Persekusi terjadi di bulan suci Ramadan. Tepatnya pada Rabu, 29 April 2010. Sekelompok pria beratribut Front Pembela Islam (FPI) menggeruduk lapo tuak yang ada di Jalan Pancasila, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Lapo tersebut dilempari karena berjualan saat bulan puasa.
Pemilik lapo yang diketahui bernama Lamria br. Manulang dituding tidak menghormati warga muslim yang menjalankan puasa. Kendati telah menutup warungnya dengan tirai, ibu yang malang ini kena rundung bertubi-tubi. Barang-barang dagangannya dirampas. Seorang pria berpeci putih bahkan mengumpatnya dengan makian yang tidak senonoh. Pada akhirnya lapo tuak itu terpaksa tutup lantaran ulah ormas yang dikenal sebagai organ radikal itu.
Sontak saja, kejadian yang terekam dalam video ini kemudian viral di media sosial. Aksi main hakim sendiri itu menuai kemarahan, khususnya di kalangan orang Batak. Namun pihak FPI sendiri telah menyatakan permintaan maaf dan kasus ini telah diproses secara hukum.
Menilik sejarah, lapo tuak memang akrab dengan keramaian. Orang Batak tidak hanya menjadikannya sebagai tempat makan melainkan ruang interaksi meluapkan isi hati. Di sana, mereka bercengkrama, bersenandung, bahkan bernyanyi sampai pagi. Dengan demikian, lapo tuak sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial orang Batak.
Mengenal Tradisi Lapo
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lapo berasal dari kata lepau. Dahulu istilah ini merujuk kepada beranda di belakang rumah yang dipergunakan sebagai dapur. Di Sumatra, tempat ini selalu identik dengan rumah makan.
Sesuai dengan aksen Batak, lepau terlafal menjadi lapo. Tradisi lapo Batak lahir dari konsep pemukiman Batak tradisional (huta) yang ada di Tanah Batak, sekitaran Danau Toba, Tapanuli Utara.
Menurut Lolita Susan Ginzel, laki-laki Batak pada masa lampau sesudah lelah bekerja di sawah ataupun ladang kerap berkumpul melepas lelah sembari marnonang (bercakap-cakap). Saat itu, dari pihak keluarga biasanya ada saja yang datang untuk menyuguhkan tuak –minuman khas Batak dengan kadar alkohol rendah– untuk menghangatkan badan. Namun seiring makin ciutnya lahan pertanian, justru berbanding terbalik dengan bertambahnya populasi. Suguhan tuak gratis pun tidak memungkinkan lagi. Tempat-tempat berkumpul yang ada sebelumnya beralih fungsi menjadi kegiatan komersil .
“Maka timbullah istilah lapo yang berasal dari kata lepau yang berarti kedai tempat berjualan,” tulis Lolita dalam skripsi antropologi berjudul “Lapo Tuak Arena Interaksi Sosial bagi Masyarakat Batak Toba” di Universitas Indonesia.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Tuak sendiri dipercaya punya banyak khasiat. Minuman fermentasi ini berasal dari sadapan pohon enau yang dalam bahasa Batak disebut bagot. Tuak manis atau yang biasa disebut nira biasanya digunakan sebagai minuman pelepas dahaga dan penambah tenaga yang harganya murah. Rasanya bervariasi dari manis hingga agak pahit seperti bir. Sebagaimana minuman fermentasi, tuak dianggap sanggup menghangatkan tubuh apalagi ketika cuaca dingin. Selain itu menurut kepercayaan orang tua dulu, tuak baik diminum ibu-ibu yang baru melahirkan.
“Selain untuk penambah tenaga juga untuk memperlancar dan memperbanyak airi susu ibu (ASI) yang sangat berkhasiat bagi bayi yang baru lahir. Hal ini telah banyak dipraktikkan,” tulis Walter Sirait dan O. Sihotang dalam “Berbagai Fungsi Kedai Tuak” termuat pada kumpulan tulisan Pemikiran Tentang Batak suntingan Bungaran Antonius Simanjutak.
Pada dekade 1950-an, lapo bertransformasi. Yang dihidangkan tak cuma tuak, tetapi juga tambul (daging) –umumnya daging babi yang diolah khas masakan Batak– dan ikan mas. Dalam perkembangan selanjutnya, lapo sudah menjadi rumah makan yang menyajikan kuliner khas Batak.
Baca juga: B2: Batak dan Babi
“Lapo, bar ala Batak Toba memegang peranan penting dalam kehidupan sosial orang Batak Toba,” tulis Basyral Hamidy Harahap dan Hotman Siahaan dalam Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak.
Tujuan mengunjungi lapo pun tidak sekedar mengisi perut. Lapo menjadi arena interaksi sosial, ajang kongkow yang bisa menawarkan hiburan bahkan inspirasi bagi pengunjungnya. Kebiasaan orang Batak yang suka bernyanyi pun kerap ditumpahkan di lapo. Maka tidak heran, banyak musisi pop Batak ternama yang menapaki kiprahnya dari “kelas lapo”.
Seniman dan komponis kondang Nahum Situmorang adalah salah satunya. Banyak lagu-lagunya tercipta tatkala menghabiskan waktu nongkrong di lapo. Lagunya yang berjudul Lisoi, menggambarkan bagaimana lapo menjadi tempat melepas penat.
Dongan sa par ti naonan, o parmitu / Teman satu perasaan, oh peminum
Dongan sa pang kila laan, o lotutu / Teman satu dalam kesedihan
Arsak rap mangka lu pahon, o parmitu / Kesedihan sama-sama kita lupakan
Tole marap mangandehon, o lotutu / Mari kita sama-sama menyanyi
Lisoi lisoi lisoi lisoi, lisoi.
Citra Lapo
Seiring waktu, lapo menjadi alat utama penopang ekonomi keluarga Batak yang menggeluti industri kuliner. Dari Tapanuli, lapo turut di bawa orang-orang Batak ke perantauan. Di Medan, tidak sukar menemukan lapo. Hampir setiap sudut kota terdapat lapo atau rumah makan Batak. Salah satu lapo paling terkenal di Medan adalah Lapo Siagian/br. Tobing yang biasa disingkat “Lapsito”.
Lapo Siagian/br Tobing berdiri sejak 1959 dan disebut-sebut sebagai lapo tertua di Medan yang masih ada sampai saat ini. Pada dekade 1970-an, Lapo Siagian/br Tobing kian berkembang dan mengubah konsepnya dari lapo tuak menjadi rumah makan. Di Jakarta, sudah berdiri dua cabangnya yang terdapat di bilangan Senayan dan Rawamangun.
Pada dekade 1990-an, lapo mulai mewabah di ibukota. “Di Jabotabek, puluhan atau bahkan mungkin ratusan lapo hadir sebagai ajang kedai makan dan mungkin juga sebagai wadah celoteh sesama pekerja orang Batak,” tulis Kompas, 8 Agustus 1996.
Baca juga: Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
Kini lapo cenderung memiliki arti yang menyempit: tempat minum tuak dan makanan non-halal. Kesan negatif pun muncul karena banyak lapo yang menyediakan minuman keras dengan kadar alkohol tinggi. Beberapa lapo bahkan menjadi sarang judi.
Pada tahun 1994, lapo-lapo tuak menjadi target Operasi Bersih (Opsih’ 94) yang diinstruksikan langsung oleh Pangdam Kodam V Jaya, Mayjen TNI AM. Hendropriyono, sebagaimana diwartakan dalam Kompas, 30 Mei 1994 .
Dalam perkembangannya, lapo jadi lekat dengan stigma miring. Sebagai produk kebudayaan yang menyajikan kekayaan kuliner Nusantara, citra lapo tereduksi demi keuntungan dan kepentingan bisnis.
Baca juga: Kerajaan Bisnis Pardede
“Karena banyak orang mabuk, bernyanyi sampai tengah malam bikin keributan. Itulah sebabnya di lapo ini, sejak tahun 1990-an, kami sudah hentikan membikin tuak,” kata Huslan br. Panjaitan (65), pemilik Lapo Siagian br. Tobing generasi kedua kepada Historia.
Tidak dapat dimungkiri, citra lapo Batak kini selalu dipandang dalam dua sisi: baik dan buruk. Selain bisa menjadi tempat penghilang rasa penat, di sisi lain keberadaan lapok kerap meresahkan orang lain. Polemik dan isu sensitif tentang lapo tuak bisa saja tidak terjadi andai kehadirannya saat ini bisa diletakkan pada khitahnya semula: sebagai tempat mengisi perut sambil bercengkerama.