SEKOLAHNYA tidak tinggi tetapi lini usahanya ada di mana-mana. Orang-orang suka memanggilnya “Ketua”, yang dalam logat Medan dilafal “Katua”, yang berarti bos. Itulah Tumpal Dorianus Pardede, yang sohor sebagai “Raja tekstil dari Medan.” Pada masa jayanya, Pardede diakui sebagai salah satu pengusaha nasional terkaya di Indonesia.
Bakat bisnis Pardede, yang lahir di Balige, 16 Oktober 1916 ini memang sudah terasah sejak dini. Di masa kanak-kanak, seperti terkisah dalam Apa dan Siapa Sejumlah orang Indonesia 1985—1986, Pardede suka bermain kelereng. Acapkali menang. Bahkan, sering pula Pardede muncul di pasar, menjual kelereng yang berlebihan itu. Dengan cara itulah, bocah Pardede mendapatkan uang jajan. Sebagian uang yang sisa, disimpannya sebagai tabungan. Pada usia tujuh tahun, Pardede membagi waktunya antara sekolah, berjualan, dan belajar agama.
“Waktu itu ayah saya sudah meninggal,” tutur Pardede.
Pardede menempuh pendidikan formal hanya sampai tingkat Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar bagi anak-anak pribumi di Balige. Namun, Pardede banyak menimba ilmu dagang dari pengalamannya bekerja di lapangan. Beranjak dewasa, Pardede bekerja sebagai buruh kasar dari satu perkebunan ke perkebunan lain di Sumatra Timur. Di samping banyak belajar ilmu dagang, Pardede sering menyaksikan betapa merananya para kuli kebun yang terikat kontrak dengan tuan kebun Belanda.
Baca juga:
T.D. Pardede, Raja Tekstil dari Medan
Begitupun pada zaman pendudukan Jepang. Pardede yang sudah beralih profesi jadi pedagang gula merah dan garam di Balige kerapkali menerima perlakuan kasar tentara Jepang. Pukulan atau tempelengan tentara Jepang berkali-kali mendera Pardede maupun rekannya sesama pedagang pemasok bahan pangan. Kendati demikian, kejelian dan kegigihan Pardede dalam berdagang berhasil membuatnya memonopoli gula dan garam di Tapanuli.
“Dari situlah saya jadi banyak uang, sehingga di zaman Jepang, yang dibilang paling kaya di Tapanuli, sayalah itu,” kata Pardede dalam majalah Eksekutif, No. 11, Mei 1980. Pardede mengakui, di zaman Jepang dirinya bekerja siang dan malam. Bahkan, kalau perlu dia tidur di mobil. Dengan demikian, Pardede mampu menguasai pasar-pasar di Tapanuli dan menyisihkan saingannya sesama pedagang dari kalangan Tionghoa.
Pengalaman kerja di bawah panji penjajah membuat Pardede berhasrat membantu orang-orang yang kesulitan melalui usahanya. Oleh karena itu, di masa revolusi kemerdekaan Pardede ikut berjuang sebagai perwira dagang. Dengan pangkat letnan, Pardede bertugas di bagian perbekalan atau logistik. Dia mengambil beras dari Tapanuli dan menjualnya ke Pekan Baru. Dengan begitu, perjuangan dapat dibiayai sekaligus memberi makan pasukan.
Pada 1949, Pardede berhenti dari dinas ketentaraan. Pardede melihat keadaan masyarakat serba susah. Banyak orang hanya berkaus kutang alias singlet. Dari situ timbulah niat Pardede untuk membangun pabrik tekstil, khususnya kaus singlet. Berdirilah kemudian, Knitting Factory T.D. Pardede di Medan. Kaus produksi pertamanya dicetak dengan nama merk Surya.
Baca juga:
Sejak pabrik tekstil Pardedetex berdiri pada 1953, kesuksesan seolah-olah mengejar Pardede. Usahanya berkembang pesat sehingga mampu mediversifikasi berbagai produk sandang. Dari singlet, Pardedetex memproduksi selimut dan membangun lagi pabrik pemintalan benang. Pada 1960-an, sosok Pardede sudah dikenal luas sebagai industrialis terkemuka di Indonesia. Selimut cap Surya menguasai pasaran dalam negeri sedangkan Pardedetex menjadi pabrik pemintalan swasta terbesar di Indonesia. Reputasi Pardede bahkan memikat Presiden Sukarno yang kemudian mengangkatnya menjadi menteri berdikari pada Kabinet Dwikora. Pardede, seperti diungkap sejarawan Jepang Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang, adalah pendukung finansial terpercaya Sukarno.
Hingga dekade 1980-an, kerajaan bisnis Pardede telah merambah berbagai sektor. Selain pabrik tekstil, Pardede memiliki jaringan perhotelan dan usaha perikanan. Semuanya bernaung di bawah induk usaha T.D. Pardede Holding Company, terdiri dari 28 unit badan usaha dengan tenaga kerja sebanyak 5.000 orang staf dan karyawan.
Selain mencari untung di perniagaan, Pardede berkhidmat pula dalam urusan sosial kemasyarakatan. Di bidang olahraga, Pardede membentuk Pardedetex yang jadi cikal bakal klub sepakbola profesional pertama di Indonesia. Di bidang kesehatan, Pardede membangun Rumah Sakit Herna, yang diambil dari nama sang istri Hermina br. Napitupulu. Dan di bidang pendidikan, Pardede mendirikan Universitas Darma Agung yang sekaligus menjadi tempat penghasil sumber daya manusia bagi berbagai perusahaan Pardede.
Baca juga:
T.D. Pardede, Pak Ketua Gila Bola
Siapa nyana, Pardede yang cuma jebolan HIS Balige itu pada akhirnya menggondol gelar Doktor (Honoris Causa) dalam ilmu ekonomi. Gelar itu diperolehnya dari Takushoku University, Jepang pada 1967. Sebelumnya, pada 1964 Pardede memperoleh gelar Ahli Tekstil dari Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) dan Ahli Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara (USU) pada 1965. Gelar kehormatan itu buah dari pengalaman dan keterampilan Pardede dalam mengelola bisnis.
Di balik kesuksesan Pardede, tersua prinsip yang jadi pegangannya: “Miskin belajar kaya, kaya belajar miskin.” Begitulah falsafah hidup Pardede yang selalu dikemukakannya dalam berbagai kesempatan. Miskin belajar kaya, artinya: dalam keadaan miskin, kita harus punya keuletan dam ketabahan untuk mencari jalan dan berusaha untuk mencari kaya. Sedangkan kaya belajar miskin, berarti rezeki berasal dari Tuhan sehingga kita disebut orang kaya, maka kita mesti tetap mengingat bagaimana sakitnya waktu masih miskin. Dengan demikian, kekayaan itu jadi amanah untuk kepentingan kemanusiaan sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Baca juga:
Peris Pardede, Pedagang Arloji Jadi Petinggi PKI
Dalam menjalankan roda perusahaannya, Pardede mengusung motto 8K yang menjadi pedoman setiap karyawan. Isinya terdiri dari delapan kata sifat: Kejujuran, Kelakuan, Kemauan, Kerajinan, Kebersihan, Kesehatan, Kewajiban, dan Kepatuhan. Menurut mantan sekretaris pribadi Pardede, Drs. H.S. Pulungan, “Walutama” adalah istilah lain untuk menyebut motto 8K tadi. Walutama dapat menjadi jembatan takwa (Batak dan Jawa).
“Walutama dapat dibaca sebagai walu na tama (Batak), atau dapat juga dibaca sebagai wolu sing utomo, yang kedua-duanya berarti delapan yang utama,” ujar Pulungan dalam “Visi, Misi, dan Profesi” termuat di kumpulan tulisan 75 Tahun Dr. T.D. Pardede suntingan Samuel Pardede.
Sampai wafatnya pada 18 November 1991, Pardede meninggalkan aset yang tersebar di berbagai kota. Beberapa masih bertahan hingga saat ini, seperti Hotel Danau Toba dan Hotel T.D Pardede di Medan dan Parapat. Begitupun dengan Universitas Darma Agung dan Rumah Sakit Herna. Nama T.D. Pardede diabadikan sebagai nama salah jalan di kota Medan yang dahulu bekas lokasi berdirinya pabrik tekstil Pardede.*