Jamilah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dikabarkan meraih piala dari Ketua CC PKI DN Aidit atas prestasinya melayani hasrat seks para Pemuda Rakyat yang berlatih di Lubang Buaya. Jamilah juga disebut-sebut sebagai perempuan jahanam yang menyilet-nyilet kemaluan jenderal dan ikut mengyiksa mereka dalam sebuah perhelatan yang bernama Pesta Harum Bunga. Sejumlah media cetak terkemuka turut memberitakan kisah tersebut selah dua bulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965 berlangsung. Tak ada yang bisa memastikan sejauh mana kebenaran berita tersebut.
Warga yang membakar berita itu sontak terbakar amarah. Di banyak tempat di Indonesia, khususnya di Jawa, mereka memburu siapa pun yang diduga punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, partai yang dituduh berada di balik aksi biadab tersebut. Tak hanya mereka yang yang diduga anggota PKI, setiap orang yang mendukung pemerintah Sukarno turut terseret dalam amuk massa yang terjadi sepanjang tahun 1965-1966.
Upaya memadamkan bara kemarahan yang dilakukan oleh Presiden Sukarno dengan mengatakan pemotongan kelamin jenderal bohong belaka tak banyak berpengaruh. Api kemarahan terlanjur membakar hangus rasa kemanusiaan, menyisakan luka dan duka di seantero negeri.
Kini cara yang sama marak digunakan seiring pesatnya penggunaan media sosial. Hoax menyebar bak air bah, membanjiri ruang-ruang pribadi, mempengaruhi cara pandang orang terhadap satu isu tertentu yang sedang marak diperbincangkan. Mungkin bukan kebetulan jika dari sekian banyak tema hoax, beberapa di antaranya berkaitan dengan memori kolektif sejarah kita, antara lain komunisme dan rasialisme.
Presiden Joko Widodo menjadi target utama dari para penyebar hoax itu. Sejak awal masa kampanye pemilihan presiden 2014 yang lampau, serangan hoax beruntun ditujukan kepadanya. Dia disebut-sebut sebagai anak seorang anggota PKI, keturunan Cina, bahkan terakhir tersebar gossip kalau Jokowi mempraktikkan ajaran komunis dalam menjalankan pemerintahannya.
Puncak respons terhadap isu tersebut terjadi tatkala Presiden Jokowi melontarkan kalimat, “kalau PKI nongol, gebuk saja,” ujar Presiden Jokowi di hadapan para pemimpin media massa di Istana Merdeka, 17 Mei lalu. Pertanyaannya, apakah reaksi presiden itu ingin membuktikan kalau memang PKI memang ada (sehingga perlu digebuk) atau wujud mekanisme mempertahankan diri dari tuduhan terkait dengan partai yang sudah dibubarkan sejak 12 Maret 1966 itu?
Satu hal yang mengemuka dari fenomena tersebut: betapa digdayanya hoax hingga menggerus legitimasi seorang presiden dan berhasil membuatnya bereaksi keras membela diri. Reaksi itu semakin mengukuhkan stigma negatif komunisme yang pada akhirnya tetap kekal dalam ingatan orang banyak dan selalu memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan fitnah menjatuhkan seseorang.
Jenis hoax lain yang kini bertebaran di media sosial berkaitan dengan sentiment rasialme. Salah satunya adalah kabar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meresmikan monument Pao An Tui di Taman Mini Indonesia Indah setahun yang lalu. Pao An Tui yang berdiri pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia itu memang punya rekam jejak kelam sebagai organisasi milisi Tionghoa yang bersekutu dengan Belanda (Baca: Riwayat Pembentukan Milisi Tionghoa Pao An Tui).
Benarkah Mendagri meresmikan monument Pao An Tui? Ternyata yang diresmikan monument kerjasama laskar Jawa-Tionghoa dalam pemberontakan melawan VOC usai pembantaian massal warga Tionghoa di Batavia pada 1740. Tapi hoax sengaja terus ditebar untuk mendelegitimasi peran etnis Tionghoa dalam sejarah di Indonesia sebagai landasan delegitimasi peran orang Tionghoa di hari ini (Baca: Duka Warga Tionghoa).
Akhirnya pola sejarah kembali pada satu titik yang sama: hoax selalu jadi cara efektif untuk “memobilisasi” dukungan massal lewat manipulasi informasi dengan tujuan akhir mendelegitimasi peran seseorang atau kelompok masyarakat di sebuah negeri.