Suatu pagi di tahun 1964. Tetiba Presiden Sukarno diam-diam mengumpulkan ajudan dan petugas kawal pribadi. Kepada para bawahannya itu, Si Bung Besar meminta agar Haryatie, salah satu istrinya yang tinggal di bilangan Slipi, Jakarta Barat, dicegah untuk tidak meninggalkan rumahnya. Bagaimana pun caranya.
“Pagi itu Bung Karno ada janji dengan istri yang lain,” ungkap Bambang Widjanarko, eks ajudan Presiden Sukarno, dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno.
Namun rupanya, informasi rencana pertemuan itu entah bagaimana ternyata bocor ke telinga Haryatie. Dia memerintahkan agar para pengawal dan sopir untuk siap-siap mengantarkannya ke tempat Bung Karno berada pagi itu.
“Terpaksalah kami bekerja keras, pelbagai aksi dipersiapkan,” kenang Bambang.
Baca juga: Sukarno dan Skandal Diplomat 20 Persen
Tepat pada waktu yang dikehendakinya, Haryatie memerintahkan sopir untuk menyiapkan mobil. Berlagak sigap, sopir segera lari ke dalam mobil, bergegas menghidupkan mesin. Namun sudah beberapa kali dicoba, mobil tetap diam saja: tak jua mesinnya nyala. Sopir terlihat sangat bingung. Sementara Haryatie tak bisa berbuat apa-apa kecuali berteriak marah-marah.
Sopir kemudian turun dari mobil, membuka kap lantas memeriksa mesin. Kendati dicoba terus, mobil itu tak jua mau berbunyi mesinnya, alih-alih bergerak. Situasi itu berlangsung hingga satu jam lamanya, hingga membuat Haryatie semakin marah dan menelepon Istana Negara: minta segera dikirimkan mobil lain.
Lagi-lagi mobil yang ditunggu-tunggu tak jua datang. Haryatie menelepon Istana Negara lagi dan hanya mendapat kata-kata hiburan agar dirinya bersabar karena situasi jalan di Jakarta tengah macet. Untunglah sekira setengah jam kemudian, terdengar mobil yang tengah diotak-atik sang sopir mulai menyala.
Baca juga: Ketika Bung Karno Digugat Cerai
Tanpa banyak cakap, Haryatie langsung naik mobil pribadinya yang baru saja “ngadat” itu. Mobil berjalan melalui halaman yang cukup luas dan panjang. Tetapi begitu sampai pintu gerbang, laju mobil terhenti oleh satu truk mogok yang sopirnya pergi entah kemana. Rencana Haryatie pun kembali terhalang.
Singkat cerita, Haryatie tidak jadi “melabrak” Bung Karno dan istrinya yang lain. Dengan marah dia terpaksa harus kembali ke rumahnya. Sore hari-nya Bung Karno datang ke Slipi. Seketika menangislahlah Haryatie sembari mengadukan insiden yang terjadi beberapa jam lalu.
Mendengar pengaduan istri tercinta, Bung Karno marah. Dikumpulkannya para ajudan, pengawal dan sopir. Di depan Haryatie, para pengabdi presiden itu dibentak-bentak. Semua terdiam. Terlihat kepuasan di wajah Haryatie saat kejadian itu berlangsung. Benarkah kemarahan Bung Karno itu?
“Ah itu hanya sandiwara. Bung Karno harus berpura-pura marah untuk mendinginkan hati istrinya,” kenang Bambang.
Baca juga: Rahasia Bung Karno dan Perempuan Filipinanya
Di lain waktu Bambang pun secara pribadi pernah menjadi sasaran kemarahan Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno berkebangsaan Jepang. Ceritanya saat kunjungan ke Tokyo, Bung Karno dan rombongan diundang makan malam oleh seorang tokoh penting Jepang. Namun dalam catatan yang ditandatangani oleh Bambang sebagai ajudan utama, nama Dewi sama sekali tidak nampak.
Tentu saja itu meyebabkan Dewi marah besar. Di hadapan Bung Karno, Bambang pun dibentak-bentak. Namun setelah dijelaskan oleh Bambang bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman semata dan tak ada maksud sama sekali dirinya menghina Dewi, maka agak redalah kemarahan perempuan cantik itu.
Padahal soal tak dicantumkannya nama Dewi di catatan peserta jamuan makan malam itu memang itu merupakan instruksi Sukarno sendiri. Kehadiran Dewi saat itu memang masih harus dirahasiakan, terutama dari istri-istri Bung Karno yang lain-nya.
Namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya dia harus terjatuh juga. Tidak selamanya Bung Karno bisa ngeles dan jika itu terjadi maka biasanya otomatis akan memunculkan pertengkaran-pertengkaran laiknya dalam suatu rumah tangga. Situasi tersebut tentu saja membuat ajudan atau pengawal merasa serba salah.
Baca juga: Pramugari yang Menolak Cinta Sukarno
Kejadian seperti itu pernah dialami oleh Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa. Saat mengantar Bung Karno dan Hartini ke Bogor dengan mobil, dia terpaksa harus menjadi “saksi” pertengkaran mereka berdua selama perjalanan ke Istana Bogor. Karena pertengkaran itu semakin panas, maka Bung Karno menyuruh sopir untuk merapat dulu di satu warung buah di kawasan Cibinong.
Saat itulah, Priyatna Abdurrasyid, salah seorang sahabat Bung Karno yang baru saja pulang dari Kejaksaan Agung Jakarta menuju Bandung, dari mobilnya melihat Brigjen Sabur tengah berdiri sendiri di pinggir jalan. Priyatna langsung menghentikan laju kendaraannya tepat di depan Sabur.
“Aya naon euy, nangtung sorangan di jalan?” tanya Priyatna dalam bahasa Sunda. Artinya kurang lebih: Kenapa kamu berdiri mematung sendirian di pinggir jalan?
“Tuh Bapak di mobil keur pasea (lagi betengkar) jeung Ibu,” jawab Sabur seperti dikisahkan Priyatna Abdurrasyid dalam biografinya, Dari Cilampeni ke New York: Mengikuti Hati Nurani yang disusun oleh Ramadhan KH.