Masuk Daftar
My Getplus

Menteri Latief Bicara Harga Cabai

Ketika harga cabai melambung tinggi melebihi UMR harian masyarakat. Bagaimana solusi dari menteri tenaga kerja?

Oleh: Martin Sitompul | 29 Mei 2024
Abdul Latief, menteri tenaga kerja periode 1993--1998. Sumber: Wiki.

Kenaikan harga bahan pokok tentu bikin masyarakat kalang kabut. Apalagi bagi mereka yang kemampuan ekonominya lemah atau pas-pasan. Itulah yang terjadi ketika harga minyak goreng dan telur ayam melambung beberapa waktu silam. Belakangan, harga bawang merah juga ikut naik mencapai Rp55.600/kg.

“Tentu ada kekurangan, saya kira minta maklumi karena Indonesia negara besar, kepulauannya juga jauh-jauh,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan seperti dikutip dalam CNN, 25 April 2024.  

Pernyataan pemakluman atas kenaikan harga bahan pokok juga pernah dilontarkan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Abdul Latief (1993—1998). Bedanya, komentar Latief bernada guyon meski masuk akal pula. Bermula dari kenaikan harga cabe pada Januari 1996, bertepatan dengan bulan puasa.

Advertising
Advertising

Baca juga: Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi

Menurut Harian Berita Yudha, 23 Januari 1996, harga cabe merah keriting mencapai Rp12.500/kg dari harga semula Rp3.000/kg. Di beberapa daerah bahkan mencapai Rp15.000/kg.

“Fluktuatifnya harga cabe itu berkait dengan cuaca. Bulog sendiri telah melakukan operasi pasar dengan memasok cabe dari Jateng ke DKI,” sebut Berita Yudha.

Kenaikan harga cabe itu terbilang parah. Sebelumnya, harga cabe di masa normal berkisar Rp 3.000-4.000/kg. Itu setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) harian yaitu Rp4.000. Kenaikan harga cabe setinggi lima kali lipat itu jadi berita nasional. Keluhan masyarakat datang dari mana-mana. Mulai dari petani cabe, pejual cabe di pasar, hingga masyarakat konsumen.

Menaker Abdul Latief turut angkat bicara menanggapi kenaikan harga cabe. Kalau harga cabe sudah setinggi itu, menurutnya masyarakat tak usah lagi makan pakai cabe. Latief sepertinya mafhum kenaikan harga cabai itu sudah kelewatan. Ia melebihi batas kemampuan beli masyarakat ekonomi lemah, seperti kaum pekerja atau buruh yang diurus oleh kementeriannya.    

“Saya juga enggak makan cabe untuk tahun ini, walaupun saya ini orang Padang,” kata Latief kepada para wartawan di sela-sela acara rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, dikutip Berita Yudha, 28 Januari 1996. “Kalau harga cabe di atas UMR, ya sudah, kita jangan makan cabe aja.”

Baca juga: Pedasnya Cabai, Sedapnya Sambal

Latief sendiri mengakui sudah tidak makan cabe sejak awal tahun. Perutnya acap kali mulas bila menyantap cabe dalam porsi banyak. Padahal, Latief berdarah Sumatra yang terkenal doyan makanan berbumbu nan pedas.

“Saya enggak makan cabe, mules. Masak puasa-puasa makan cabe? Kalau kita enggak makan cabe rame-rame, nanti harga cabe turun. Enggak percaya? Mau taruhan? Mau taruhan?” tantang Latief kocak dengan logat Betawi.

Ketika disinggung soal kenaikan harga cabe bakal membuat sejumlah usaha kuliner gulung tikar, seperti restoran Padang, Latief menampiknya. Menurutnya, harga cabe yang mahal tak sampai harus membuat pengusaha restoran Padang menutup lapaknya. Paling-paling cuma rasa pedasnya saja yang berkurang.    

“Jangan ekstrim gitu dong, masak cabe mahal lalu restoran Padang tutup. Masak perkara cabe naik saja sampai menggoncangkan perekonomian kita. Enggak kan?" timpal Latief.

Baca juga: Lapo Tuak, Restonya Orang Batak

Dengan keadaan seperti itu, seorang wartawan menyeletuk, apakah Menteri Latief memelopori gerakan tidak makan cabe. Latief tertawa panjang mendengarnya. “Lho, saya udah mulai gerakan itu, saya enggak makan cabe. Kalau saya makan cabe, mules. Teman suka bilang, Padang apa lu? Masak makan cabe mules? Saya jawab, Padang-Betawi. Sebab saya cari makan di Betawi,” tutur Latief seraya terkekeh.

Menteri Latief memamg dikenal akrab dengan awak media. Dia merupakan pengusaha sukses yang mengawali kariernya sebagai manajer di Sarinah Department Store (1963—1971). Pada 1972, Latief mendirikan perusahannya, PT Sarinah Jaya, yang bergerak di bidang pengembangan toserba dan swalayan.

“Nama ‘Sarinah’ dipakainya karena merasa dibesarkan olehnya. Masih ada tujuh perusahaan miliknya yang bergerak di bidang perkebunan, buku, periklanan asuransi di samping sebuah yayasan pendidikan. Sarinah Jaya telah membuka cabang di Singapura,” seperti tercatat dalam himpunan riwayat Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986.

Baca juga: Awal Kejayaan Pasar Swalayan

Bisnis Latief moncer. Beberapa usahanya yang terkenal antara lain jaringan swalayan Pasaraya dan stasiun televisi Lativi. Setelah menjabat Menteri Tenaga Kerja, Latief kemudian ditunjuk menjabat Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya . Namun, Latief tak lama menjadi menteri pada periode keduanya. Krisis politik dan ekonomi membuat Latief mengundurkan diri yang kemudian diikuti oleh beberapa menteri yang lain. Tak lama kemudian krisis kabinet menyebabkan lengsernya Presiden Soeharto.

Usaha Latief diteruskan anak-anaknya. Salah satu putranya, Ahmad Dipo Ditiro atau Dipo Latief, merupakan mantan suami artis Nikita Mirzani.  

TAG

abdul latief pengusaha cabai

ARTIKEL TERKAIT

Jatuh Bangun Teuku Markam Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Cerita Bob Hasan di Nusakambangan Slamet Sarojo, Polisi Jadi Pengusaha Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam Menggeruduk Rumah Penggede Orde Lama Tajir Melintir Teuku Markam Filosofi Bisnis T.D. Pardede Ketika Hoegeng dan Teuku Markam Bersitegang Cabai dari Amerika ke Nusantara