Edhy Prabowo dan Juliari Batubara, dua mantan menteri Kabinet Indonesia Maju yang terjerat kasus korupsi terancam hukuman mati. Pernyataan ini dikemukakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharij Hiariej. Menurutnya, mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang pemberatannya sampai kepada pidana mati.
Seperti diketahui, Edhy Prabowo merupakan tersangka penerima suap izin ekspor benih lobster ketika menjabat menteri kelautan dan perikanan. Sementara itu, Juliari Batubara adalah menteri sosial yang mengkorupsi proyek bantuan sosial (bansos) penangangan Covid-19. Keduanya terciduk dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat Covid-19 dan mereka melakukannya dalam jabatan. Dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam dengan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor,” kata Edward dalam seminar nasional “Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi” pada 16 Februari 2021.
Baca juga: Empat Partai Ini Terjerat Korupsi
Pidana mati terhadap menteri yang korup bukanlah wacana baru. Sepanjang pemerintahan di Republik ini, tercatat seorang menteri pernah divonis mati dengan dakwaan korupsi. Menteri tersebut ialah Jusuf Muda Dalam. Pada era Presiden Sukarno, Jusuf menjabat sebagai menteri urusan bank sentral merangkap sebagai gubernur di Bank Indonesia.
Kiprah Jusuf Muda Dalam bermula sejak masa perang kemerdekaan. Dia berjuang di negeri Belanda sebagai jurnalis De Waarheid, harian Partai Komunis Belanda yang memberitakan kemerdekaan Indonesia. Ketika pulang ke Indonesia, Jusuf menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 1956, Direktur Bank Negara Indonesia (BNI) Margono Djojohadikusumo mengajaknya untuk menjalankan bank tersebut. Dari situ, karier Jusuf kian moncer. Pada 1959, dia sudah menduduki jabatan presiden direktur BNI yang kemudian memuluskan jalannya menuju kursi menteri.
Jusuf Muda Dalam dikenal sebagai salah seorang menteri terdekat Sukarno. Pada salah salah satu edisi majalah Berita Fakta Indonesia & Internasional yang terbit tahun 1966, Jusuf Muda Dalam disebutkan berusia 51 tahun dan dilahirkan di Sigli, Aceh. Orangnya banyak senyum, dihiasi oleh kumis kecil ala aktor Hollywood Clark Gable. Pakaiannya selalu necis dan up to date.
Baca juga: Jusuf Muda Dalam, dari Uang Panas hingga Selebritas
Sebagai menteri, kehidupan pribadi Jusuf menuai sorotan miring karena skandalnya dengan banyak perempuan. Aksi demonstrasi mahasiswa pasca peristiwa G30S 1965, kerap kali menyerukan Jusuf sebagai menteri tukang kawin sekaligus menuntutnya untuk diadili. Dalam situasi perekonomian terpuruk akibat inflasi besar-besaran, maka Menteri Jusuf dianggap tidak berempati terhadap penderitaan rakyat. Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 terbit, Jusuf menjadi salah satu dari 15 menteri yang ditangkap.
Dalam penangkapan tersebut, Letjen Soeharto pemangku Supersemar yang menjabat panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), menggolongkan Jusuf Muda Dalam pada kategori tiga, yaitu mereka yang hidup amoral dan asosial di atas penderitaan rakyat. Setelah ditangkap, Jusuf Muda Dalam menjadi menteri pertama yang diadili pada Agustus 1966. Persidangannya disaksikan oleh begitu banyak orang yang datang berjubel-jubel.
Vishnu Juwono dalam Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia mencatat Jusuf Muda Dalam didakwa dengan dakwaan berlapis. Gugatan itu antara lain penyelundupan senjata dan amunisinya maupun bahan peledak berbahaya dan menyelewengkan dana revolusi senilai lebih dari Rp 97 miliar. Angka persis uang negara yang digelapkan Menteri Jusuf berdasarkan temuan Tim Penertiban Keuangan (Pekuneg) adalah sebesar Rp 97.334.844.515.
Baca juga: Jusuf Muda Dalam di Mata Hasjim Ning
Jusuf didakwa menyelewengkan duit hasil proses deferred payment. Ini adalah kredit luar negeri dengan jangka waktu satu tahun yang digunakan untuk mengimpor barang-barang. Pemegang izin deferred payment ini diwajibkan menyetor kepada dana revolusi sejumlah yang ditentukan oleh BNI dalam bentuk uang dan devisa luar negeri.
Satu dakwaan lain yang memang diakui Jusuf adalah mengawini lebih dari empat perempuan. “J.M.D ingkari semua tuduhan, kecuali mengenai soal kawin,” tulis berita Kompas, 8 September 1966 seperti dikutip Vishnu.
Kendati demikian, penangkapan terhadap Jusuf Muda Dalam tidak lepas dari nuansa politis. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia, semua menteri yang masuk daftar penangkapan lebih karena kesungguhan mereka membantu presiden dan bukannya kegagalan mereka yang menyebabkan mereka ditangkap. Semuanya, kelima belas orang menteri itu disinyalir mendukung presiden dalam usaha mengembalikan tentara di bawah kontrolnya.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Sementara itu, pengadilan terhadap Jusuf Muda Dalam, kata Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, memang sengaja diselenggarakan secara terbuka oleh penguasa militer. Lewat sosok Jusuf, satu-satunya petunjuk untuk bisa menunjukan keterlibatan Peking dengan aksi petualangan PKI. Hal ini sekaligus bisa dipakai untuk mulai menekan Presiden Sukarno mengingat kehidupan pribadi Bung Karno dan Jusuf banyak memiliki keterkaitan dan kemiripan.
Dalam pembelaannya, Jusuf mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk mendukung aksi revolusioner Sukarno berdasarkan dukungan kabinet. Akhirnya, dia dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Upayanya untuk banding ditolak pada 1967.
Belum tiba hari eksekusinya, Jusuf Muda Dalam sudah meninggal dalam tahanan pada 26 Agustus 1976 akibat terkena tetanus. Berakhirlah perkara Jusuf Muda Dalam yang disebut-sebut sebagai menteri paling korup era Orde Lama itu.