Akibat gerak maju pasukan Belanda usai melancarkan Agresi Militer Kedua (1948), TNI dan pasukan gerilya terus mundur ke kantong-kantong yang aman. Di Jawa Timur, Panglima Divisi Kolonel Sungkono memindahkan markasnya ke kaki Gunung Wilis.
Bung Tomo dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI)-nya juga menyingkir ke kaki gunung itu pada awal Februari 1949. Di sana mereka justru mendapati perang saudara antarkekuatan perjuangan Indonesia.
“Ini kami telah mendengar dari Staf Gubernur Militer bahwa di bawah telah terbit pertempuran sengit antara pasukan dari Batalyon S (Sabarudin) dengan pasukan Corps Polisi Militer yang dibantu oleh Kompi Macan Kera. Kabarnya ada segolongan kaum politik telah dapat mempergunakan Batalyon S. Saya tak tahu Bung, mengapa dan bagaimana,” kata Rifai dalam laporannya pada Bung Tomo usai mengunjungi markas Gubernur MIliter, dikutip Sulistina Soetomo, istri Bung Tomo, dalam Bung Tomo Suamiku.
Baca juga: Sulistina Sutomo Diselamatkan Sakit Perutnya
Sabarudin merupakan komandan batalyon ke-38 di dalam brigade Letkol Surachmad. Setelah pemberontakan PKI 1948, batalyonnya ikut direhabilitasi oleh pemerintah. Batalyon Sabarudin lalu aktif memburu pasukan pendukung PKI yang menyingkir ke arah Gunung Wilis, tepatnya ke Dungus.
“Akan tetapi Batalyon Sabarudin yang bergerak cepat dari arah timur kemudian berhasil merebut Dungus dan perbekalan PKI tersebut sehingga mengakibatkan rencana gerilya menjadi berantakan,” tulis Dinas Sejarah Kodam Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa.
Namun, aliansi politiknya dengan Tan Malaka, yang memimpin gerilya kelompoknya yang anti-diplomasi di Gunung Wilis, membuat Sabarudin menjadi lawan tentara republik. Sepeninggal Tan Malaka yang ditembak di Gunung Wilis, Sabarudin dan pasukannya menjadi pelarian dan terlibat pertempuran dengan banyak kesatuan.
Baca juga: Sabarudin Ditakuti Sekaligus Dihormati
Gara-gara perang saudara itulah pasukan Belanda leluasa menyerbu. BPRI makin terdesak sehingga memilih menyingkir ke timur. Dalam perjalanan menyingkir itu, rombongan Bung Tomo akhirnya bisa mencapai Desa Ganter meski beberapakali nyaris “dimangsa” pasukan Belanda. Ketika akhirnya Ganter menjadi tak aman, dengan logistik minim mereka kembali menyingkir menuju jalan setapak berkelok yang dikenal dengan Sleuf Z .
Jalur Sleuf Z merupakan jalur di tengah hutan dengan banyak jurang curam. Tak ada desa atau kampung di sepanjang jalur rimba tersebut.
Bung Tomo yang berpengalaman sebagai pandu lalu menawarkan diri menjadi perintis jalan karena tak tega melihat perempuan di rombongannya sudah kecapaian. Sebelum dia turun ke bawah merambati dinding gunung, kawan-kawannya disuruhnya menanti di atas.
Meski berhasil menuruni tebing setinggi 10 meter, Bung Tomo nyaris jatuh terpeleset. Jalur tersebut pun dianggapnya tak aman sehingga dia segera memberitahu rombongannya di atas agar memilih jalur lain. Mereka sepakat bertemu di Sleuf Z.
Petualangan seorang diri Bung Tomo pun dimulai. Luka di tubuhnya bermunculan seiring kian banyaknya gesekan antara tubuhnya dengan duri bermacam tanaman. Dengan perjuangan berat, dia akhirnya mencapai sebuah air terjun. Ia kemudian menuruni daerah itu hingga mencapai ke sungai. Namun upayanya mengikuti arus sungai gagal karena terhalang jurang licin. Ia pun naik kembali dan mengambil jalur semak belukar.
Baca juga: Riwayat Radio Pemberontakan Bung Tomo
Bung Tomo akhirnya mencapai lereng sebuah bukit yang di bawahnya ternyata terdapat Sleuf Z dan sungai. Antara tempat itu dan Sleuf Z hanya dipisahkan oleh sebuah jurang sedalam kira-kira dua pohon kelapa. Melihat keadaan itu, Bung Tomo pun memutuskan menuruni jurang ketimbang melintasi jalur yang pasti lebih jauh.
Setapak demi setapak jurang itu dituruni Bung Tomo hingga mencapai tempat yang hanya terdapat satu pohon saja. Setelah berhasil menggapai dahan pohon itu, dia berusaha mencari batu untuk pijakan kaki kirinya. Namun belum lagi mendapatkan yang dicarinya, dahan yang diinjak Bung Tomo patah.
“Matilah aku,” kata Bung Tomo sebagaimana dikutip Sulistina.
Baca juga: Bung Tomo Teledor
Tubuh Bung Tomo terjun ke sungai berbatu. Dia pasrah. Beruntung, tubuhnya jatuh tidak ke atas batu namun ke atas air. Bung Tomo selamat meski perut di bawah iga bagian kanannya terasa sakit dan bau anyir darah menyeruak. Dia tak memedulikannya dan kembali berjalan.
Kendati tak sakit digunakan berjalan, Bung Tomo akhirnya tumbang ke air karena kehabisan tenaga. Bajunya yang sudah compang-camping pun basah kuyup. Bung Tomo kemudian hanya bisa duduk termenung di sebuah batu sambil memikirkan cara untuk keluar. Sementara, senja yang kian menggelap membuatnya berpikir apakah mesti melanjutkan perjalanan atau bermalam di tepi sungai.