Mencegah Kemusnahan Bahasa Betawi
Bahasa Betawi mulai tersingkir di tempatnya sendiri.
BUDAYAWAN Betawi Abdul Chaer bilang, banyak orang Betawi, khususnya generasi muda, yang kini tak tahu lagi kata-kata atau istilah-istilah Betawi.
“Orang tidak tahu buah kundur. Padahal yang nanya orang umur 30-an. Itu karena buah kundur sudah tidak ada di Betawi,” katanya sewaktu menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Pendekar Bahasa dan Budaya Betawi: Abdul Chaer” yang dihelat di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/12/17) malam.
Hilangnya buah kundur disebabkan oleh perubahan lingkungan yang menjadi sumber pengetahuan masyarakat Betawi. Ketiadaan pohon buah kundur, yang dulu mudah ditemukan di kampung-kampung, itulah yang membuat generasi muda Betawi tak memiliki referensi tentang tanaman yang dulunya populer di lingkungannya.
Buah kundur bukan satu-satunya kata dalam bahasa Betawi yang hampir punah. Senteleng (rak piring), pelengan (pelipis), user-user atau mbun-mbunan (pusaran rambut), lak-lakan (tenggorokan), mendek (tiarap) juga merupakan kata-kata yang sudah jarang terdengar di lingkungan masyarakat Kota Jakarta. Kondisi tersebut amat dipengaruhi perubahan sosial-ekonomi Kota Jakarta.
Pembangunan masif Jakarta dan perubahan drastis sebagai akibatnya membuat orang-orang Betawi, pengguna utama bahasa Betawi, tersingkir ke pinggiran.
“Terpinggirkan karena digusur. Kalau tanah mau dibikin sekolah, ya dikasih,” kata Chaer. Kota Jakarta kemudian diisi orang-orang dari beragam etnis. Dalam keseharian, mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. “Orang tahu bahasa Betawi paling akhiran “e”-nya,” sambungnya sambil terkekeh.
Padahal, penggunaan bahasa Betawi, yang lengkapnya merupakan bahasa Melayu dialek Betawi, dulu amat masif. Ia tak hanya digunakan sebagai bahasa percakapan tapi juga dipakai dalam berbagai kesenian seperti wayang betawi, lenong, dan sastra.
Penggunaan bahasa Betawi dalam sastra, khususnya hikayat, bisa dilihat dari cerita Abdul Qadir Jaelani. Ada lebih dari 30 naskah yang menggunakan bahasa Betawi sebagai alatnya. Pada masa berikutnya, tahun 1910, cerita lenong berbahasa Betawi, Nyai Saidah, dimuat dalam surat kabar.
“Ada jenis cerita Betawi yang diterbitkan dalam surat kabar. Ceritanya mirip Nyai Dasima,” kata Prof. Muhadjir, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu.
Pada dekade 1950-an, penulisan sastra Betawi cukup berkembang dengan kemunculan SM Ardan. Di tahun yang sama bahasa Betawi juga digunakan dalam penulisan cerita si Pitung dan Macan Betawi.
“Sampai 1970-an masih banyak. Bahasa Betawi juga digunakan oleh Tionghoa Peranakan,” kata Zen Hae yang menjadi moderator diskusi.
Salah satu Tionghoa Peranakan yang menggunakan bahasa Betawi dalam karya adalah Lie Giem Hok yang hidup pada akhir abad ke-19. Ia menulis berbagai cerita Betawi, juga menyusun Kamus bahasa Melayu dialek Betawi.
Untuk melestarikan bahasa Betawi, Muhadjir mengatakan bahwa penulisan sastra berbahasa Betawi perlu digencarkan.
“Tokoh-tokoh seperti Firman Muntaco dan Ramlan tidak ada lagi sekarang. Maka, aktiflah menulis dalam bahasa Betawi,” kata Muhadjir.
Menurutnya, ketika bahasa Betawi digunakan dalam penulisan sastra, ia secara tidak langsung akan terdokumentasi melalui karya. Jika nantinya bahasa Betawi tidak digunakan lagi, ia akan hidup sebagai bahasa sastra.
“Pingin bahasa Betawi sebagai bahasa ilmu pengetahuan harus ada ilmuwan yang menulis dalam bahasa Betawi. Kalau dalam masyarakat Betawi ada ilmu lokal, bisa ditulis dalam bahasa Betawi,” tambahnya.
Ivan Lanin, yang menjadi salah satu pembicara diskusi, mengatakan bahwa upaya melestarikan bahasa daerah bisa dilakukan dengan pencatatan ragam dialek bahasa Betawi juga pembuatan tesaurus.
“Sampai hari ini tidak ada balai bahasa Betawi. Karena pemerintah daerah berpikir kalau itu sudah jadi satu dengan pusat. Sementara pusat berpikir itu diurus daerah. Pengajaran juga harus didorong," kata Ivan.
Muhadjir menambahkan, dalam realita sekarang, ada banyak bahasa yang akan punah. Upaya pelestarian ini juga dilakukan oleh Unesco yang meminta seluruh negara di dunia untuk melakukan pencatatan bahasa. Ia juga mencontohkan, dalam sensus penduduk terdapat pendataan tentang penggunaan bahasa. Bila data itu diolah, jenis bahasa yang akan punah bisa terdata.
“Musnahnya bahasa adalah musnahnya sebuah kebudayaan,” kata Muhadjir.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar