Hanandjoeddin dan Sejuta Pesona Pariwisata Belitung
Merintis fondasi pariwisata dari utara hingga ke selatan. Memantik kebanggaan akan kuliner asli “Negeri Laskar Pelangi”.
PULAU Belitung di Provinsi Bangka Belitung (Babel) terus bersolek menjelang jadi tuan rumah kehormatan pertemuan setingkat menteri G20 atau forum antar-pemerintah 19 negara plus Uni Eropa pada 7-9 September 2022 mendatang. Event itu bakal mencerahkan prospek untuk meroketkan “Negeri Laskar Pelangi” sebagai salah satu destinasi wisata berkaliber internasional.
Menukil laman resmi Provinsi Babel, Jumat (18/2/2022), selain akan menggelar konferensi “Development Working Group Government” (DWG), para delegasi G20 direncanakan akan menikmati panorama spot-spot wisata di Belitung. Selain Pulau Lengkuas, di kabupaten tersebut ada Pulau Mendanau, Pulau Kepayang, Pulau Langer, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pantai Tanjungkelayang yang semuanya memiliki daya tarik tersendiri. Spot-spot indah itu diharapkan akan memancing atensi para delegasi asing terhadap keindahan alam dan aneka kearifan lokal Pulau Belitung.
Dalam beberapa tahun terakhir, Belitung mulai dikenal sebagai salah satu “surga tersembunyi” untuk self-healing di Nusantara yang tak kalah ciamik dari destinasi lain seperti Pulau Bali, Pulau Lombok, Labuan Bajo, hingga Raja Ampat. Tentu popularitas Belitung tak bisa dilepaskan dari booming-nya tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata Seman Said. Terlebih, pada Oktober 2018 Pulau Belitung mendapat julukan “Taman Wisata Dunia” dari World Tourism Park Foundation (WTP).
Namun, itu semua tak bisa dilepaskan dari fondasi yang diletakkan oleh Letkol (Pas) H. AS Hanandjoeddin. Bupati Belitung periode 1967-1972 itu bukan hanya berjasa bagi negara lewat perannya di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pada masa Perang Kemerdekaan, namun juga berjasa membangun Belitung dari nol.
Maka tak berlebihan jika segenap masyarakat Belitung khususnya amat mengharapkan nama diangkat menjadi pahlawan nasional. Meski hanya satu periode, kiprahnya sebagai bupati turut diangkat dua pemkab sebagai salah satu prasyarat untuk mengusulkan namanya jadi pahlawan nasional lewat seminar bertajuk “H. AS Hanandjoeddin: Pejuang Tangguh di Masa Perang dan Damai”. Seminar yang diprakarsai Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Belitung Timur itu diadakan di Auditorium Zahari MZ, Manggar, Belitung Timur, Kamis (17/2/2022).
“Bahkan kita mintakan dukungan juga dari gubernur Sumsel (Sumatera Selatan, red.), karena waktu itu sebelum (tahun) 2000 Belitung masih di bawah Sumsel, untuk menyatakan Pak Hanandjoeddin di masa bupatinya membawa Belitung jadi lebih baik. Kiprah Bupati Hanandjoeddin dari 1967-1972 itu banyak melakukan kegiatan dan pembangunan (infrastruktur dan pariwisata),” kata Sekda Kabupaten Belitung cum Ketua TP2GD Belitung MZ Hendra Caya.
Baca juga: Kisah Anak Buah Hanandjoeddin Terbangkan Panglima Soedirman ke Bali
Ketika menjabat sebagai bupati, Hanandjoeddin menghadapi kendala berupa anggaran yang minim. Namun, itu bukan hal yang mematikan langkahnya. Tantangan itu justru sukses diatasi lewat kreativitasnya. Dari keterbatasan itu, langkah yang diambil Hanandjoeddin untuk membangun kampungnya justru menunjukkan pribadinya bervisi jauh ke depan.
Di tahun pertama pemerintahannya, Hanandjoeddin dihadapkan pada keharusan mengatasi krisis pangan. Jelas bukan perkara mudah. Pasalnya, krisis telah terjadi sejak 1965. Apa langkah yang diambilnya? Hanandjoeddin yang membasiskan kebijakannya pada kearifan lokal, lalu menganjurkan para pegawainya berladang.
Sambil mengatasi krisis itu, menurut sejarawan Babel Akhmad Elvian, Hanandjoeddin terus berupaya meningkatkan kualitas SDM dan pendidikan dengan menyiapkan tenaga-tenaga pendidik lewat kursus-kursus guru kilat.
“Memang hasilnya tidak seketika tapi akan dapat dilihat beberapa generasi kemudian. Yang akan gantikan Yusril (Ihza Mahendra), Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) itu banyak sekali karena landasan pendidikannya sudah dirintis Hanandjoeddin,” ujar Dato’ Elvian.
Gebrakan Hanandjoeddin dari Tanjungkelayang
Laiknya Bali, Lombok, atau Labuan Bajo, Belitung lewat KEK Pantai Tanjungkelayang menawarkan “terapi” jiwa bagi para milenial dan Generasi Z yang mengalami mental drained akibat aneka kepenatan yang mendera. “Tarian” daun nyiur yang melambai diiringi angin laut lembut disertai gulungan ombak jinak yang merambah pasir putihnya di bibir pantai merupakan “obat” jiwa tak ternilai. Lautnya yang “terlukis” dengan gradasi warna biru muda hingga biru gelap seiring jarak memandang cukup tenang dari April-September.
“Kalau di bulan-bulan selain itu cuacanya sering buruk. Ombaknya tinggi dan kitapun tak berani antar pelancong,” kata Anwar, salah satu pemilik perahu sewaan di dermaga Tanjungkelayang.
Dengan kebaikan cuaca April-September itu, siapapun bisa menikmati keindahan alam Belitung sambil diving, snorkeling, atau mengarungi perairan dengan perahu sewaan. Ongkos per perahu untuk mencapai Batu Garuda dan Pulau Lengkuas dengan mercusuar peninggalan Belandanya rata-rata Rp135-500 ribu.
Baca juga: Misi Flypass Hanandjoeddin Rayakan HUT RI
Semua kemolekan Pantai Tanjungkelayang itu bisa dinikmati berkat pembangunan yang dirintis Hanandjoeddin. Apabila sebelumnya Belitung hanya mengandakan sumber ekonomi dari tambang, Hanandjoeddin meloncat jauh dengan menggarap potensi pariwisata yang kala itu belum dilirik orang.
Hanandjoeddin memulainya dari pantai Tanjungkelayang. Upaya itu dimulainya pada 1968 atau di tahun kedua ia menjabat bupati. Langkah Hanandjoeddin tidak salah. Pendapatan daerah pun meningkat.
Mengutip Memenuhi Panggilan Rakyat: Kiprah dan Kenangan Sosok Bupati H. AS Hanandjoeddin karya Haril M. Andersen dan Bambang Sutrisno, pada Juli-Desember 1967, Hanandjoeddin hanya mengantongi alokasi dana dari APBD sebesar Rp2.055.000,-. Tetapi dengan menggenjot retribusi untuk pendapatan daerah, alokasi dananya melejit hingga 1.700 persen.
Baca juga: Gerilya Hanandjoeddin di Malang Timur
Salah satu “jurusnya” dalam membangun pariwisata adalah merangkul para pengusaha tambang timah, tanah liat, kaolin, dan pasir kuarsa. Sumbangsih mereka disalurkan lewat retribusi dan pajak pertambangan melalui perda dan perusahaan daerah PD Ampera Bhakti.
Upaya tersebut mendapat sambutan. Para pengusaha yang berkenan untuk turut membangun Belitung antara lain Budi Wangsa Widjaja, Darkui Bunawan, hingga Tjoeng Kiem Nam alias Indra Tjahaja Purnama (ayahanda dari Ahok).
“Bila pada Juli-Desember 1967 anggaran pembangunan hanya Rp2.055.000,- pada tahun anggaran 1968 mengalami peningkatan sebesar Rp34.960.670,-. Seiring mulai membaiknya keuangan daerah, maka sejak 1968 Bupati Hanandjoeddin mulai membenahi sarana dan prasarana daerah,” tulis Haril dan Bambang.
Baca juga: Hanandjoeddin dalam Tarik-Ulur Lanud Bugis Antara Yogya dan Malang
Setelah masalah pendanaan teratasi, terobosan pertama yang dilakoni Hanandjoeddin dalam merintis pariwisata adalah dengan membangun sebuah pesanggerahan sebagai penginapan pada awal 1968. Desain bangunannya dibuat oleh putra sulungnya, Herman, yang saat itu sedang studi di IKIP Jakarta.
“Hanandjoeddin mengutarakan obsesinya membangun hotel pinggir laut dengan konsep heritage. Beliau menugaskan Herman menuangkan pikirannya ke sketsa bangunan. Setelah menyelesaikan urusan lahan dengan pemilik kebun kelapa, sekitar Juli 1968 dua bangunan induk hotel berdiri. Hotel dengan bangunan beton permanen ini dinamai Pesanggerahan Nyiur Melambai. Masyarakat Belitung menyebutnya Hotel Tanjungkelayang. Merupakan hotel pertama yang jadi aset Pemda Belitung,” sambung Haril dan Bambang.
Saat diresmikan pada Juli 1968, Pesanggerahan Nyiur Melambai baru punya 40 kamar, kantin, dan ruang pertemuan. Lapangan tenis, kolam renang, dan dermaga labuh untuk perahu-perahu yang bisa disewa baru eksis secara bertahap pada 1971 dengan total nilai proyek Rp275 ribu.
Tak hanya di pesisir utara, potensi wisata di wilayah pesisir selatan juga digarap Hanandjoeddin. Daerah itu tak kalah eloknya dari pantai di utara. Daerah selatan punya Teluk Gembira, Pantai Tambelan, dan garis pesisir pantai di perkampungan Padang Kandis Membalong.
“Pantai Tambelan dan Teluk Gembira memiliki panorama alam yang memukau dengan onggokan batu granit besar. Tak kalah indah dari Tanjungkelayang dan Tanjungtinggi. Selama masa dinasnya, Bupati Hanandjoeddin beberapakali berkunjung. Biasanya bupati dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Pulau Seliu yang kaya dengan komoditas kopranya dengan menumpang perahu nelayan dari Padang Kandis. Sebelum 1972, belum ada dermaga perahu di Teluk Gembira,” lanjutnya.
Untuk pembangunan pariwisata daerah selatan, Hanandjoeddin menganggarkan pembangunan Pesanggerahan Pantai Tambelan. Bangunan semi-permanen itu dibiayai dengan ongkos Rp900 ribu pada Agustus 1970. Sejalan dengannya turut dibangun dermaga perahu untuk kelancaran transportasi dari Membalong ke Pulau Seliu.
Baca juga: HUT Kota Surabaya dan Pasukan Sriwijaya
Sementara, di Tanjungpandan yang notabene ibukota kabupaten, Hanandjoeddin merenovasi Hotel Dian di Jalan Bukit Tanjungpandan. Menukil Husnial Husin Abdullah dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka-Belitung, Hotel Dian sebelum dijadikan guest house pemda merupakan rumah dinas asisten residen Belitung J. R. Bierschel sejak 1820-an.
Hanandjoeddin menunjuk Dinas Pekerjaan Umum untuk merenovasi Hotel Dian pada April 1971 dengan budget Rp800 ribu. Hotel dengan 10 kamar ini lazimnya diperuntukkan bagi tamu-tamu pejabat jika sedang ada agenda kunjungan kerja ke Belitung.
Untuk mendukung kelancaran program pembangunan pariwisatanya, Hanandjoeddin amat memperhatikan infrastruktur jalan, utamanya yang menuju Tanjungkelayang di utara dan Membalong di selatan. Untuk akses ke Tanjungkelayang, infrastruktur jalannya dibangun beriringan dengan pembangunan pesanggerahannya, April-Juli 1968.
Baca juga: Angkringan Punya Cerita
Pada April 1968, pengaspalan dua lapis dilakukan terhadap jalan jurusan Tanjungpandan-Tanjungbinga-Sijuk. Tahun berikutnya dilakukan perbaikan jalan Tanjungpandan-Tanjungbinga-Tanjungkelayang. Selain itu, transportasi air Sungai Samak-Pegantungan dan Membalong-Padang Kandis juga dibenahi. Meski mulanya diprotes warga, upaya tersebut di kemudian hari sangat besar dirasakan manfaatnya oleh warga yang memprotes.
“Saya ingat waktu beliau bangun jalan raya Tanjungpandan-Tanjungkelayang. Warga kampung Tanjungbinga ada yang protes, menolak dibangun jalan. Beliau mengalah, mengalihkan pembangunan jalan melalui rute lain. Ternyata setelah selesai dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat, warga Tanjungbinga tiba-tiba datang ke kantor bupati, minta agar dibangunkan jalan di lokasi semula. Pak Hanadjoeddin tidak marah, cuma ketawa. Kata Pak Hanan, ‘itulah kelakuan urang kampong mikak’,” kenang Budi Wangsa Widjaja dalam testimoninya di buku Memenuhi Panggilan Rakyat.
Namun, upaya yang dirintis Hanandjoeddin tak serta-merta mendatangkan banyak turis domestik maupun mancanegara ke “Bumi Serumpun Sebalai”. Utamanya, untuk mencapai Pulau Belitung tetap dibutuhkan transportasi udara memadai.
“Hingga memasuki 1970-an, penerbangan dari Lapangan Udara Kemayoran Jakarta ke Belitung belum ada yang rutin. Transportasi pesawat disebut langka dan mahal. Ketika itu Lapangan Udara Buluh Tumbang dalam seminggu hanya sesekali didarati pesawat sipil. Itupun pesawat Dakota milik Garuda hanya sewaktu-waktu saja dan dan carteran yang biasanya sesuai permintaan saja melalui agen perjalanan Tan Ho Loy di Jakarta,” ungkap Haril dan Bambang.
Mengingatkan Kebanggaan Kuliner Lokal
Hanandjoeddin merupakan bupati yang lebih gemar blusukan ke kampung-kampung di pesisir maupun pedalaman. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk berinteraksi langsung dengan warganya.
“Suatu ketika rombongan singgah di Kampung Nyuruk. Pak Long (julukan Hanandjoeddin, red.) silaturahim ke rumah tokoh masyarakat yang kebetulan masih kerabat dari pihak ayahnya. Oleh tuan rumah, rombongan disuguhi hidangan biskuit dan roti. Pak Long bersyukur dan berkomentar bahwa sedianya hidangan lokal jauh lebih baik baginya ketimbang roti dan biskuit,” sambung Haril dan Bambang.
Hidangan lokal yang dimaksud Hanandjoeddin antara lain ubi kembilik, limping menggale, bubur jawak, atau gangan. Hanandjoeddin amat berharap masyarakat mau berbangga dengan hidangan-hidangan asli itu dengan menyuguhkan kepada tamu-tamu mereka. Hidangan asli itu akan lebih berkesan ketimbang hidangan modern macam roti dan biskuit.
“Upaya Pak Long menanamkan mindset pariwisata lewat pelestarian kuliner lokal ini tidak hanya sebatas imbauan kepada masyarakatnya. Namun diterapkan dalam kedinasan. Setiap kali ada kunjungan tamu dari (pemerintahan) pusat, Pak Long mewanti-wanti staf bagian rumah tangga agar menyajikan makanan khas Belitong seperti gangan yang berdampingan dengan menu nusantara lainnya,” tambahnya.
Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera
Upaya tersebut jelas tak sia-sia. Kini, hampir setiap sudut ramai di Manggar, Belitung Timur, dan Tanjungpandan, menghampar rumah-rumah makan atau warung yang menyajikan gangan atau sup ikan khas Belitung dengan harga kisaran Rp40-60 ribu per porsi. Dengan bumbu rempah yang terdiri dari lengkuas, merica, kemiri, kunyit, serta bawang merah dan bawang putih, kelezatan ikan tenggiri atau ikan kakap yang disup tiada bandingnya.
Sebagaimana yang dijajal Historia, ada dua macam gangan: berkuah “ringan” dan “berat”. Perbedaan itu dihasilkan oleh sedikit perbedaan cara memasaknya.
“Kalau yang seperti ada ampasnya itu biasanya modifikasi, Bang. Yang modifikasi itu kunyit, kemiri, dan lengkuasnya diulek dan ditumis sebelum dimasukkan, dimasak bersama ikannya. Sementara aslinya tidak. Dia langsung dimasak dengan ikannya,” tutur Nanduy, driver Pemkab Belitung yang di rumah terbiasa memasak sendiri gangan kesukaannya.
Baca juga: Kriuk Sejarah Kerupuk
Hidangan ini biasa dinikmati dengan nasi panas dan juga dengan tumisan kangkung atau genjer, serta ikan bebulus yang digoreng kering. Masyarakat di wilayah non-pesisir biasa mengganti proteinnya dengan daging selain ikan.
“Dulu itu malah ada gangan (daging) kancil. Mungkin kalau sekarang sudah dilarang perburuannya ya. Paling kemudian diganti juga dengan (daging) ayam atau sapi,” tandasnya.
Kendati pandemi masih belum usai, rumah-rumah makan gangan yang ada mencoba bertahan. Terlebih belakangan juga mulai bertebaran kafe-kafe dengan ragam hidangan modern yang jadi tren baru bagi anak-anak muda Belitung. Momen G20 yang akan datang diharapkan bisa mendongkrak kembali wisata alam maupun kuliner Belitung yang fondasinya dirintis Hanandjoeddin.
“Pak Long pemimpin yang futuristik. Beliau telah berpikir menyiapkan Belitung sebagai destinasi wisata, mengantisipasi perekonomian pasca-timah. Pada zaman pemerintahan beliau, dibangun Pesanggerahan Nyiur Melambai dengan konsep heritage, akses menuju lokasi (wisata). Termasuk di Membalong dan Padang Kandis. Maksudnya agar kawasan wisata pantai bisa berkembang,” tandas peneliti dan pakar pariwisata Prof. Nicolaus Lumanaw.
Baca juga: Mengunyah Sejarah Randang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar