Potret Pahit Penyintas 1965 dalam You and I
Kisah dua penyintas Peristiwa 1965 yang jadi belahan jiwa di penjara. Tegar menanti keadilan hingga tutup usia.
MENYIAPKAN makan siang, meminumkan obat sirup hingga mengoleskan krim pereda nyeri. Begitu rutinitas sehari-hari Kaminah merawat Sri Kusdalini yang sudah mulai digerogoti penyakit di pengujung usianya. Rutinitas itu dijalani Kaminah dengan tulus ibarat seorang adik kandung yang menyayangi kakaknya.
Kaminah aslinya tak punya pertautan darah dengan Kusdalini. Tembok rumah sederhana di gang sempit di kota Solo dengan cat terkelupas di sana-sini dan atap yang hampir ambruk jadi saksi bahwa kedua perempuan renta itu punya sejarah panjang yang membuat keduanya sudah seperti kakak-adik kandung. Keduanya menjalani hidup dalam kemiskinan.
Beruntung sejumlah tetangga dekat Kaminah dan Kusdalini begitu peduli. Tidak hanya sering berbagi kebutuhan hidup, mereka juga bergotong-royong memperbaiki atap rumah Kusdalini tanpa imbalan sepeser pun.
Baca juga: Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput
Potret kehidupan Kusdalini dan Kaminah yang memprihatinkan itu disajikan sineas muda Fanny Chotimah dalam pembukaan film dokumenter bertajuk You and I. Film ini mengikuti keseharian dua penyintas Peristiwa 1965 itu yang berkalang cinta kasih akibat pengalaman getir yang pernah dialami keduanya.
Sutradara debutan itu juga menyuguhkan keterangan tertulis dalam sebuah sisipan dengan foto-foto lawas tentang siapa Kusdalini dan Kaminah. Kedua penyintas disebutkan sempat jadi tahanan politik (tapol). Mereka dipenjara penguasa Orde Baru dalam waktu berlainan tetapi menjalin persaudaraan di balik jeruji besi.
Kusdalini dan Kaminah ditangkap pasca-G30S 1965 sebagai bekas anggota dua kelompok paduan suara berbeda yang bernaung di bawah Pemuda Rakyat, onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Seperti kebanyakan penyintas 1965, Kusdalini dan Kaminah dipenjara tanpa pengadilan.
“Bermula dari Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia yang berubah jadi Gerwani). Kita sepaham seperjuangan dan bidangnya itu sama, keputrian. Dia suka nyanyi, aku juga suka nyanyi. Tapi dia di tingkat kota, (kelompok) Gita Patria. Kalau aku kan di tingkat ranting, kecamatan, gitu. Karena satu kelompok gitu (di tahanan), jadi lama-lama makin dekat,” kata Kaminah mengenang dengan logat Jawanya.
Kusdalini dibui selama dua tahun. Sementara, Kaminah harus mendekam sampai tujuh tahun.
Baca juga: Agar Tak Menguap dalam Senyap
Ketika sudah dibebaskan, Kaminah tak diterima lagi oleh keluarganya. Hanya Kusdalini dan mendiang neneknya yang bersedia menampungnya di rumahnya yang sederhana. Untuk menyambung nyawa, Kaminah ikut membantu Kusdalini membatik dan membuka warung makan di depan gang rumahnya.
“Yang paling mengesankan (saat) Mbak Kus dipanggil bebas, itu aku…aku sampai pingsan,” imbuh Kaminah menahan sesak di dada dan air mata.
Dari ikatan persahabatan yang berubah jadi persaudaraan itu Kusdalini nekat kembali ke penjara demi rutin mengunjungi Kaminah. Ia tak peduli ancaman penjaga penjara demi mengobati lara hati yang masih menerpa Kaminah.
“Dia terus jenguk saya. Ngirim (bawa makanan). Sampai diancam Pak Gito: ‘Kus, kamu kok masih ke sini? Mrene kowe arep dilebokke meneh opo piye (Kamu ke sini mau dimasukin penjara lagi atau bagaimana)?’ Katanya, ‘Mboten’o, Pak. Mesakke adik kulo (Tidak kok, Pak. Kasihan adik saya) kalau tidak dijenguk.’ Dia diancam tidak takut. Sudah di luar, sudah pegang surat pembebasan masak mau diambil lagi? Tapi ya mungkin saja,” tambah Kaminah.
Kebaikan Kusdalini itu membuat Kaminah tulus membalas budi dengan merawat Kusdalini yang dua tahun terakhir mengalami pikun dan masalah pendengaran. Lutut Kusdalini pun mulai nyeri sampai harus dirawat di Rumahsakit Tingkat III Slamet Riyadi. Di situlah Kaminah setia menemani berhari-hari di kamar rawat inap.
Tetapi potret kehidupan Kaminah dan Kusdalini tak melulu pedih. Bercanda kerap dilakukan keduanya untuk mengisi waktu sekaligus membunuh pilu. Seperti saat keduanya menonton program sejarah Metro TV di layar kaca yang berkaitan dengan sejarah kelam Peristiwa 1965.
“Itu lho, konco-koncomu (teman-temanmu) dibunuh,” kata Kaminah.
“Itu di Jembatan Bacem, arah selatan rumah kita,” timpal Kusdalini.
“Jasmerah…” celetuk Kaminah.
“Opo Jasmerah?” tanya Kusdalini.
“Jangan melupakan sejarah. (Perkataan) Bung Karno…”
“Bung Karno? Sukarno masih hidup?” tanya Kusdalini polos.
“Ya Allah. Bagaimana Aku bisa omong sama kamu kalau kamu lupa semuanya. Jasmerah itu jangan melupakan sejarah. Kowe kok lali kabeh (kamu kok lupa semuanya),” tukas Kaminah sambil menyunggingkan senyum.
Bung Karno merupakan sosok yang paling dipuja Kaminah. Di masa lalu dia ikut paduan suara di bawah sebuah organisasi politik karena mendewakan sang proklamator.
“Negara kita sudah makmur tapi adilnya yang belum. Itu yang diperjuangkan, keadilan dan kemakmuran, oleh Sukarno yang begitu gigih, presiden yang tidak korupsi. Makamnya saja sesederhana itu di Blitar. Jomplang sekali dengan makam Pak Harto. Sampai kapanpun mbah (saya) tetap konsisten dengan ajaran Bung Karno,” tandasnya.
Untuk mendapatkan detail lebih kehidupan memprihatinkan dua penyintas renta G30S di Solo itu, baiknya tonton sendiri You and I yang diputar via aplikasi daring bioskoponline.com sejak 9 April 2021
Menanti Keadilan hingga Akhir Hayat
Jembatan Bacem begitu lekat dalam ingatan Kaminah. Maka ada campur-aduk perasaan di batinnya kala mendapati jembatan dekat perbatasan Surakarta-Sukoharjo itu ditampilkan sebuah program sejarah di layar kaca. Jembatan yang tak jauh dari rumahnya itu bersama Bengawan Solo yang mengalir di bawahnya jadi saksi bisu pembantaian penduduk sepanjang 1965-1966.
Menurut sejarawan University of British Columbia Profesor John Roosa dalam Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia, Jembatan Bacem sarat sejarah kelam kala pihak militer mengeksekusi ratusan terduga simpatisan PKI tanpa pengadilan. Eksekusi lazimnya dilancarkan setiap malam selama dua tahun hingga membuat Bengawan Solo berwarna merah.
“Jembatan yang digunakan tentara sebagai tempat eksekusi memang sudah tidak lagi ada tapi satu pasak bata dan betonnya masih berdiri di tepi sungai bak reruntuhan benteng kuno. Tanpa alasan yang jelas jembatannya dirobohkan dan diganti jembatan baja di sebelahnya. Satu pilar bata yang sudah dirambat tumbuhan vegetasi itulah satu-satunya penanda lokasi eksekusinya,” tulis Roosa.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Tak jelas berapa total korbannya. Tetapi, lanjut Roosa merujuk keterangan salah satu penyintas, korbannya tidak kurang dari 144 jiwa. Sebelum dieksekusi, mereka dibawa dengan truk-truk dari sejumlah penjara. Mereka dieksekusi dalam kegelapan malam.
“Seorang sesepuh yang tinggal dekat sungai mengatakan bahwa dia dan para tetangganya sering mendengar letusan tembakan setiap malam dari arah jembatan. Setiap subuh tentara memerintahkan warga menyodok-nyodok mayat dengan galah untuk dihanyutkan ke laut saking padatnya sungai itu dengan mayat,” sambungnya.
Surakarta dan daerah-daerah di sekitarnya sejak 1920-an sudah jadi basis komunis, sebut Roosa. Maka pasca-pembunuhan para jenderal di Jakarta dan Yogyakarta, operasi ganyang PKI oleh tentara dan anasir pemuda anti-komunis banyak dilakukan di sana.
Pengganyangan di Surakarta dimulai pada 22 Oktober 1965 kala dua kompi RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, kini Kopassus) datang dari Jakarta. Mereka memegang perintah Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie untuk menangkapi dan melenyapkan para pimpinan PKI dengan mengoordinir militer dan kepolisian setempat.
“Saat pasukan RPKAD tiba pada 22 Oktober, Surakarta sudah seperti kota terbuka di hadapan pasukan penginvasi. Para komunis yang mendominasi kota tak diatur atau membuat kubu pertahanan. Para pimpinan PKI juga tidak memerintahkan penduduk desa membuat barikade hingga pasukan yang masuk dari Boyolali tak menghadapi tantangan berarti,” sambung Roosa.
Di masa itulah Kaminah dan Kusdalini ditangkap dan dipenjara tanpa diadili. Sebagaimana para korban lain, keduanya sempat dikumpulkan di Balai Kota Surakarta untuk diinterogasi sebelum dikirim ke sejumlah penjara.
Sayangnya, sutradara tak memberi keterangan lebih lanjut di mana Kaminah dan Kusdalini dipenjara. Ada kemungkinan keduanya ditempatkan di Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Kamp itu jadi “Pulau Buru”-nya tahanan perempuan. Mayoritas yang ditahan di Plantungan adalah para perempuan yang terindikasi aktif di politik, seni, atau olahraga dengan payung organisasi-organisasi kiri walau tidak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan.
“Seperti Ibu Marniti. Ia diinterogasi semalaman di balai kota tentang aktitivitasnya yang berafiliasi dengan PKI. Ia sebelumnya juga anggota Gerwani dan suaminya adalah Kepala Cabang Pemuda Rakjat Surakarta. Dengan data seperti itu ia dianggap simpatisan dan ditahan tanpa diadili di Plantungan sebelum akhirnya dibebaskan pada 1979,” ungkap Roosa.
Bagi yang lebih apes, nyawa para simpatisan atau terduga PKI melayang di Jembatan Bacem. Kisah getir itu mengendap tidak hanya di ingatan para penyintas tapi juga di banyak warga sekitar, bahkan orang luar. Seperti yang dialami aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Firman Lubis. Dia mengetahuinya saat menjadi sukarelawan korban banjir di Solo pada akhir Maret 1966.
“Saya merinding mendengarkan cerita tentang metode-metode yang digunakan untuk membunuh para terduga komunis. Sangat tidak rasional. Walau saya benci ideologi komunis, tetapi aksi-aksi di luar hukum yang direstui militer seperti itu membuat saya jijik, apalagi tidak semua korban aslinya adalah komunis. Aksi seperti itu tidak bisa dibenarkan. PKI yang mereka ganyang bukanlah kekuatan militer melainkan partai politik legal yang berisi orang sipil. Situasinya tidak bisa dibandingkan dengan masa perang,” tutur Firman, dikutip Roosa.
Betapapun mengerikannya kisah penyiksaan itu di mata orang-orang, para penyintas seperti Kaminah dan Kusdalinilah yang bisa merasakan sakitnya. Lebih parah lagi, penderitaan mereka tak berhenti sampai di penjara saja. Setelah bebas dari penjara, mereka tak bisa jadi orang bebas seperti sedia kala. Kaminah tak bisa pulang karena ditolak keluarganya sehingga harus ditampung Kusdalini.
Keadilan. Itulah yang dituntut Kaminah dan ribuan penyintas lain. Keadilan belum kunjung tiba bahkan ketika Kusdalini dijemput ajal.
Potret itu yang dihadirkan secara observatory oleh Fanny Chotimah lewat You and I. Ia mengangkat kisah getir dua penyintas renta itu untuk menyuarakan keadilan dan kemanusiaan. Di tingkat nasional, itu dilakukannya dengan menayangkan You And I secara daring. Di panggung internasional, You And I diikutkan ke dalam berbagai festival dan sempat memenangi film terbaik kategori Asia di DMZ International Documentary Film Festival 2020 di Korea Selatan serta masuk ke daftar 10 film dokumenter Asia terbaik 2020 versi New Musical Express (Inggris).
“Ini adalah cerita tentang ironi kehidupan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana kita bisa menemukan belahan jiwa di tempat mengerikan yang tak seorang pun mau mengalaminya. Mereka bertemu di masa muda di penjara dan melalui hidup dengan mimpi yang hancur selama lebih dari 50 tahun. Yang mereka alami adalah bentuk ketidakadilan. Bukan tidak mungkin juga terjadi pada kita. Ini yang jadi perhatian saya. Saya percaya pada keadilan dan kemanusiaan,” ujar Fanny dalam rilisnya.
Data Film:
Judul: You and I | Sutradara: Fanny Chotimah | Produser: Amerta Kusuma, Yulia Evina Bhara, Tazia Teresa Darryanto | Produksi: KawanKawan Media, Partisipasi Indonesia | Genre: Dokumenter | Durasi: 72 Menit | Rilis: 9 April 2021 (Bioskop Online)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar