ANDA penggemar dunia gemerlap (dugem) kota-kota besar? Jika iya, anda pasti tak asing dengan perempuan pendamping untuk tetamu di tempat hiburan malam. Mereka biasa disebut lady companion di tempat karaoke. Sedangkan di klub malam dan diskotek, mereka bernama lady escort. Tugas mereka mendampingi tetamu bernyanyi dan bergoyang.
Kehadiran perempuan pendamping tetamu di tempat hiburan malam bermula sejak 1970-an. Dekade ini mencatatkan pertumbuhan awal tempat-tempat hiburan malam di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Malam di kota-kota besar menjadi lebih panjang dengan kehadiran tempat hiburan malam.
Kemunculan Klub Malam
Jakarta menjadi kota tersubur untuk pertumbuhan tempat hiburan malam. Klub malam, panti pijat, dan mandi uap (steambath) merupakan contoh jenis hiburan malam pada dekade 1970-an di Jakarta. Kemunculan tempat hiburan malam semacam itu bersangkut-paut dengan perubahan keadaan politik dan ekonomi nasional.
Indonesia berada di bawah kuasa Orde Baru secara formal sejak 1968. Bidang sasaran terpenting Orde Baru adalah pertumbuhan ekonomi. Sumbernya berasal dari dua aliran: penanaman modal dalam negeri dan modal asing, baik swasta maupun pemerintah.
“Dimana dengan terbukanya Indonesia untuk modal asing diperkirakan bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang akan berkembang dan menjanjikan peningkatan pendapatan yang besar bagi Indonesia,” catat Dhaniel Dhakidae dalam “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomis”, termuat di Prisma, 5 Juni 1976.
Untuk menampung aliran modal dalam negeri dan asing, Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengeluarkan pokok-pokok pembinaan kepariwisataan pada 1969. Isinya antara lain menekankan penciptaan iklim penanaman modal domestik dan asing untuk pembangunan industri pariwisata.
“Mengingat pentingnya peranan pariwisata bukan hanya semata-mata sebagai objek rekreasi, tetapi juga memberikan posisi ekonomi dan kesempatan bekerja, maka saya berusaha untuk mengembangkan dan membina kepariwisataan di wilayah DKI Jakarta sebaik-baiknya,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya.
Baca juga: Tanamur, diskotek pertama dan tertua di Jakarta
Ali Sadikin melihat orang-orang kaya di Jakarta menghabiskan uangnya untuk berwisata ke luar negeri. Kebanyakan mereka menikmati hiburan malam di Bangkok, Hongkong, dan Tokyo. Jakarta belum punya tempat semacam itu. Maka Ali Sadikin mengajak pemodal agar membuka tempat hiburan malam. Potensi keuntungan dari tempat hiburan malam cukup besar.
“Daripada uang dolar jatuh ke kota-kota Bangkok, Hongkong, atau Tokyo, lebih baik disedot di Indonesia sendiri,” kata Ali Sadikin dalam Ekspres, 21 Desember 1970.
Para pemodal menjawab ajakan Ali Sadikin. Mereka membuka tempat hiburan malam di gedung-gedung bertingkat. Sebagian besar hiburan malam itu berupa klub malam. “Night Club ini adalah kreasi baru Gubernur Ali Sadikin, yang hendak menjadikan Ibu Kota Jakarta suatu Metropolitan,” kata Mohamad Roem, mantan tokoh Masyumi, dalam “Mencium Hostess”, termuat di Bunga Rampai dari Sejarah III.
Malam di Jakarta tak pernah sepi dan hening lagi. Pertumbuhan klub malam di Jakarta cukup pesat. Dhaniel Dhakidae mencatat kenaikan jumlah klub malam dalam rentang 1970-1973. Boom klub malam ini memicu pula boom pekerjaan hostes.
Mencaci Hostes
Meniru klub-klub malam di Bangkok dan Tokyo, para pemilik klub malam di Jakarta mempekerjakan hostes. “Tugas para hostes agar pengunjung itu kerasan dan lama duduk di situ sambil minum-minum,” tulis Cinta, November 1973. Bersama para hostes, orang-orang kaya Jakarta membuang uang dengan cara baru: melepas penat di klub malam setelah seharian bekerja. Mereka menari, makan, dan berbincang bersama.
Para perempuan tertarik menempuh ujian untuk menjadi hostes. “611 orang banyaknya, mereka Kamis siang yang lalu memenuhi kursi-kursi di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki untuk mendengarkan suatu penjelasan penting,” tulis Ekspres, 15 Maret 1971. Penjelasan penting itu berkaitan dengan seluk-beluk tahapan untuk menjadi hostes.
Telinga orang Indonesia mulai berkarib dengan istilah hostes. “Sejak kemunculan jenis hiburan baru yang bernama night club istilah hostes pun mulai memasuki dunia perbendaharaan kata-kata bahasa Indonesia. Dan subjek dari kata baru ini mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat,” tulis Ekspres, 18 Oktober 1971.
Sebagian masyarakat menyamakan hostes dengan perempuan murahan dan rendahan. “Tanggapan mereka-mereka itu beralasan, karena di banyak tempat klub malam, wanita-wanita yang bekerja sebagai hostes, sering mudah diapakan saja oleh tamu-tamu yang berdatangan,” catat Ekspres.
Baca juga: Perkembangan prostitusi di Jakarta sejak zaman Ali Sadikin
Pandangan jelek tentang hostes sebenarnya berawal dari dua hal: kelakuan durjana tetamu klub malam dan sikap cuek-bebek pemilik klub malam. Tetamu klub malam rerata laki-laki kaya dan menganggap dapat berbuat sesukanya kepada hostes. Tetamu lokal pada umumnya kurang ajar. “Tamu asing lebih mengerti profesi saya dan rata-rata menghargai,” kata seorang hostes dalam Ekspres, 21 Desember 1970.
Hostes jadi serba salah ketika menghadapi perilaku tetamu lokal. “Kalau saya menolak, nanti dikira saya tidak hormat pada tamu-tamu. Kan salah-salah mengerti bisa dikeluarkan," kata seorang hostes kepada Ekspres. Keadaan mereka kian sulit tersebab pemilik klub malam mengabaikan batasan hubungan antara tetamu dan hostes. Pemilik klub malam justru memberi hostes nomor-nomor di lehernya. “Ini sungguh perlakuan yang tidak senonoh,” protes seorang hostes dalam Ekspres.
Menurut Ekspres pula, banyak pemilik klub malam melanggar UU Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan. “Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moral kerja, serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama,” demikian bunyi salah satu pasalnya. Tapi aturan ini tak berlaku dalam klub malam. Tertelan suara musik dan gemerincing rupiah.
Orang-orang di klub malam memperlakukan hostes semaunya, sedangkan orang luar bilang hostes sama dengan pekerja seks. Bisa disewa untuk melakukan apa saja sesuai keinginan lelaki. Akibatnya, “Tiada seorang pramuria pun akan menepuk dada dan memaklumkan ‘Saya ini seorang hostes,” kata Krisbiantoro, penyanyi kawakan Indonesia, dalam Prisma, 5 Juni 1976.
Melindungi Hostes
Selingkar orang berpendapat hostes berbeda dengan perempuan pekerja seks. “Jangan anggap semua hostes itu jelek,” kata Ali Sadikin dalam Pedoman, 3 Februari 1971. Mohamad Roem ikut mendukung Ali Sadikin. Dia hakikatnya kurang sepakat dengan klub malam, tetapi soal hostes ialah soal kemanusiaan. Ada ribuan orang telah bekerja sebagai hostes. Dan mereka butuh perlindungan kerja dari laku durjana, bukan malah dikasih caci-maki. “Penulis rasa, janganlah night club mengambil hostes yang jelek artinya pelacur,” tulis Roem.
Dua pendapat tokoh tadi banyak benarnya. Hostes tidak hanya bermodal tubuh dan wajah saja. Ada juga syarat kemampuan lain. Antara lain bisa berbahasa asing, kenal etika, dan berwawasan luas. Kemampuan-kemampuan itu diujikan dalam serangkaian tes. Seperti yang diadakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 8-10 Maret 1971.
Sinar Harapan, 18 November 1971, memuat keterangan tentang asal-usul hostes. Keterangan ini menguatkan bahwa hostes tidak sama dengan perempuan pekerja seks. Mereka setara dengan pramuria atau pelayan. Para calon hostes di Tokyo harus mengikuti pelatihan selama satu tahun sebelum bekerja di klub malam. Pemerintah dan pemilik klub malam membekali mereka dengan kemampuan bahasa, pelajaran etika, dan pengetahuan tentang batasan hubungan hostes dan tetamu.
Baca juga: Peran pekerja seks komersial (PSK) dalam perjuangan kemerdekaan
Lalu apa kata hostes sendiri tentang pekerjaan mereka? “Masa bodoh kata orang, pokoknya saya bisa menghidupi diri saya sendiri dan membantu sedikit-sedikit keluarga dengan pendapatan ini,” kata seorang hostes, dikutip Ekspres 18 Oktober 1971. Hostes lainnya mengakui bahwa ada di sebagian mereka terlibat prostitusi dengan tetamu. “Tetapi nggak semua, dong,” katanya dalam Ekspres.
Judi, misalnya, hostes berusia 18 tahun ini menegaskan dirinya tidak mau terlibat prostitusi. “Saya datang dari daerah saya dalam keadaan yang suci dan akan pulang ke rumah kelak dalam keadaan yang suci,” kata Judi dalam Ekspres, 21 Desember 1970.
Boom klub malam berhenti pada 1976. Satu demi satu klub malam tumbang. Tapi kerja sebagai hostes masih bertahan. Kerja ini justru menyebar ke tempat hiburan malam lainnya seperti sauna, pijat, mandi uap, diskotek, dan karaoke. Tidak hanya di kota-kota besar, melainkan juga hingga tempat karaoke kecil di pelosok desa.