Selama berkuasa, Presiden Sukarno ditopang oleh sejumlah pengusaha swasta yang loyal. Mereka andil dalam membiayai aneka proyek mercusuar gagasan Bung Karno. Sebagai imbal baliknya, para pengusaha ini menikmati fasilitas dan kemudahan dalam menjalankan roda bisnis. Apakah itu dalam bentuk kredit lunak, proyek tender, hingga ekspor-impor komoditi.
Setelah terbit Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, beberapa pejabat negara dianggap sebagai biang kerok penggarong uang negara. Atas perintah Jenderal Soeharto, para pengusaha yang dekat dengan Sukarno turut jadi target penangkapan. Mereka yang paling menonjol jadi sasaran bulan-bulanan masyarakat.
Itulah yang terjadi salah satunya kepada eks Menteri Urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia Jusuf Muda Dalam (JMD). Sebelum menjabat menteri, JMD merupakan presiden direktur Bank Nasional Indonesia (BNI). Lama berkecimpung di sektor ekonomi, JMD bergaul akrab dengan pengusaha ternama masa itu. Ia berperan dalam mencairkan kredit luar negeri berjangka setahun (DPC) kepada beberapa pengusaha rekanan.
Dalam Supersemar, JMD masuk daftar penangkapan kategori ketiga. Kategori ini merujuk pada pejabat yang hidup amoral dan asosial; hidup dalam kemewahan di atas penderitaan rakyat.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Harian Berita Yudha edisi Minggu, 27 Maret 1966 menyebut rumah milik JMD di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, jadi sasaran penggerebekan kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar. Salah satu kompleks perumahan di atas tanah seluas 8000 meter persegi itu lebih mirip taman tempat raja-raja dulu bersenang-senang. Menurut koran yang berafiliasi dengan Angkatan Darat ini, salah satu rumah yang termewah oleh JMD ternyata dijadikan tempat bersuka ria bersama simpanan-simpanannya.
Dari jalan raya, rumah itu tampak seperti gedung biasa saja. Namun, ketika dimasuki, terdapat satu kompleks luas dengan tiga gedung yang dibatasi tembok tinggi. Di salah satu gedung itulah JMD biasa menghabiskan waktu dengan beberapa perempuan secara bergantian. Begitu masuk ke dalam, seisi rumah terlihat mewah lengkap dengan perabotan serba modern. Kisah “taman firdaus” duniawi JMD akhirnya tersingkap setelah seluk-beluk rumah tersebut digeruduk massa.
“Di dalam gedung itu didapati berbagai macam foto wanita telanjang, di antaranya terdapat bintang-bintang film Indonesia. Di samping ini juga terdapat alat-alat pemotret serta alat-alat kecantikan dan obat-obat hormone,” sebut Berita Yudha.
Baca juga: Jusuf Muda Dalam, dari Uang Panas hingga Selebritas
Menurut keterangan pelayan rumah, seperti dikutip Berita Yudha, JMD dalam seminggu empat kali mengunjungi rumah peristirahatannya itu. Setiap tuannya itu datang selalu disertai wanita. Kadang-kadang si wanita datang lebih dulu. Datangnya pun tak tentu. Kadang-kadang pukul 12 siang, terus menginap. Kira-kira pukul 6 sore kemudian wanitanya pulang. Lanjut lagi pukul 7 malam, datang lagi wanita lain. Ia mengaku, rumah tersebut baru digunakan selama 8 bulan terakhir.
“Wanita yang sering berkunjung ke sini umumnya berumur sekitar 18 sampai 23 tahun. Karena demikian banyak dan berlainan yang datang kemari, maka saya sangat sulit untuk mengenalnya satu-satu di antara mereka itu. Tapi yang sudah saya kenal benar ialah 2 orang wanita pegawai Bank Negara,” ujar si pelayan.
Berbeda dari penggerudukan rumah JMD, dalam proses penangkapan Teuku Markam terjadi perlawanan. Markam adalah Direktur PT Kulit Aceh Raya Kapten Markam (Karkam). Dialah raja karet dari Sumatra yang tajir melintir. Selain itu, Markam merupakan salah satu pengusaha Istana yang menikmati fasilitas DPC. Markam dikenal dekat dengan Presiden Sukarno dan kawan dari JMD.
Baca juga: Tajir Melintir Teuku Markam
Markam ditangkap pada 23 Maret 1966. Tentara menjemput Markam di kediamannya di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan. Namun, penangkapan itu, menurut koran Malaysia Berita Harian, 1 April 1966, didahului baku-tembak antara anak buah Markam dan tentara yang hendak menciduknya.
“Tentara berjaya menangkap Tuan Markam dan pengikut-pengikutnya,” kata Berita Harian.
Markam kemudian dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan. Pada masa Orde Baru, semua harta Markam maupun aset PT Karkam disita oleh negara. Tapi, setelah bebas pada 1974, Markam bangkit lagi dengan merintis PT Marjaya yang bergerak di bidang kontraktor.
Baca juga: Runtuhnya Kerajaan Bisnis Teuku Markam, Sang Taipan Istana
Kisah mirip JMD juga melanda Potan Harahap. Ia merupakan tangan kanan JMD yang menjabat sebagai gubernur pengganti BNI Unit III. Menurut Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno, Potan salah satu pengusaha asal Sumatra yang termasuk jajaran tim penasihat ekonomi presiden. Dalam kedudukannya itu, Potan bertugas menghimpun dana revolusi dari sejumlah pengusaha.
Pada akhir Maret 1966, rumah Potan di Jl. Adityawarman No.21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan diserbu serombongan massa. Sejumlah satpam penjaga rumah Potan tak berdaya menghadapi jibunan orang yang menggeruduk sejak pukul 5.30 pagi. Kebanyakan massa ini berasal dari kesatuan aksi mahasiswa. Pintu rumah Potan yang memakai kunci luar negeri, dikampak oleh mereka sampai ringsek.
Setiba mereka di depan pintu kamar, Potan tak kunjung keluar. Ketika pintu kamar dibobol, Potan ditemukan sembunyi di dalam lemari pakaian dalam keadaan meringkuk ketakutan.
Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit
“Dia berjongkok di atas tumpukan uang rupiah baru, menggigil pucat melihat para mahasiswa itu,” kata Berita Yudha, 24 April 1966.
Menurut Berita Yudha, sejumlah besar dokumen penting ditemukan dalam kamar rumah Potan Harahap. Pada tas koper merek Samsonite tersua surat-surat katebelece dari Menteri Kehakiman Astrawinata maupun JMD. Sementara itu, di meja kerja Potan didapati dokumen-dokumen yang menyangkut perkara moneter. Terselip pula setumpuk buku travelling cheque yang siap diuangkan senilai ratusan ribu dolar Amerika. Yang lebih menyilaukan mata, ditemukan satu sak besar berisi penuh dengan butiran-butiran permata, berlian, dan perhiasan berharga lainnya.
Demikianlah sekelumit cerita penggerebekan kediaman Potan Harahap. Setelah itu, tak banyak lagi informasi yang tercatat mengenai tindak lanjut kasus hukum Potan Harahap. Namun yang jelas, mayoritas pejabat dan pengusaha loyalis Sukarno mengalami nasib nelangsa di zaman Orde Baru.
Baca juga: Omar Dani, Panglima yang Dinista