Nama Teuku Markam disebut-sebut dalam persidangan eks Menteri Urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia Jusuf Muda Dalam. Ketika dihadirkan sebagai saksi, Markam mengakui, dirinya menerima izin kredit khusus (DPC) sejumlah US$ 15 juta dari Jusuf Muda Dalam. Lantaran keburu ditangkap, belum semua dari dana itu diterima Markam.
“Belum semua direalisir, Pak,” kata Markam kepada hakim dikutip harian Berita Yudha, 5 September 1966.
“Yang pertama 5 juta dollar, sudah selesai. Yang kedua 10 juta, sedang kami laksanakan. Baru masuk 2 juta, saya sudah ditahan, Pak,” terang Markam.
DPC yang dicairkan atas otoritas Jusuf Muda Dalam selaku menteri telah menyebabkan kerugian negara sekira ratusan juta dolar. Dalam putusan pengadilannya, Jusuf Muda Dalam dinyatakan bersalah. Hakim kemudian menjatuhkan hukuman mati kepada Jusuf Muda Dalam. Sementara itu, Teuku Markam ikut jadi pesakitan kendati perkaranya tak pernah disidangkan, sebagaimana Jusuf Muda Dalam.
Baca juga: Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam
Teuku Markam merupakan saudagar terpandang asal Aceh berjuluk “Si Raja Karet”. Bisnisnya yang bergerak di bidang perkebunan karet bernaung di bawah bendera perusahaan PT Karkam, singkatan dari “Kulit Aceh Raya Kapten Markam”. Markam dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Presiden Sukarno. Betapa rapatnya sehingga Markam acap disebut-sebut sebagai “Pengusaha Istana”. Namun, semenjak ditahan, reputasinya hancur seketika. Markam harus menjalani masa nelangsa sebagai orang terhukum tanpa proses pengadilan.
Selama 8 tahun 7 bulan, Markam meringkuk dalam penjara rezim yang saat itu sudah beralih kuasa ke Presiden Soeharto. Pada kurun waktu tersebut, Markam berpindah-pindah tempat penjara. Sebermula ditahan di RTM Budi Utomo, Markam kemudian berturut-turut mendekam di Rutan Guntur, Jakarta Selatan; Penjara Salemba, Jakarta Pusat; Lapas Cipinang, Jakarta Timur; dan Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Nirbaya di Pondok Gede, Jakarta Timur.
Tidak cukup dengan memenjarakan Markam, hartanya juga disikat oleh negara. Pihak militerlah yang mula-mula mulai mempreteli aset-aset Markam. Antara, 14 April 1966 mewartakan, Penguasa Perang Daerah Riau menguasai seluruh harta kekayaan PT Karkam yang berada di Riau. Sementara itu, di Tanjung Priok, sembilan kapal kepunyaan Markam disita oleh Pepelrada Maritim III.
Baca juga: Tajir Melintir Teuku Markam
Seluruh harta-kekayaan Markam akhirnya dibekukan pemerintah. Dana dari aset perusahaan PT Karkam kemudian digunakan untuk memodali perusahaan negara PT Pilot Proyek Berdikari atau disingkat PT PP Berdikari. Ketika diambil alih, menurut George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, nilai aset PT Karkam berjumlah 460 juta dolar AS.
“Pelan namun pasti, dengan bantuan para koleganya, Jenderal purnawirawan Bustanil Arifin dan Suhardiman, status hukum PT Berdikari dipindahtangankan menjadi perusahaan swasta yang sepenuhnya dimiliki oleh ketiga yayasan Soeharto: Dakab, Dharmais, dan Supersemar,” catat Aditjondro.
Pada 1972, Markam jatuh sakit dalam tahanan. Dua tahun Markam dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya, termasuk tokoh yang getol menyuarakan kasus Markam. Menurutnya penahanan Markam mengabaikan prinsip keadilan dalam penegakan hukum. Seandainya Markam tidak terlibat G30S dan penahanannya lebih karena pelanggaran ekonomi, Mochtar Lubis menyerukan agar kiranya Markam dihadapkan ke pengadilan.
“Harta bendanya telah porak-poranda tak karuan dan kehidupan keluarganya juga telah menderita amat sangat selama masa kehidupan yang demikian lama,” kata Mochtar Lubis dalam tajuk rencana Indonesia Raya, 26 Februari 1973.
Baca juga selengkapnya tentang Teuku Markam dalam konten premium:
Runtuhnya Kerajaan Bisnis Markam, Sang Taipan Istana
Setelah bebas pada akhir 1974, Markam segera menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Ratna Kartika. Pulang dari naik haji, Markam mendirikan perusahaan PT Marjaya (Markam Jaya) yang bergerak di bidang kontraktor dan infrastruktur. Dalam Sinar Harapan, 13 April 1977, Markam menyebut kembalinya dirinya menggeluti dunia bisnis berkat peran Adam Malik yang saat itu menjabat menteri luar negeri.
“Adam Malik sangat banyak menolong saya, beliaulah yang memberikan dorongan supaya saya bangkit kembali,” terang Markam.
Selama “disekolahkan” di penjara, Markam mengakui mendapat perlakuan istimewa karena campur tangan Adam Malik. Itulah sebabnya Markam sesekali dibolehkan keluar-masuk penjara sekadar untuk nonton film atau main golf.
“Pagi-pagi saya kadang-kadang sudah di rumah Pak Adam Malik minta uang,” katanya diiringi tawa.
Atas kebaikan Adam Malik itu, Markam terkenang di masa jayanya dulu pernah berjasa bagi Adam Malik. Markam mengklaim dirinyalah yang membisiki Bung Karno untuk mendapuk Adam Malik sebagai menteri koordinator bidang ekonomi terpimpin.
“Soalnya Pak Adam waktu jadi menteri perdagangan sudah pusing saja, karena ribut dengan Jusuf Muda Dalam,” kenang Markam.
Baca juga: Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan
PT Marjaya terlibat dalam sejumlah tender pembangunan jalan skala besar di Aceh. Salah satunya jalan Tapaktuan-Krueng Luas di Aceh Selatan sepanjang 96 km yang dibiayai Bank Dunia. Dasar pebisnis tulen, Markam tetaplah saudagar kaya walaupun kerajaan bisnisnya yang pertama sudah digulung habis pemerintah. Kendati demikian, kesuksesan PT Marjaya tidak segemilang PT Karkam di masa silam. Markam kalah saing dengan para pengusaha Tionghoa yang banyak bermunculan pada masa puncak Orde Baru.
Setidaknya selama satu dekade Markam dapat menikmati sisa hidupnya sebagai orang bebas merangkap juragan PT Marjaya hingga wafatnya pada Desember 1985. Sebagai penyandang pangkat kapten purnawirawan, Markam dimakamkan secara militer. Perusahaan peninggalan Markam, PT Marjaya, kemudian diteruskan oleh salah satu anaknya, Teuku Syauki Markam.