SEKIRA tahun 1960-an, di tengah usahanya menggelorakan semangat imperialis, Sukarno berusaha terus memupuk semangat para seniman untuk berkarya. Dia menginginkan ada studio seni besar untuk kegiatan melukis.
Hasrat Sukarno disambut baik oleh Tjio Tek Djien, seorang pengusaha. Dia membuat studio seni lukis besar di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Banyak pelukis bergabung dengan bayaran seribu rupiah per lukisan dan harus membuat satu lukisan per hari.
Baca juga: Seni adalah bagian tak terpisahkan dalam diri Sukarno
“Jadi, semacam kerja harian. Kalau memenuhi kriteria, berdasarkan instruksi Sukarno, lukisannya didistribusikan ke berbagai galeri seni di seantero Indonesia,” kata Mikke Susanto dalam peluncuran bukunya, Sukarno’s Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat.
Saat itu, beberapa galeri yang dikunjungi orang untuk mencari benda seni, antara lain galeri Banowati di Jakarta dan galeri Pandy di Bali. Galeri Pandy didirikan oleh James Clarence Pandy, mantan pemandu wisata dari Thomas Cook, sebuah biro wisata internasional. Atas dorongan Sukarno, Pandy membuka galeri seni di Sanur, Bali, yang menampung lukisan-lukisan dari pelukis Indonesia.
Baca juga: Koleksi seni Istana Kepresidenan tak terpelihara era Orde Baru
Sementara itu, koleksi benda seni istana terus bertambah. Sukarno memerlukan seorang kepercayaan yang bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan penataan dan pendataan koleksi seninya. Dia menunjuk pelukis untuk menjadi pelukis istana yaitu Dullah (1950-1960), Lee Man Fong (1961-1965), dan Lim Wasim (1961-1968). Penunjukan sebagai pelukis istana turut membesarkan hati para pelukis Indonesia.
“Saat Dullah mundur sebagai pelukis istana, dia diganti Lee Man Fong. Dan Lim Wasim diangkat sebagai asisten karena Man Fong merasa bukan orang kantoran, sementara Lim Wasim disebut Lee Man Fong sebagai orang kantoran. Akhirnya, Lim Wasim yang ada di istana,” ujar kritikus seni, Agus Dermawan T.
Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam lukisan karya Sudjojono
Lee Man Fong pantas menggantikan Dullah karena karya-karyanya memang sesuai selera Sukarno. Saat menyambut Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta, Lee Man Fong beserta pelukis lain membuat lukisan dinding di Hotel Indonesia yang sangat disukai Sukarno.
Lee Man Fong juga memprakarsai dan mengetuai perkumpulan pelukis Tionghoa di Indonesia bernama Yin Hua pada 1955 dan membuat sanggar lukis di kawasan Lokasari. Dari Yin Hua, muncul pelukis Tionghoa seperti Wen Peor, Thio Tjeng Tjwan, Lio Tjoen Tjay, dan Lee Rern.
Soal lain adalah kepatuhan Sukarno kepada keinginan seniman. Misalnya, saat Lee Man Fong melukis Sukarno dengan seragam kebesarannya, dia tak keberatan disuruh bergaya oleh pelukis kesayangannya itu.
“Bung Karno tidak menentukan cara duduknya sendiri, tapi ditentukan oleh asisten Man Fong yaitu Lim Wasim. Dia yang menata gaya Sukarno. Disuruh miring sedikit oke, mundur sedikit oke. Meski memakan waktu beberapa jam, Bung Karno nurut aja,” ujar Agus.
Baca juga: Lee Man Fong, pelukis Istana asal Negeri Sutera
Dalam buku barunya, Sukarno’s Favourite Painters, yang diterbitkan Balai Lelang Masterpice, Mikke Susanto menuliskan 33 pelukis kesayangan Sukarno secara alfabetis dari Abdulah Sr. hingga Willem Dooijewaard. Sembilan di antaranya pelukis mancanegara. Menariknya, Mikke memasukkan Affandi kedalam jajaran pelukis kesayangan Sukarno, padahal Affandi dikenal tak begitu suka Sukarno.
“Bung Karno rak seneng (tidak senang, red.) lukisanku kok. Lukisanku dianggap abstrak. Yang disayangi kok Basuki Abdullah,” ujar Agus menirukan ujaran Affandi tentang Sukarno. Namun begitu, kata Agus, Affandi kagum dengan sikap dan sosok Sukarno.
Agus mengungkapkan bahwa di antara para pelukis terdapat persaingan meraih simpati dari Sukarno. Para pelukis iri dengan mereka yang disayangi Sukarno. Sebaliknya pelukis yang disayangi Sukarno juga iri dengan pelukis lain yang tidak dikenal tapi lukisannya dikoleksi Sukarno.
Menurut Mikke konsep pelukis kesayangan ini sulit dijelaskan. “Saya membuat asumsi,” kata Mikke, “bahwa semua yang dikoleksi Sukarno, tentu disayangi. Sebab pada dasarnya Bung Karno sangat menjaga harkat dan martabat pelukis.”