Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal memancing perdebatan sengit. Pokok masalahnya bukan pada keseluruhan Perpres, melainkan pada lampiran Perpres. Lampiran menyebut pembukaan investasi minuman keras di beberapa wilayah dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Tapi lampiran itu akhirnya dicabut.
Minuman keras (miras) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah negeri ini. Tiap daerah mempunyai miras khasnya. Polemik tentang miras juga bukan hal baru. Pada masa kolonial, seorang pejabat kolonial bernama J. Kats mengeluarkan buku tentang manfaat dan mudarat miras alkohol.
“Mengeluarkan kitab ini ialah dengan dua maksud, pertama: akan memberi pemandangan yang ringkas tentang masalah minuman keras, terutama sekali dapat dipakai untuk Hindia Belanda... dan kedua: akan memberi keterangan bagi guru-guru bumiputera yang hendak memperkatakan perkara ini apa waktu dia mengajar,” tulis J. Kats dalam Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja terbitan 1920.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Meski banyak penentangan terhadap miras, produksi miras jalan terus. Di Batavia, pabrik miras berdiri di sekitar aliran Kali Ciliwung. Yusna Sasanti Dadtun dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada berjudul “Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873–1898”, menyebut alasan pendirian pabrik itu di tepian Ciliwung.
“Karena kayu gelondongan yang digunakan sebagai bahan bakar pabrik dialirkan melalui Sungai Ciliwung dan para pemilik pabrik minuman keras mengambil kayu gelondongan tersebut dari sungai,” tulis Yusna.
Memasuki masa kemerdekaan, pabrik minuman keras di Kali Ciliwung berkurang drastis. Sisanya direlokasi. Tapi beberapa pabrik minuman keras masih mengandalkan Kali Ciliwung sebagai sarana produksinya. Misalnya pabrik bir Budjana Yasa. Sebelum kemerdekaan, pabrik ini milik orang Jerman, lalu jatuh ke orang Belanda, kemudian dinasionalisasi jadi perusahaan negara pada 1950-an. Nama produknya Angker Bir.
Budjana Djaja membuat bir menggunakan air Kali Ciliwung. “Yang serba bau dan warnanya kotor kekuning-kuningan itu. Terangnya air untuk bir itu disedot dari salah satu sudut kali Banjir Kanal Timur,” ungkap Djaja, 10 Oktober 1964.
Baca juga: Bung Hatta dan Minuman Keras
Tak banyak orang tahu tentang ini sehingga Djaja memastikannya langsung ke pabriknya. Pembuatannya memang menyedot air Kali Ciliwung. “Namun berkat alat-alat teknik yang serba modern, maka air kotor serba bau dari Kali Ciliwung itu dapat disterilkan dan dirobah menjadi air bersih,” terang Djaja menenangkan pembaca dan penikmat bir.
Bahan baku bir tak hanya air. Ada juga mauch (sejenis kembang palawija Eropa), hop, gandum, beras, ragi, dan gula. Tiga pertama masih perlu impor, sedangkan tiga terakhir sudah terdapat di dalam negeri. Dua bahan terakhir, beras dan gula, tak digunakan dalam bir impor.
Mauch dan hop memberikan rasa pahit kepada bir lokal. Baunya harum dan berkhasiat untuk memberi rangsangan pada urat syaraf tubuh.
Baca juga: Alkohol dan Kejeniusan Masyarakat Nusantara
Pembuatan bir di pabrik Budjana dimulai dari penyortiran gandum. Lamanya 4–8 hari. Lalu gandum dimasukan ke oven. Pabrik itu bisa menghabiskan 1 ton gandum untuk 100 liter bir. Selanjutnya peragian gandum. Bersamaan dengan pemasakan bahan bir seperti air, mauch, dan hop. Bahan-bahan itu lalu dicampur dalam satu ketel sehingga berubah menjadi alkohol dan CO2.
Setelah itu, pendinginan bahan-bahan bir dalam suhu minus 0 derajat celcius. Kemudian masuk tahap penyaringan. Tiga kali saringannya supaya bersih. Terakhir, bir dituang ke dalam botol yang sudah disterilkan. Bir ditutup dengan penutup impor.
Semua proses tadi telah menggunakan mesin-mesin modern. “Tenaga manusia hanya mengawasi,” tulis Djaja. Dengan begitu, kualitas bir pun tetap terjaga dan kuantitasnya stabil. Bir buatan Budjana Yasa dijual di hotel-hotel, pusat belanja kelas atas, dan tempat wisata lainnya sesuai aturan daerah. Harganya di bawah bir impor. Tapi tetap mahal buat kebanyakan orang. “Biasanya orang yang tiap hari minum bir adalah orang-orang yang padat kantongnya,” terang Djaja.
Baca juga: Investasi Bir Pemprov DKI Jakarta
Selama masa ini, permintaan bir di Jakarta terus meningkat. Selain itu, muncul pula desakan untuk inovasi rasa bir. Riset pun dilakukan dengan menggunakan jagung sebagai pengganti beras. “Hasilnya sangat memuaskan karena jagung tidak mengurangi kualitas bir,” ungkap Djaja.
Selain Angker, pabrik bir di Jakarta juga memproduksi bir hitam Tjap Srimpi yang mengandung karamel. Popularitas bir ini cukup luas dan sering muncul di iklan-iklan media massa.
Pada masa Ali Sadikin menjabat gubernur DKI Jakarta, pabrik bir Budjana Yasa diambil alih oleh pemerintah daerah. Investasi pemerintah daerah di perusahaan bir ini masih bertahan hingga sekarang.