Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menuai kritikan dari berbagai pihak karena pernyataannya soal wacana lokalisasi prostitusi. Menurutnya, prostitusi tidak dapat dihilangkan selama manusia masih berada di muka bumi ini. Dia menganalogikan prostitusi dengan sampah.
“Analogi sederhana, pelacuran mirip sampah masyarakat. Selama masyarakat ada pasti produksi sampah. Kita bisa tidak hilangkan sampah itu? Tidak bisa. Makanya negara-negara maju menyediakan lokalisasi supaya gampang mengontrol (prostitusi),” kata Ahok (24 April 2015), dikutip CNN Indonesia.
Wacana Ahok ini mengingatkan kita pada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) yang berusaha menyelesaikan masalah prostitusi dengan melokalisasinya. Di pengujung masa jabatan periode pertamanya (1966-1971), Ali membuat kebijakan kontroversial dalam menangani pelacuran di ibukota. Awalnya ketika dia meninjau langsung tempat pelacuran di sepanjang Kramat Raya dan Senen.
“Saya ngilu menyaksikannya. Di antara wanita-wanita itu ada anak-anak kecil yang masih belasan tahun umurnya. Ada pula yang disebut ‘becak komplit’ karena kendaraan roda tiga itu membawa keliling wanita ‘P’. Seketika itu juga saya kemukakan secara terbuka, kita harus berdaya upaya agar keadaan yang mencolok itu ditertibkan,” kata Ali dalam Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi, karya Ramadhan KH.
Baca juga: Prostitusi Masa Jawa Kuno
Ali mendapat ide melokalisasi wanita tuna susial ketika berkunjung ke Bangkok, Thailand. Seorang dari kedutaan besar Indonesia di Thailand, menuntun Ali ke tempat lokalisasi itu. “Hal ini menimbulkan pikiran pada saya, untuk menerapkan apa yang saya lihat itu di Jakarta,” kata Ali.
Rencana Ali ditentang keras. Ali dituding “memperbolehkan eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat wanita, dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi bagi wanita yang sadar.” Namun Ali tetap yakin jalan menanggulangi pelacuran adalah dengan melokalisasi mereka. “Melokalisasi berarti mempersempit ruang gerak mereka dan dengan demikian mereka akan terbina,” kata Ali.
Ali mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. Ca.7/1/13/70 tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi Wanita Tuna Susila serta Pembidangan Tugas dan Tanggung Jawab. SK ini diikuti dengan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK dan instruksi gubernur, SK walikota Jakarta Utara, SK kepala dinas sosial dan lain sebagainya.
Baca juga: Remang Terang Prostitusi
Menurut Endang R. Sedyaningsih dan Mamahit dalam Perempuan-perempuan Kramat Tunggak, dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/39/71, pejabat-pejabat lokal diinstruksikan untuk menutup dan memindahkan praktik-praktik pelacuran di wilayah Jakarta Utara, Angke dan Jelambar di Jakarta Barat, Rawa Bangke di Jakarta Timur; ke Kramat Tunggak di Jalan Kramat Raya Kelurahan Tugu Kecamatan Koja Jakarta Utara. Kramat Tunggak telah menjadi tempat pelacuran sejak 1950-an, ketika itu masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Selain itu, tempat pelacuran di Jakarta Utara berada di Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan. Di wilayah kota Jakarta lain juga terdapat lokasi semacam itu.
“Para germo dari wilayah yang ditutup diminta segera mendaftarkan diri ke Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, dan para pelacurnya agar segera mengikuti germo-germo yang telah berada di lokalisasi,” tulis Endang dan Mamahit.
Baca juga: Regulasi Membatasi Prostitusi
Kramat Tunggak yang berdiri di atas tanah seluas 11,5 hektar dimaksudkan sebagai tempat rehabilitasi bagi pelacur dan germo, sehingga salahsatu syarat utamanya mereka sudah pernah menjalankan usaha pelacuran di tempat lain. Oleh karena itu, umumnya para germo di Kramat Tunggak pernah mempunyai bordil di tempat lain. Mereka pindah karena penggusuran untuk pembangunan atau ditutup pemerintah daerah. Di Kramat Tunggak, para germo –yang disebut ibu asuh atau bapak asuh serta pelacurnya disebut anak asuh– rata-rata mempekerjakan 5-10 pelacur, paling banyak mencapai 60 pelacur.
Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila, unit pelaksana teknis dari Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, melakukan rehabilitasi dan resosialisasi (rehab dan resos) di Kramat Tunggak. Panti ini mengklaim program rehab dan resos dari 1972 sampai 1993, berhasil mengirimkan 11.624 pelacur kembali ke kehidupan normal: 2.795 orang menikah, 6.229 kembali ke keluarganya, dan 1.420 mencari pekerjaan yang lebih layak.
Baca juga: Prostitusi di Perkebunan Deli
Kendati demikian, waktu dibuka Kramat Tunggak hanya terdapat 300-an dengan 76 germo, jumlah mereka meningkat pada 1980-an dan 1990-an mencapai 2.000 pelacur dan 228 germo. Lokalisasi-lokalisasi pelacuran yang ditutup berangsur hidup dan marak kembali. Pada 1997, di kota Jakarta kurang lebih sepuluh lokasi pelacuran tidak resmi, yang sewaktu-waktu hilang karena razia atau penggerebekan, tidak lama kemudian muncul kembali seperti di Rawa Malang, Kali Jodo, dan Boker.
Ali Sadikin pun menyadari bahwa soal pelacuran sudah berada di tengah dunia sekian ratus tahun kalau tidak sekian ribu tahun. “Memang, tidak mudah menyelesaikan masalah wanita tuna susila itu. Lebih gampang membicarakannya daripada menolong mereka,” kata Ali.
Kramat Tunggak akhirnya ditutup pada Desember 1999. Di sini kemudian dibangun Jakarta Islamic Center, lembaga pengkajian dan pengembangan Islam di Jakarta.