Hari-hari menjelang habisnya bulan Oktober 1945 adalah waktu yang memusingkan bagi Jenderal Mayor drg. Moestopo, Komandan BKR Jawa Timur sekaligus “Menteri Pertahanan RI add interim”. Bagaimana tidak, baru saja dirinya membuat kesepakatan dengan Komandan Brigade ke-49 British India Army Brigadir A.W.S. Mallaby, pihak Inggris sudah memperlihatkan itikad buruk dengan menduduki 20 titik strategis di dalam kota Surabaya.
Perbuatan itu, selain mecederai kesepakatan yang sudah dibuat pada 26 Oktober 1945, juga menjadikan arek-arek Suroboyo semakin “gemas”untuk secepat mungkin menghajar tentara Inggris. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar pejuang Surabaya tak menginginkan damai dengan tentara Inggris yang dianggap sebagai pembonceng kembali Belanda ke Indonesia.
“Moestopo sendiri (sebenarnya) ingin langsung menghabisi pasukan-pasukan (Inggris) yang mendarat ini…” ungkap Lambert Giebels dalam Soekarno: Biografi 1901—1905).
Baca juga: Dilema Mallaby
Niat itu terkendala karena pemerintah Republik Indonesia (RI) lebih memilih pendekatan damai dalam menghadapi militer Inggris tersebut. Lewat perintah Presiden Sukarno yang langsung meneleponnya dari Jakarta, Bung Besar meyakinkan Moestopo bahwa musuh Indonesia adalah Belanda bukan orang-orang Inggris.
Situasi penuh tekanan itu semakin parah dialami Moestopo ketika pada suatu malam, dia disergap oleh satu grup pasukan khusus Inggris dan dipaksa untuk memberitahu tempat penawanan Kolonel Huijer (seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dan kawan-kawannya.
“Tekanan lebih berat lagi menyusul ketika Inggris pada 28 Oktober mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan kembali senjata yang telah diperoleh mereka dari Jepang,” ungkap sejarawan Moehkardi dalam Sebuah Biografi: R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya.
Merespon ultimatum itu, Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk bergerak ke luar kota. Dengan memakai alasan akan memimpin perang yang sebentar lagi terjadi, Moestopo pun kemudian meninggalkan Surabaya menuju luar kota.
“Banyak pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut dan memilih tetap bertahan di kota dan mengobarkan perang masal melawan Inggris,” tulis Moehkardi.
Baca juga: Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
Akibat kelelahan fisik yang berkepanjangan dan tekanan mental yang berat, pada malam 28 Oktober yang kritis itu, Moestopo jadi berprilaku aneh. Wartawan Antara Wiwiek Hidajat yang malam itu bersama Moestopo, menyebut Moestopo telah mengalami “mental break down”. Wiwiek masih ingat bagaimana malam itu tetiba Moestopo menanggalkan seragam militernya dan menggantinya dengan pakaian khas orang Madura: berpakaian hitam-hitam, berselempang sarung dan memakai ikat kepala. Kepada orang-orang di dekatnya, dia menyatakan tengah bersiap-siap untuk menjalankan taktik Jepang “himizhu zensosen dan singei-se” alias perang rahasia dan gerilya kota.
“Saya bisa membayangkan dalam keadaan kejiwaan apa, dokter gigi itu berada. Dia sudah cukup lama dibuat gila oleh kemunafikan Inggris yang tidak pernah menepati kesepakatan yang terjadi dalam perundingan di mana Moestopo mewakili pemerintah…” ungkap kawan seperjuangannya Suhario Padmodiwiryo dalam bukunya Memoar Hario Kecik, Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit.
Baca juga: Sabarudin Ditakuti Sekaligus Dihormati
Dalam kondisi seperti itulah, sebelum pergi ke luar kota, Moestopo berkeliling Surabaya guna menyampaikan perintahnya. Ikut dalam mobil sedan DeSoto itu, tiga orang lainnya: Sudibyo (mahasiswa kedokteran gigi berfungsi sebagai sopir) dan dua wartawan Surabaya: Wiwiek Hidajat serta Suleimanhadi.
Sepanjang perjalanan itulah, Wiwiek banyak menyaksikan prilaku ganjil Moestopo. Sebagai contoh, jika di setiap pos penjagaan, kendaraan mereka distop para pemuda maka Moestopo akan menjelaskan identitas dirinya. Kadang dia mengaku sebagai komandan TKR atau “menteri pertahan RI”, namun di lain kesempatan tak jarang dia juga mengaku sebagai…Ratu Adil!
Sekira jam 2 dini hari, mereka tiba di Markas BKR Mojokerto pimpinan Marhadi. Karena kelelahan, mereka langsung tertidur. Di saat itulah, mendadak mereka disergap oleh satu kesatuan tentara yang tak dikenal. Moestopo dan kawan-kawannya kemudian diborgol, dinaikan ke truk lantas dibawa ke bekas pabrik gula Brangkal (dekat Trowulan).
Paginya baru ketahuan jika para penculik itu adalah pasukan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Sidoarjo pimpinan Mayor Zainal Sabarudin Nasution. Kepada Moestopo, secara terus terang Sabarudin mengungkapkan bahwa dirinya dibebani tugas oleh “seseorang” untuk menghabisi sang menteri pertahanan.
Tetapi Sabarudin ingat bahwa saat masa bertugas di Pembela Tanah Air (Peta) sebagai anak buah Moestopo, jiwanya pernah diselamatkan oleh sang komandan dari kekejaman tentara Jepang. Karena pertimbangan itulah, Sabarudin memutuskan untuk tidak menuruti perintah atasannya tersebut. Siapakah atasan Sabarudin yang menginginkan hilangnya nyawa Moestopo? Hingga kini jawabannya masih merupakan misteri.
Baca juga: Moestopo vs Hatta di Tengah Pertempuran Surabaya
Sabarudin melepaskan Moestopo begitu saja. Seiring pelepasan itu, Moestopo mendengar kabar bahwa Presiden Sukarno akan datang ke Surabaya guna menengahi pertikaian antara pejuang Surabaya dengan tentara Inggris. Dia kemudian meninggalkan Sidoarjo dengan dikawal oleh Kapten Hamidun, bawahan Sabarudin.
Sebelum menemui Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta di Kegubernuran, Moestopo ingat sejumlah dokumen penting yang berhasil dia rampas dari orang-orang Belanda kala terjadi kericuhan di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Dalam dokumen yang kemudian dia selamatkan di bawah kolong kandang kuda milik Kyai Yusremo itu, ada terkabar informasi bahwa kedatangan Inggris ke Surabaya adalah dalam rangka mengembalikan kekuasaan orang-orang Belanda di Indonesia. Soal ini harus sampai ke telinga Sukarno-Hatta, demikian pikir Moestopo seperti disebutkan dalam buku kecil Memperingati 100 Hari Wafatnya Bapak Prof. Dr. Moestopo.
Maksud hati Moestopo ingin “menelanjangi” Inggris di hadapan Sukarno-Hatta dan sejumlah pejabat republik nyatanya tak pernah terwujud. Alih-alih memberikan informasi penting itu, sang menteri pertahanan malah terlibat keributan dengan Mohamad Hatta di depan para perwira Inggris.