Cinta Mati Batik Betawi
Ibu Emma menjadi kolektor batik Betawi karena terusik peninggalan budaya Betawi melayang ke negeri orang.
Suatu hari di tahun 1950-an, terjadi kehebohan di antara rombongan tur sebuah sekolah dasar di Pasar Baru. Mereka baru saja mengunjungi sentra batik di daerah Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di tengah jalan, mereka tersadar, ada anggota rombongan yang tertinggal.
“Saya terlalu asyik menikmati proses pembuatan batik. Saya sempat menangis. Untungnya rombongan sekolah saya balik lagi menjemput,” ujar Emma Amalia Agus Bisri, berusia 69 tahun, seraya tertawa lepas. “Seingat saya, Karet Tengsin adalah daerah sentra pengrajin batik paling besar di Jakarta. Di daerah Kebon Kacang juga ada. Bahkan di sana mirip sekali dengan di Yogya, modelnya rumahan.”
Emma tak tahu kenapa menaruh hati pada batik, seolah ada chemistry. Ketika berusia 20 tahun, dia membeli sebuah batik Betawi bermotif pucuk rebung, yang kini dianggap klasik. Dia lupa berapa mesti merogoh kocek. “Masih sesen-dua senlah harganya waktu itu. Tapi ya lumayan mahal buat saya. Saya kan beli pakai duit tabungan sendiri, rela-relain ngurangin duit jajan.”
Baca juga: Batik ala Bung Karno
Emma putri keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Dahlan Sapi’ie dan Hamilah binti Abdul Majid. Lahir pada 24 November 1943 di Jalan Antara 40, Pasar Baru, Jakarta. Sapi’ie, tuan tanah kaya, mengembangkan usaha importir beragam produk dari kendaraan hingga garmen. Jiwa bisnis ayahnya berpengaruh pada dirinya. Beranjak dewasa, Emma berbisnis valas dan garmen. Uang hasil jerih payahnya, Emma gunakan untuk memburu dan mengoleksi benda-benda seni dari berbagai daerah, termasuk batik Betawi.
Sikapnya yang supel dan ramah membuatnya mudah bergaul dan memiliki banyak teman, termasuk dari Negeri Kincir Angin. Dari seorang kawan asal Belanda, Emma mendapat informasi bahwa banyak orang Belanda, juga Museum Leiden, mengoleksi benda-benda peninggalan budaya Betawi. Hati kecil Emma terusik: “Kenapa justru orang luar negeri yang mengoleksi?”
Sejak itu Emma serius menekuni hobi mengoleksi batik. “Waktu beli pertama kali, gak ada niatan mau jadi kolektor batik terkenal. Sekarang alhamdulillah saya dikenal sebagai salah satu orang yang giat melestarikan budaya Betawi,” kata Emma.
Keberagaman Batik
Emma mulai menyantroni sentra-sentra industri batik di pinggiran Jakarta. Dia menyebut untuk Jakarta Barat terletak di kawasan Kemandoran-Kemanggisan, Palmerah, sedang di Jakarta Selatan terletak di kawasan Karet Tengsin, Bendungan Hilir, dan Setiabudi. Mereka tumbuh sekira 1940-an. “Dulu orang Betawi gemar sekali pakai batik. Sampai-sampai ke pengajian aja pakai batik. Itulah salah satu yang mendorong tumbuhnya industri batik di Betawi,” ujar Emma.
Namun satu per satu industri batik rumahan bangkrut. Sebagian, karena isu pencemaran lingkungan, pindah ke pinggiran.
Dia juga menyambangi orang-orang Belanda yang diketahuinya mengoleksi batik klasik. Dia rela merogoh kocek tebal. Bila pemiliknya seorang kolektor, dia memberikan penawaran barter yang menarik: lima lembar batik halus berharga mahal.
Baca juga: Jejak Islam di Batik Besurek
Yang paling berkualitas dan dicari banyak orang adalah batik keluaran ”rumah mode” Eliza van Zuylen, Tina van Zuylen, Lien Metzelaar, dan A.J.F Jans dari Pekalongan, Jawa Tengah. Melihat namanya, keempat pengusaha itu adalah orang atau keturunan Belanda. Merekalah yang menghidupkan apa yang dikenal dengan sebutan batik Belanda antara 1840-1940 kala muncul kecenderungan orang Belanda menggenakan batik. Mereka memiliki motif sendiri. Belakangan mereka mengembangkan berbagai motif dengan mengakulturasikan unsur-unsur budaya Tionghoa dan lokal.
”Mereka pandai memadupadankan motif batik pada setiap karya batik tulis mereka. Mereka juga mampu memberi roh batik Betawi karena mereka memahami latar belakang budaya China, Belanda, dan budaya lokal yang mewarnai motif serta warna batik Betawi,” ujar Emma.
Baca juga: Mengenang Batik Kenangan Tentara Belanda
Batavia sebagai ibukota menjadi pasar yang menguntungkan bagi penjualan batik. Meski bukan pusat pembuatan batik, penduduk Batavia gemar memesan batik dari luar daerah berdasarkan rancangan mereka sendiri. Muncullah beragam motif batik, termasuk batik Betawi. Pengusaha-pengusaha Tionghoa memonopoli penjualan batik dan kemudian industri pembuatannya.
“Batavia atau Jakarta sebagai ibukota dari dulu menjadi tempat pertemuan berbagai etnis dan bangsa. Jadi wajar kalau kesenian atau budayanya seperti halnya batik merupakan percampuran dari berbagai daerah atau bangsa,” kata Suwati Kartiwa, penulis banyak buku tentang budaya Indonesia, khususnya tekstil.
Percampuran budaya itulah yang memunculkan perdebatan ada-tidaknya batik Betawi. “Agak sulit mendefinisikan batik Betawi, apakah sekadar batik yang dipakai orang Betawi, batik yang dibuat di Jakarta, atau apa? Dari sisi motif, belum dapat dipastikan corak batik khas Betawi itu bagaimana?” kata Benny Gratha, penulis buku Panduan Mudah Belajar Membatik yang juga volunteer bagian Edukasi di Museum Tekstil.
Perdebatan soal keberadaan batik Betawi tak menyurutkan langkah Emma. Dia justru termotivasi untuk menggali, mereproduksi, memperkenalkan, dan menyebarluaskan batik Betawi.
Menurut Emma, batik yang menjadi kegemaran orang Betawi bermotif pucuk rebung, bercorak pesisiran, dengan warna-warna cerah seperti merah, biru, ungu, hijau muda, kuning, dan oranye. Pucuk rebung kemudian menjadi motif terpopuler dan dianggap memiliki akar budaya Betawi paling kental. Motif ini menjadi seragam wajib None Jakarta sejak 1970-an karena dianggap sudah lama ada dan dikenal masyarakat Betawi.
Ciri khas lainnya menonjolkan motif tumpal, bentuk geometris segitiga yang memagari bagian kepala kain dan badan kain. Saat dikenakan, tumpal harus ada di bagian depan. Motif burung hong, menggambarkan pengaruh Tionghoa, juga menjadi ciri khas lain dari batik Betawi.
Museum Betawi
Tak hanya batik Betawi, Emma juga memiliki koleksi batik dari daerah lain. Saat ini, dari kerja kerasnya selama hampir 40 tahun, dia mengoleksi sekira 400 kain batik. Sebagian koleksinya terangkum dalam buku Koleksi Kain Batik Antik Nusantara 1891-1948, terbit 2010.
Koleksinya membuat kolektor lain berdatangan untuk membeli tapi dia tak mau melepaskannya. Dia malah rela memberikan cuma-cuma jika ada orang yang benar-benar suka dan mau merawat dan melestarikannya. “Sebagian dari koleksi ini saya sumbangkan ke Museum Tekstil, Jakarta, supaya masyarakat mengenal dan mencintai warisan budaya negerinya,” kata Emma.
Menurut Benny Gratha, secara kapital koleksi Emma sulit dihitung. Jenis batiknya berbeda-beda, begitu juga nilainya. Khusus untuk batik klasik, nilainya bukan hanya dihitung berdasarkan bentuk fisik tapi juga sisi historisnya.
“Misal sebuah kain dari bentuk fisik saja ditaksir seharga tiga juta. Tapi karena sisi historisnya tinggi, harga batik itu bisa melambung hingga 10 jutaan. Hitunglah satu batik klasik milik Ibu Emma seharga tiga juta, dikalikan 400 saja sudah ratusan juta kan?”
Baca juga: Mencegah Kemusnahan Bahasa Betawi
Selain batik, Emma mengoleksi pernak-pernik antik peninggalan budaya Betawi seperti kebaya dan perhiasan. Dia juga aktif di organisasi-organisasi pelestari kebudayaan Betawi seperti Lembaga Kebudayaan Betawi, Persatuan Wanita Betawi, Himpunan Pencinta Kain Adati Wastraprema, Women’s International Club, dan Yayasan Sirih-Nanas. Atas ketekunannya, belum lama ini Emma mendapat penghargaan “Makara Utama Universitas Indonesia” dalam bidang sosial-budaya untuk pelestarian dan pengembangan budaya Betawi.
“Saya tak menyangka kalau hobi mengoleksi yang berawal dari ketidaksengajaan dan tanpa niat apa-apa akhirnya kini berbuah manis,” katanya. “Satu keinginan saya yang belum tercapai, saya ingin mendirikan museum kebudayaan Betawi. Isinya nanti ya koleksi-koleksi pribadi saya,” kata ibu dari lima anak dan nenek dari tiga cucu ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar