Ketika hadir di perhelatan Konferensi Asia-Afrika (KAA), raut wajah Bung Hatta tampak merenggut. Agak aneh memang kalau dalam suatu momen maha penting itu Bung Hatta malah bermuka muram. Sebagai ajudan, Mayor Soegih Arto menangkap suasana “mendung” yang ditampilkan wakil presiden. Sang mayor lantas bertanya, ada apa gerangan dengan Bung Hatta.
“Bung Hatta menanyakan apakah saya sudah mendengar mengenai Hospitality Committee,” tutur Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Isu Hospitality Comitee (HC) berkaitan dengan kartu akses yang dikeluarkan Panitia Ramah Tamah bagi delegasi negara peserta untuk menikmati fasilitas khusus. Menurut Hatta, panitia itu telah mengorganisasi dan menyediakan perempuan untuk menghibur para anggota delegasi. Hatta kemudian meminta Soegih Arto agar memanggil Roeslan Abdulgani, sekretaris jenderal KAA.
Baca juga: Fasilitas "Plus-plus" dalam Konferensi Asia Afrika
Setengah jam berselang, Roeslan tiba di kantor Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD), tempat Bung Hatta menginap. Pembicaraan antara Hatta dan Roeslan berlangsung secara empat mata. Setelah Roeslan pamit undur diri, Soegih Arto coba mengorek keterangan dari Bung Hatta.
“Beliau menjelaskan, bahwa HC itu memang ada dan telah mendapat green light dari number one.” Bung Hatta tidak dapat berbuat apa-apa,” kenang Soegih Arto. Pejabat “number one” yang dimaksud Soegih Arto ialah Presiden Sukarno yang merestui kegiatan Panitia Ramah Tamah.
Bukan Panitia Resmi
Menurut Wildan Sena Utama, sejarawan UGM yang meneliti KAA sebagai tesisnya di Universitas Leiden, Panitia Ramah Tamah tidak termasuk dalam kepanitiaan resmi KAA. Struktur organisasi KAA dibagi menjadi Sekretariat Bersama yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani sebagai sekretaris jenderal. Sekretariat Bersama ini diisi oleh diplomat dari lima negara sponsor KAA.
Sekretariat Bersama terbagi dalam enam komite yakni, Komite Politik, Komite Ekonomi, Komite Sosial dan Budaya, Komite Keuangan, Komite Pers, dan Komite Teknis. Dalam menjalankan tugasnya, Sekretariat Bersama dibantu oleh dua komite: Komite Antar Departemen di Jakarta dan Komite Lokal di Bandung dipimpin oleh Gubernur Jawa Barat. Jadi, Panitia Ramah Tamah ini berdiri di luar Sekretariat Bersama alias ilegal.
Baca juga: Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia
Soal perempuan penghibur yang diorganisasi Panitia Ramah Tamah, Wildan enggan memastikan. Menurutnya, adalah biasa perhelatan internasional skala besar yang mendatangkan banyak tamu dan ekspatriat asing kerap mengundang para pekerja seks komersial yang datang untuk memanfaatkan kesempatan. Persoalannya, apakah mereka datang atas permintaan negara penyelenggara ataukah memang ada oknum dalam kepanitiaan yang bekerja sama dengan muncikari. Ini bisa juga dibedah dalam kerangka ekonomi.
“Yang perlu dianalisis adalah apakah komite keramahtamahan berwujud pendamping perempuan yang biasa berperan sebagai LO (Liaison Officer), ataukah ada juga yang bisa diajak untuk ‘berkencan’. Ataukah memang ada oknum yang bekerjasama dengan muncikari menyediakan wanita penghibur di luar hospitality committee lalu hospitality committee kena imbas karena ada aktivitas lendir ini dan lalu mendapatkan tuduhan sebagai komite yang menyediakan wanita penghibur,” kata Wildan kepada Historia dalam pesan via surat elektronik.
Rumor tentang Panitia Ramah Tamah ini, kata jurnalis terkemuka Rosihan Anwar, menyebabkan Roeslan Abdulgani jadi sasaran kritik sebagian kalangan pers nasional saat itu. Roeslan disebut-sebut bertanggungjawab atas kegiatan gelap Hospitality Committee yang menyediakan bagi anggota-anggota peserta fasilitas lady's escorts untuk menemani mereka di waktu santai dan istirahat. Rosihan kemudian mengonfirmasi desas-desus tersebut dari penelitian sejarawan Australia John David Legge yang menulis buku Sukarno: A Political Biography.
Baca juga: Cak Roeslan, Yang Bertahan di Dua Zaman
Dalam biografi yang terbit tahun 1972 itu, Legge mengatakan, atas dorongan Sukarno diadakanlah seleksi di kalangan mahasiswa perempuan. Lalu, dari mereka disediakan sejumlah hostess (pemandu tamu) yang pintar. Konon dari mereka diberi peran sebagai Mata Hari, mata-mata wanita Belanda yang kemudian menjadi spion Jerman dalam Perang Dunia I.
“Benar tidaknya ada Mata Hari-Mata Hari di Konferensi Asia Afrika, wallahu'alam,” kata Rosihan dalam Sejarah Kecil Indonesia: Petite Histoire Indonesia Jilid 2.
Gorengan Oposisi
Kritik paling gencar menyoal Panitia Ramah Tamah datang dari suratkabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Indonesia Raya bahkan melakukan reportase lapangan dan memberitakannya secara eksklusif, termasuk mengunjungi rumah-rumah yang disinyalir beralih fungsi jadi tempat prostitusi serta mewawancarai para perempuan di sana. Mochtar Lubis menyebutnya sebagai salah satu isu terpenitng yang diangkat pada 1950-an.
Dari arus pemberitaan itu, terseretlah sejumlah nama pejabat penting. Diantaranya, Wakil Direkrut Percetakan Negara Lie Hok Tay yang punya andil dalam skandal Hospitality Committee. Pada tahun yang sama, Lie Hok Tay terlibat kasus korupsi pengadaan logistik pemilu 1955 yang ikut menyeret Roeslan Abdulgani juga. Namun, hanya Lie Hok Tay yang ditangkap dan diproses hukum.
Baca juga: Hukuman Mati bagi Menteri Korup
Meski radikal membongkar skandal, pemberitaan Indonesia Raya itu juga sempat menyulut keresahan kelompok perempuan. Koran Mochtar Lubis ini dianggap sensasional dan merendahkan harkat perempuan. Menurut David Hill dalam Jurnalisme Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis, 1922—1924, koran ini ingin mengungkapkan dan mengutuk pelecehan yang mengandung eksploitasi seksual, tetapi tergiur untuk memaparkan bahan dengan cara yang bisa meningkatkan sirkulasi.
Tidak dapat dimungkiri, gorengan isu skandal Panitia Ramah Tamah dalam KAA jadi makanan empuk bagi kaum oposisi. Mulai dari pra, perhelatan hingga pasca penyelenggaraan, suara penentangan terhadap KAA begitu gencar. Menurut Deni Rachman, peneliti dan kolektor literatur KAA, hal ini disebabkan orientasi politik luar negeri era kepartaian saat itu memungkinkan setiap partai mempunyai kiblat mitra luar negeri masing-masing.
Baca juga: Beda Cara PSI dan Masjumi
“PNI berorientasi ke Asia-Afrika, PSI ke Eropa Barat, PKI ke Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, dan Masjumi ke Timur Tengah dan Amerika Serikat,” ungkap Deni kepada Historia dalam pesan surat elektronik.
Pendapat yang sama dikemukakan Wildan Sena Utama. Menurutnya, respon negatif terhadap KAA terlihat dari pemberitaan media yang mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. Untuk melancarkan kritik, isu Hospitality Committee tentu saja menguntungkan kelompok tersebut.
“Daripada mengulas isu yang lebih substansial, ternyata mereka lebih tertarik dengan ‘isu esek-esek’. Isu-isu moral memang telah sangat penting dalam politik Indonesia sejak awal-awal Indonesia merdeka,” pungkas Wildan.