FAJAR Merah nyaris tak punya ingatan apapun tentang ayahnya. Ia dan kakaknya, Fitri Nganthi Wani, sudah ditinggal Wiji Thukul sejak masih “ingusan”. Ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, harus jadi tiang kokoh sebagai pegangan Fajar dan Fitri sejak 21 tahun silam.
Semua berawal dari hilangnya Wiji Thukul, sang kepala keluarga, yang jadi korban pergolakan negeri di pengujung pemerintahan Orde Baru. Hilangnya Wiji Thukul bukan sesuatu yang tak disangka. Sejak ia mulai mesra dengan politik dan karya-karyanya menikam hati rezim, Sipon yang sejak 1988 diperistri Wiji Thukul, sudah diwanti-wanti ayahnya. “Kamu siap ya, Ti,” cetus Sipon menirukan peringatan ayahnya. Peringatan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika prahara Mei 1998 pecah. Wiji Thukul dan 12 aktivis lain hilang tak berbekas bak ditelan bumi.
Lebih dari dua dekade mereka, para anggota keluarga, sanak, dan kawan, menunggu kepastian akan kejelasan nasib sang aktivis HAM itu, apakah masih hidup atau sudah tinggal nama.
Begitulah babak awal film dokumenter racikan Yuda Kurniawan, Nyanyian Akar Rumput. Sang sineas mengombinasikan beberapa footage berisi penuturan Fitri, Sipon, Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), dan Fajar si putra bungsu Wiji Thukul yang usianya baru sekira lima tahun kala ayahnya jadi korban penghilangan paksa.
Baca juga: Wiji Thukul yang Ikut Diburu Pasca Kudatuli
Tahun demi tahun berganti. Rasa lelah mulai memudarkan harapan. Keberadaan Wiji Thukul tetaplah gelap. Fajar yang sosoknya jadi sorotan sentral di dokumenter berdurasi 112 menit ini, hanya bisa menumpahkan segala macam kerinduan pada sosok ayah lewat musik.
Bersama tiga rekannya, pada 2012 Fajar membentuk band beraliran poem rock, Merah Bercerita. Lagu-lagunya dikreasikan dari musikalisasi puisi-puisi karya ayahnya.
“Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red.) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon.
Dengan tenggelam dalam musik, Fajar seolah bertemu dengan ayahnya dalam versi imajinasi. Apalagi selama ini ia hanya bisa menerka-nerka seperti apa sosok sang ayah, melalui karya-karyanya. Setiap kali album band-nya diluncurkan, acapkali dibarengi dengan memperingati hari lahir ayahnya yang jatuh pada 26 Agustus.
“Sejauh apa aku mengenal bapakku?” ujar Fajar yang lantas terdiam lantaran kesulitan mencari arsip kenangan tentang ayahnya di ingatannya.
“Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” tandasnya.
Merawat Perjuangan Wiji Thukul
Dokumenter pemenang Piala Citra kategori dokumenter panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2018 itu patut dijadikan tontonan generasi muda kekinian. Selain sarat pengetahuan akan kehidupan politik bangsa di masa lalu, film itu juga menjadi wahana pas untuk mengingatkan presiden akan janjinya dua dekade silam. Dalam suatu adegan, Sipon bertutur bahwa Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjabat walikota Solo pernah berjanji untuk membantu mencari keberadaan Wiji Thukul.
Meski zaman sudah berganti dan kursi presiden sudah silih berganti diduduki orang-orang berbeda, kasus penghilangan paksa Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain tak kunjung tuntas. “Di masa walikota mungkin dia punya kedekatan tapi kan dia enggak punya power (kewenangan, red.). Tapi ketika dia menjadi presiden, kan dia punya power untuk melakukan lebih, walau kita juga pahami bukan hal yang ringan bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan agenda-agenda pelanggaran HAM masa lalu. Ternyata juga di masa kabinet sekarang orang yang dianggap bertanggungjawab malah jadi bagian,” tutur Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kepada Historia.
Baca juga: Kesaksian Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada kejatuhan Soeharto memang jadi satu tonggak sejarah modern Indonesia yang rumit. Namun Yuda Kurniawan mengisahkannya dalam dokumenter sedemikian rupa hingga penonton usia +17 pun takkan merasa jemu. Alur ceritanya mengalir dengan apik dan menghanyutkan. Pun dengan selipan-selipan footage lawas sebagai penguat visual atas narasi sejarah yang ada sehingga mudah dipahami.
Lewat puisi-puisi Wiji Thukul yang dimusikalisasi Fajar Merah dkk., semisal “Bunga dan Tembok”, “Sajak Suara”, dan “Apa Guna”, penonton “dimanjakan” dalam mengenal siapa Wiji Thukul.
Menurut Yuda, mulanya dokumenternya diberi judul Mencari Wiji Thukul, lantaran terinspirasi film dokumenter Searching for Sugar Man garapan Malik Bendjelloul dan Simon Chinn yang menang Piala Oscar untuk kategori dokumenter terbaik 2012.
“Itu kan bercerita tentang musisi juga yang memperjuangkan suara orang-orang bawah. Awalnya saya perlu judul itu untuk woro-woro di sosial media. Tapi kemudian berubah pikiran karena merasa kurang sreg. Akhirnya pakai judul itu (Nyanyian Akar Rumput), selain juga untuk melestarikan puisi Wiji Thukul,” ujar Yuda.
Yuda mengaku tak punya target muluk untuk Nyanyian Akar Rumput. Sebab, genre dokumenter dengan isu politik dan HAM masih kurang diminati masyarakat walaupun dihadirkan se-obyektif mungkin.
“Saya enggak terlalu mikir target. Yang penting bagaimana film ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas. Di luar penonton festival atau bioskop-bioskop alternatif. Yang penting juga, bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran dalam film ini,” sambungnya.
Baca juga: Berpulangnya Sang Penyair Kiri
Sementara, Wahyu punya harapan Nyanyian Akar Rumput tidak hanya sekadar suguhan di balik layar musikalisasi puisi Wiji Thukul yang dibawakan Fajar Merah dan band Merah Bercerita. Dalam Nyanyian Akar Rumput, kata Wahyu, sarat nutrisi akan pengetahuan. Ratusan juta rakyat Indonesia bisa menikmati kebebasan dengan harga yang tidak murah.
“Generasi muda akan melihat dan bercermin. Dia akan bisa mengkontraskan situasi. Bahwa sekarang baca buku bebas, maki-maki pejabat di sosial media sudah bebas, tapi kemudian dia akan tahu fakta-fakta masa lalu yang kontras. Harapannya dia akan punya daya juang. Paling tidak, untuk mempertahankan kebebasan yang sekarang ini yang harganya mahal dan perlu martir,” sambung Wahyu.
“Penting untuk anak-anak muda mengenal Wiji Thukul. Kenapa? Karena dia yang membuat kalian bisa buka Youtube, Instagram, bebas kritik, tidak ada pembatasan buku-buku. Kebebasan yang asasi dan dengan melihat dokumenter ini, penting untuk merawat kebebasan itu,” tuturnya menutup obrolan.