Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan
Cerita Bung Kancil dengan pengusaha Orde Lama yang tergusur rezim Orde Baru. Dari soal kolektor seni hingga perkara alat intelijen.
Adam Malik bergaul karib dengan Ibrahim “Bram” Tambunan, anak juragan tekstil terkemuka di Batavia Haji Mochamad Jasin Tambunan. Setelah sang ayah wafat pada 1956, Bram meneruskan perusahaan keluarganya. Dari perusahaan keluarga, Bram membesarkan bisnisnya hingga membuka kantor perwakilan di luar negeri. Persahabatannya dengan Adam Malik tetap terjalin walaupun Bram telah menjadi pedagang sukses nan tajir melintir.
Pada dekade 1960-an, Bram kesohor sebagai pengusaha nasional yang rapat dengan Presiden Sukarno. Bram merambah bisnis ekspor-impor dengan mendirikan PT. Sinar Pagi. Dia dijuluki “Si Raja Ban” karena memegang lisensi istimewa untuk mengimpor ban dari Jepang. Sementara itu, Adam Malik menjajal peruntungan di panggung politik hingga menjabat sebagai menteri perdagangan. Meski menggeluti dunia berbeda, Adam dan Bram setidaknya punya selera seni yang sama. Kolektor seni Ez Halim dalam bukunya Amrus Natalsya: Mutiara dari Bumi Tarung mengulas Adam dan Bram sebagai peminat karya Amrus Natalsya, seniman Lekra yang terkenal dengan ukiran patung kayunya.
“Karya Amrus Natalsya waktu itu terkadang dibeli oleh kolektor negarawan seperti Bung Karno, Adam Malik, dan Bram Tambunan,” sebut Ez Halim.
Baca juga: Adam Malik Hilangkan Sketsa-sketsa Karya Sudjojono
Selain seni, Bram punya kegandrungan terhadap peralatan intelijen dan benda elektronika. Menurut Kwik Kian Gie, Bram turut berperan menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke luar negeri. Dengan alfabet morse, kata Kwik, Bram mengirimkan pesan kawat ke PBB yang masih berkantor di Lake Succes, New York, Amerika Serikat. Pada 1963, Kwik bekerja untuk Bram Tambunan sebagai Direktur NV Handelsonderneming Ipilo, kongsi dagang yang dibentuk Bram bersama Rubianto di Amsterdam, Belanda. NV Ipilo mengimpor hasil alam dari Indonesia untuk dipasarkan di Eropa.
Bram suka meminta Kwik untuk mencari penyuplai alat-alat penyadapan. Kwik menemukan barang pesanan Bram itu di salah satu toko di Jerman Barat. Toko itu berkedok sebagai penjual celana dalam karena alat penyadap masuk dalam kategori barang terlarang. Belakangan, pemilik toko itu ketahuan polisi dan dipenjara. Namun, barang yang dimintakan Bram telah disampaikan oleh Kwik.
Sebagaimana dituturkan Kwik dalam memoarnya Menelusuri Zaman: Memoar dan Catatan Kritis Kwik Kian Gie, Bram dengan jemawa menawarkan alat penyadap itu kepada sahabatnya, Adam Malik. Alih-alih terkesima, Adam hanya menanggapinya datar saja seraya berucap, “Memangnya Bram lebih hebat dari pemerintah?” Menurut Adam Malik, pemerintah saat itu telah mempunyai perangkat intelijen yang jauh lebih canggih.
Baca juga: Konflik Sukarno dengan Adam Malik
Adam Malik memang bukan orang sembarangan dalam perkara intelijen Indonesia. Pada akhir periode konfrontasi “Ganyang Malaysia”, dia berperan memuluskan operasi intelijen yang mengakhiri konflik Indonesia dengan Malaysia. Adam Maliklah yang menghubungkan Ali Moertopo dan Benny Moerdani menjalankan lobi rahasia dengan pihak Malaysia. Koneksi itu dimungkinkan oleh ikatan kekerabatan Adam Malik dengan Ghazali Shafie, kepala intelijen Malaysia. Adam Malik merupakan paman dari istri Ghazali.
Nama Adam Malik belakangan dihubungkan dengan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA). Jurnalis The New York Times Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes: The History of the CIA, menyebut Adam Malik merupakan seorang spion CIA di Indonesia. Pada 1964, Adam Malik bertemu dengan Clyde McAvoy, perwira intelijen CIA di sebuah tempat rahasia di Jakarta. McAvoy datang ke Indonesia bertugas menyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno. Dalam suatu wawancara dengan Weiner pada 2005, McAvoy mengaku merekrut Adam Malik sebagai agen.
“Dia (Malik) adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut,” kata McAvoy kepada Weiner.
Baca juga: Spionase Paman Sam
Pengakuan McAvoy tersebut sontak menggegerkan publik ketika buku Weiner terbit di Indonesia pada 2008 dengan judul Membongkar Kegagalan CIA. Suara penolakan datang dari sejarawan LIPI Taufik Abdullah, yang menyimpulkan kesaksian McAvoy tak lebih dari fitnah belaka. Apalagi Adam Malik telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional pada Hari Pahlawan tahun 1998. Isu inipun akhirnya menguap begitu saja sedangkan buku Weiner berhasil meraih Pulitzer – penghargaan tertinggi bagi insan jurnalis cetak di Amerika.
Sementara itu, Bram Tambunan bak hilang ditelan bumi setelah terjadi pergantian rezim. Namanya disebut-sebut dalam persidangan Jusuf Muda Dalam, eks Menteri Urusan Bank Sentral, sebagai penerima izin kredit khusus (DPC) sebesar US$10 juta yang menyebabkan kerugian negara. Jusuf juga membenarkan bahwa dirinya sering menerima uang pemberian Bram sejak perkenalan mereka pada 1959.
Sebelum diamankan pihak berwajib, Bram meninggalkan Indonesia. Dia kemudian menetap di negeri Belanda selama beberapa tahun. Baru pada paruh kedua 1970, Bram dikabarkan telah kembali ke Indonesia. Namun, masa jaya “Si Raja Ban” tinggal kenangan. Kebanyakan asetnya sudah berpindah tangan. Sang taipan yang di masa hidupnya dikenal dermawan itu wafat pada hari Natal, 25 Desember 1990 dalam usia 70 tahun. Dia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, berdekatan dengan makam ayahnya, Jasin Tambunan.
Baca selengkapnya dalam konten premium: Hikayat Bram Tambunan, "Si Raja Ban"
Tambahkan komentar
Belum ada komentar