agar berpikir agak tinggi untuk menggapai cara pikir generasi tua. Sebaliknya, dia juga meminta generasi tua untuk turut sedikit rendah hati memahami cara pikir generasi muda. “Dari situ nanti akan ketemu pemaknaan kedua generasi, akan tercipta harmoni,” tutur Intan.

Festival Betawi Hari Ini berupaya menggapai maksud tersebut. Chaka Priambudi, anggota panitia festival dan founder Lantun Orchestra, mengatakan bahwa festival ini menjadi salah satu cara bagi generasi muda mengenal kebudayaan Betawi.

Didukung oleh Djarum Foundation, Festival Betawi Hari Ini juga menghadirkan pementasan tari lenggang nyai dan pertunjukan musik tradisi oleh Lantun Orchestra. Semuanya kental dengan sentuhan modernitas dan selera anak muda, namun tetap berusaha mempertahankan makna hakiki kebudayaan tradisi.

Baca juga: 

Jago Pukul Betawi
Cinta Mati Batik Betawi
Lenong Menembus Lorong (Zaman)
Mencegah Kemusnahan Bahasa Betawi

TAG

Kebaya Betawi Busana Tradisional

ARTIKEL TERKAIT

Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Munculnya Si Doel (Bagian I) Rochjani Soe'oed, Putra Betawi dalam Sumpah Pemuda Mengenal Kain Tenun Halaban, Sobi, dan Cual Sambas Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda Bikini dari Paris Komponis dari Betawi Samsi Maela Pejuang Jakarta Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara