D.N. Aidit jadi buronan setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu dianggap sebagai dalang intelektual di balik gerakan makar tersebut. Untuk memburu Aidit, pihak Angkatan Darat menggelar operasi intelijen. Pengejaran berlangsung sampai ke Jawa Tengah dipimpin oleh Kolonel Jasir Hadibroto, Komandan Brigade Infantri IV Kostrad.
“Pasukan saya ditarik dari Kisaran, Sumatra Utara. Kami tidak jadi menyerbu Malaysia, tetapi dialihkan ke Jawa Tengah untuk melakukan pengejaran sisa-sisa oknum G30S,” ujar Yasir dalam harian Kompas, 5 Oktober 1980.
Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"
Dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, wartawan senior Julius Pour mencatat, hanya dalam tiga minggu, tim intelijen Brigif IV berhasil melacak jejak Aidit. Sampai akhirnya masuk laporan berkualifikasi A-1, terjamin kebenarannya. Bahwa pada 21 November 1965, persembunyian Aidit pindah dari Kletjo, di bagian barat kota Solo, ke Sambeng. Sesudah menerima info tersebut, jaring-jaring perangkap mulai ditebar pasukannya di Kampung Sambeng, sekitar 300 meter dari Stasiun Kereta Api Solo Balapan
“Sekitar pukul 21.00, setelah rumah sasaran dikepung rapat, Letnan II (Inf) Ning Prajitno bersama anak buahnya mendobrak persembunyian Aidit,” tulis Julius Pour.
Baca juga: Misteri Tiga Orang Kiri
Sewaktu rumah persembunyian Aidit didobrak dan digeledah ternyata kosong tidak berpenghuni. Dalam penyisiran nampak sebuah kaca mata baca tergeletak di meja tetapi pemiliknya tidak ditemukan. Namun ketika seorang prajurit bernama Kosim menggeser lemari makan, ditemukanlah pintu darurat menuju kamar rahasia. Dalam ruangan tersebut terdapat lemari pakaian.
Baca juga: Memburu Subandrio
Majalah terbitan Pusat Sejarah ABRI. Senakatha, No.13, Januari 1992 mengisahkan drama yang cukup unik dalam upaya meringkus Aidit. Prajurit yang membuka lemari pakaian itu terperanjat kaget begitu mendapati sesosok manusia. Soalnya, ada pakaian gantung yang bergerak-gerak seirama gerak napas seseorang.
Rupanya Aidit bersembunyi dalam bilik lemari pakaian. Dia berdiri di balik pakaian gantung. Dengan sigap, sang prajurit menyingkap baju panjang tersebut dengan posisi siap tembak. Terjalinlah percakapan singkat antara Aidit dan prajurit.
“Angkat tangan… Keluar dan menyerah!” perintah si prajurit.
“Ya…Kamu tahu saya Aidit?" ujar orang tersebut
“Baik… Bapak sekarang saya tangkap,” jawab prajurit.
Aidit coba menggertak: “Nanti dulu. Saya ini Menko. Kamu tidak berhak menangkap saya.”
Si prajurit mulai habis kesabaran. “Mengko? Apa…? Saiki!” katanya seraya menyeret Aidit.
Baca juga: Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan
Rupanya si prajurit salah dengar. Ucapan Menko yang dimaksud Aidit adalah jabatannya dalam pemerintahan sebagai Menteri Koordinator. Sementara itu, sang prajurit yang berasal dari Kartosuro ini menafsirkannya sebagai “mengko” yang dalam bahasa Jawa berarti nanti.
“Maka dengan spontan dijawabnya dengan “saiki” yang artinya sekarang. Ada-ada saja,” tulis Senakatha.
Menurut Julius Pour adalah Letnan Prajitno yang memerintahkan Aidit mengangkat tangannya dan keluar dari persembunyian. Setelah Aidit ditemukan, Prajitno memerintahkan Sersan Idit Sukardi mengikat tangan Aidit. Dengan tertangkapnya Aidit, mereka bersiap untuk menghadapkannya kepada sang komandan, Kolonel Jasir Hadibroto.
Baca juga: Apakah Aidit Seorang Perokok?