Angkringan Punya Cerita
Angkringan tak sekadar tempat makan dengan sajian ugahari. Ia jadi ruang bertukar cerita dari yang sekadar basa-basi hingga yang “berisi”.
LANGIT mulai senja. Di sebuah gang yang diapit jajaran bangunan ruko kusam di Jakarta, Dedi (diperankan Dwi Sasono) mendorong gerobaknya sampai ke sebuah kedai tempatnya akan membuka angkringannya. Setelah menyiapkan bangku, meja, dan gerobak angkringan yang jadi “dapurnya” di dalam kedai, ia pun menyibak kain spanduk bertuliskan “Angkringan Arumdalu”. Ia siap menerima pelanggan.
Tetapi kala malam tiba, angkringannya masih sepi pembeli. Baru kemudian seorang ibu yang celingukan di ambang pintu muncul. Dedi menyambutnya dan berkenalan.
Ibu Ratih (Dayu Wijanto), begitu ia menyebut namanya, minta dibuatkan kopi hitam dengan gula. Ratih jadi teringat mendiang suaminya. Itu jadi kopi pertamanya setelah suaminya meninggal. Dari berkisah basa-basi, Ratih pun tak kuasa mengeluarkan unek-uneknya.
Baca juga: Kopi Jawa Bikin Kecanduan Orang Eropa
Begitulah adegan pembuka episode pertama Angkringan the Series garapan sutradara Adriyanto Dewo. Rangkaian skrip yang disajikan lewat enam episode ini berpusar di warung angkringan milik Dedi dengan beraneka drama menyentuh dari pergelutan hidup masyarakat menengah ke bawah.
Drama kehidupan yang dialami Ratih, misalnya. Ia berkisah bahwa ia selalu menyajikan kopi hitam manis kepada suaminya yang lalu dinikmati dengan bahagia. Tetapi pada satu titik ia trauma karena ternyata selama ini tak pernah bahagia. Selain sering mengalami KDRT, Ratih juga hidup terbelenggu dan selalu jadi perempuan yang siaga di rumah tanpa punya kebebasan sedikitpun.
Dedi jadi pendengar yang baik, baik pada Ratih maupun pada pelanggan bernama Tono (Teuku Rifnu Wikana). Tono seorang sopir truk yang diceraikan istri dan dilarang bertemu anaknya gegara kecanduan judi bola.
Namun, Dedi tak melulu jadi penjamu yang lemah lembut. Ada kalanya ia emosi bahkan sampai menggebrak meja. Terutama ketika datang sejoli remaja SMA, Amanda (Arawinda Kirana) dan Kevin (Dito Darmawan), yang bertengkar dan bikin gaduh sampai membuat pelanggan-pelanggan lain pergi. Emosi Dedi baru mereda setelah “dicurhati” bahwa Amanda hamil dan berniat aborsi.
Dedi juga bisa terenyuh mendengar kepahitan hidup Budi (Morgan Oey) sebagai waria. Budi yang selalu mengalami perlakuan diskriminatif ingin melepas putrinya, Alya (Alleyra Fakhira), ke kampung halaman agar tak lagi jadi korban perundungan teman-temannya. Pun ketika kedatangan gadis misterius (Aurora Ribero) yang baru pulang dari sebuah kontes menyanyi. Dedi tersentuh dengan cerita gadis itu yang ingin bisa terkenal demi mengurangi beban ibunya sebagai orangtua tunggal.
Unek-unek maupun curhatan para pelanggan Dedi bukan tanpa arti. Semua kisah itu berkelindan dengan apa yang dirasakan Dedi dan selama ini terpendam di lubuk hatinya. Cerita mereka semua membangkitkan kenangan pahit dan pelajaran kehidupan bagi Dedi yang ditinggal pergi istrinya, Mirna (Kenes Andari), dan putri kecilnya, Ratu (Ersya Nabila). Sudah 12 tahun Dedi kehilangan keduanya dan sejak saat itu setiap malam Dedi tak pernah absen “celingukan” ketika mendengar bus berhenti dan menurunkan penumpangnya di depan warung angkringannya.
Ia merasa punya salah kepada anak dan istri sampai mereka meninggalkan Dedi. Bagaimana Dedi menebus dosanya? Saksikan sendiri kelanjutan Angkringan the Series yang ditayangkan secara eksklusif di platform daring Mola TV.
Kenyang Drama tanpa Selera
Tembok-tembok kusam berpadu furnitur dan peralatan-peralatan lawas membuat kedai angkringan milik tokoh Dedi begitu terasa atmosfer klasiknya. Radio kecil yang tergantung di gerobak angkringannya turut memanjakan telinga penonton dengan tembang-tembang dangdut dan keroncong lawas.
Hanya saja, aspek estetisnya “dicederai” tone film yang terbilang monoton. Temaram dari pencahayaan di dalam ruangan kedai dan waktu yang nyaris selalu di malam hari mendominasi.
Angkringan the Series juga terlalu berpegangan pada kekuatan drama masing-masing tokoh pelanggan. Pentonton melulu disuguhi pergulatan hidup tanpa disajikan sedikitpun insight atau wawasan tentang angkringan itu sendiri. Memang tema kuliner bukan jadi fokusnya, kendati meminjam tajuk “angkringan”. Namun hal itu justru membuat beragam makanan dan minuman yang disajikan sekadar pelengkap tiada arti.
Cara meracik hidangan Dedi saat menghidangkan kopi joss, sekoteng, internet (mie instan dengan telur dan kornet), hingga nasi goreng pun seperti ditampilkan apa adanya. Padahal setiap sajian lazimnya punya arti, sejarah, atau falsafah tersendiri. Sebagaimana yang disuguhkan film drama bertema kuliner lain, Tabula Rasa (2014), misalnya, yang juga digarap rumah produksi dan sutradara yang sama. Selain sarat drama, Tabula Rasa mengguggah selera dan juga membuka cakrawala pengetahuan penonton bahwa setiap hidangan yang disajikan di sebuah rumah makan Padang selalu mengandung makna tersendiri.
Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera
Angkringan dari Klaten, Kopi Joss dari Yogya
Dalam film ini, angkringan yang ditampilkan tidak seperti angkringan pada umumnya yang kondang di Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, atau di Jabodetabek. Ia berupa warung di sebuah bangunan dengan gerobak di dalam ruangan sebagai satu-satunya penanda ia adalah angkringan.
Sajian-sajiannya juga cenderung seperti warung kopi modern. Selain ada kopi joss, Dedi sang tokoh juga menjual sekoteng dan nasi goreng. Kedua menu itu tak umum didapati di angkringan. “Sego kucing” atau nasi kucing yang menjadi ciri khas angkringan justru sama sekali tak ditampilkan.
Padahal, menilik sejarahnya, angkringan bermula dari pikulan, bukan gerobak. Diyakini dua inisiator “Desa Cikal Bakal Angkringan”, Suwarna dan Gunadi, di laman resmi pemprov Jawa Tengah 27 Februari 2020, angkringan dimulai dari penjual makanan asal Desa Ngerangan, Klaten yang menjajakan dagangannya menggunakan pikulan pada zaman pendudukan Jepang. Saat itu belum disebut “angkringan”, melainkan “hik” karena dijajakan dengan meneriakkan “hiyek”. Karena itulah pada Februari 2020 Desa Ngerangan ditetapkan sebagai desa cikal-bakal angkringan.
“Sejarah angkringan memang bermula dari upaya menaklukkan kemiskinan usaha, konon dimulai di Klaten. Awalnya pedagang minuman dan makanan kecil menggunakan pikulan. Dahulu mereka disebut pedagang hik. Nama hik bermula pada tradisi malam selikuran di Keraton Surakarta,” tulis Noor Fajar Asa dalam Serpihan yang Menerangi.
Baca juga: Bisnis Ikan Berkumis
Para pedagang hik menjajakan makanan khas “wong cilik”. Di antaranya terikan, jadah atau ketan bakar, singkong, kacang, getuk, dan aneka sate. Nasi kucing –disebut demikian karena porsi nasinya yang sedikit seperti untuk makan kucing–dengan lauk ikan asin atau oseng tempe baru mulai menggeser “kedudukan” terikan kala para pedagang itu mulai merambah Yogyakarta. Di Yogyakartalah sebutan angkringan muncul pada 1950-an dan alat menjajakan dagangan mengalami perubahan dari pikulan menjadi gerobak.
Lazimnya, gerobak-gerobak angkringan berada di pinggir jalan ramai. Untuk mengundang lebih banyak pembeli, biasanya pedagang angkringan juga menggelar tikar atau terpal di trotoar agar pelanggannya bisa lebih santai dengan duduk lesehan.
Baca juga: Satu Nusa Soto Bangsa
Lama-kelamaan, hal-hal khas angkringan itu membuka ruang bagi para pembelinya untuk tidak sekadar mendapat makanan atau minuman murah sambil melepas penat, tapi juga tempat bercengkerama dan mengeluarkan unek-unek seperti halnya warung kopi (warkop). Bukan lagi hanya obrolan “ngalor-ngidul” tanpa juntrungan yang jadi bahan obrolan para pelanggan, olahraga sampai politik pun kemudian ikut diobrolkan. Terlebih di angkringan-angkringan yang berlokasi dekat kampus.
“Karena istilah angkringan dari bahasa Jawa, ngangkring, artinya hinggap untuk sementara. Dahulu angkringan jadi tempat mengisi waktu, bukan untuk makan yang sebenarnya. Yang datang berkunjung adalah para pekerja yang bekerja malam pulang pagi atau pedagang pasar yang selesai berdagang di pagi hari. Angkringan juga menjadi tempat para seniman mencari ilham, juga karena suasananya yang romantis jadi pilihan bagi mereka yang berkencan,” ungkap Murdijati Gardjito, dkk dalam Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa.
Baru pada era 1990-an ketika Yogya makin ramai sebagai destinasi wisata, angkringan merambah ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan Jakarta.
Di angkringan pula kopi joss bermula, yakni di Angkringan Lik Man yang terletak di sisi utara Stasiun Tugu. Berbeda dari angkringan lain, Angkringan Lik Man mempertahankan tradisi berjualan dengan pikulan walau letaknya ada di dalam tenda dan turut menggelar lapak. Ciri khas itu dipertahankan Lik Man sang pemilik yang memang berasal dari Klaten.
“Mahasiswa, wartawan, seniman, sampai preman dan waria sudah sangat akrab dengan angkringan yang berdiri sejak 1968 itu. Awalnya berjualan di selatan Stasiun Tugu tapi kemudian pindah ke utara stasiun. Angkringannya menempel tembok pagar pembatas area Stasiun Tugu di Trotoar Jalan Wongsodirjan,” tulis Syafaruddin Murbawono dalam Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja.
“Kopi Joss” merupakan istilah yang digunakan untuk menamakan minuman kopi hitam yang dicampur arang yang masih membara hingga menimbulkan suara “jossss”. Kopi “buatan” Lik Man itu kemudian ditiru angkringan-angkringan lain di luar Yogya.
“Kopi joss berasal dari kopi curah yang masih kasar. Kopi yang sudah dibuat itu lalu dicemplungi potongan arang membara yang dipungut dari tungku. Ada juga teh ‘nasgithel’ (panas, legi, kenthel). Dua gagrak minuman ini bisa membikin tubuh seger sumyah. Kesegaran dan kehangatan yang timbul berkat menyesap kopi (joss) dan thel (nasgithel),” tandas Syafaruddin.
Baca juga: Menusuk Sejarah Sate
Deskripsi Film:
Judul: Angkringan the Series | Sutradara: Adriyanto Dewo | Produser: Sheila Timothy | Pemain: Dwi Sasono, Dayu Wijanto, Teuku Rifnu Wikana, Arawinda Kirana, Dito Darmawan, Morgan Oey, Alleyra Fakhira, Aurora Ribero, Kenes Andari, Zack Lee, Ersya Nabila | Produksi: Lifelike Pictures | Genre: Drama | Durasi: 17-25 menit/6 episode | Rilis: 21 April 2021 (Mola TV)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar