Masuk Daftar
My Getplus

Remang Terang Prostitusi

Pemerintah Kolonial kerap berganti sikap soal prostitusi. Suatu kali melegalkannya, lain saat melarangnya.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 27 Mei 2014
Polisi Hindia Belanda menggerebek pekerja seks komersial di Jakarta pada 19 Februari 1949. (IPPHOS).

Tri Rismaharini, walikota Surabaya, Jawa Timur, menutup kawasan prostitusi Dolly pada 18 Juni 2014. Penutupan bertumpu pada tiga alasan utama: Peraturan Daerah No 7/1999, harkat dan martabat perempuan, dan anak-anak. Menyikapi penutupan tersebut, sikap warga terbelah dua: mendukung atau menolak. Ini lumrah dalam polemik prostitusi di pelbagai zaman.

Prostitusi pernah mendapat ruang hidup secara legal dalam masyarakat kolonial. Saat Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) mengeluarkan aturan perihal prostitusi.

Kaisar Napoleon ikut membidani lahirnya aturan itu. Dia melihat daya tempur tentara Prancis mengendor akibat penyakit kelamin. Sumber penyakit kelamin berasal dari penularan lelaki durjana kepada perempuan pekerja seks. Tapi, Napoleon justru membebankan kewajiban pemeriksaan kesehatan hanya kepada perempuan pekerja seks. Mereka mengikuti pemeriksaan medis secara rutin.

Advertising
Advertising

“Ini berarti bahwa prostitusi dibolehkan,” tulis Liesbeth Hesselink, “Prostitution: A Necessary Evil,” termuat dalam Indonesian Women in Focus suntingan Elsbeth Locher Scholten dan Anke Borkent-Niehof.

Baca juga: Prostitusi Masa Jawa Kuno

Aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali.

Terusik maraknya sebaran penyakit kelamin dan prostitusi ilegal, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki. Orang mustahil menolak prostitusi sebab mereka membutuhkannya. Muncullah sebutan untuk prostitusi: “kejahatan yang dibutuhkan.” 

Pemerintah kolonial berpihak pada kelompok pendukung prostitusi. Mereka mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) pada 1852. Ini berarti prostitusi kembali menemukan pijakan legal.

Baca juga: Regulasi Membatasi Prostitusi

Berdasarkan aturan 1852, para perempuan pekerja seks wajib mendaftarkan diri ke polisi. Pemerintah kolonial berharap pendaftaran itu bisa menekan prostitusi ilegal. Perempuan pekerja seks juga harus memeriksakan kesehatannya saban minggu ke dokter. “Jika seorang perempuan pekerja seks terinfeksi penyakit kelamin, dia harus masuk rumahsakit dan tidak boleh pergi hingga sembuh,” tulis Liesbeth.

Harapan pemerintah kolonial meleset. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak. Penentang prostitusi pun bersuara keras. Kata mereka, aturan 1852 sangat konyol. Tidak ada cukup polisi dan dokter untuk mengurus prostitusi. Argumen lain mereka ialah soal moralitas dan dosa agama.

“Secara bertahap, suara para penentang aturan prostitusi menguat. Dan sampai puncaknya pada 1 September 1913 ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth. Maka, rumah bordil dan pergermoan jadi ilegal. Menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, Polisi Susila Hindia Belanda lekas bergerak memberantas prostitusi begitu UU itu berlaku.

Baca juga: Prostitusi di Jakarta dari Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok

Tapi prostitusi tak lantas mati. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Pemilik hotel, restoran, dan tempat hiburan malam menyediakan jasa seks berbayar terselubung. Catatan RDGPH Simons, ahli demartologi Batavia, bahkan menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939.

“Yang ditemukan di warung-warung kopi kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua; prostitusi jalanan dari kampung setempat; rumah-rumah bordil di pusat kota; rumah bordil kampung di pinggiran kota; pelayanan berbeda dari pelayan wanita pribumi; pelayanan yang lebih beragam dari pelayan wanita Belanda; prostitusi Eropa di rumah bordil yang terorganisasi; dan terakhir prostitusi homoseksual dan waria,” tulis John Ingleson, “Prostitusi di Kolonial Jawa,” termuat dalam Perkotaan Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.

TAG

prostitusi

ARTIKEL TERKAIT

Karayuki di Bumi Pertiwi Polemik Panitia Ramah Tamah Konferensi Asia-Afrika Fasilitas "Plus-plus" dalam Konferensi Asia Afrika Datang ke Medan Terjerat Pelacuran Barisan Wanita Pelatjoer, Penyebar Bakteri di Markas Tentara Belanda Regulasi Membatasi Prostitusi Prostitusi di Jakarta, Sejak Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno