Agar Tak Menguap dalam Senyap
Langkah Adi Rukun menjadi contoh baik bagi upaya penyembuhan dari prahara 1965.
ADI Rukun, 46 tahun, takkan pernah lupa dongeng pengantar tidur ibunya. Sebuah dongeng yang tak biasa: tentang kematian Ramli, kakaknya, yang dibunuh dalam Prahara 1965. “Tiap malam selalu cerita kalau ada kesempatan,” ujar Adi kepada Historia.
Ramli pegawai sebuah perusahaan daerah di Medan, Sumatra Utara. Di kampungnya, Pasar Lama, dia ketua Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pecah Peristiwa G30S, dia ditangkap dan dibunuh. Kerabatnya mengalami diskriminasi. Hingga awal tahun 2000-an, Adi dan keluarganya harus sembunyi-sembunyi bila berziarah ke makam Ramli.
Kakak ketiga Adi (adik Ramli) dan dua kerabat lain mereka juga ditahan. “Tapi nggak sampai dibunuh. Mereka dikirim ke Bahorok untuk kerja paksa membangun saluran irigasi,” ujar Adi.
Beranjak remaja, Adi mencari referensi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 1965 tapi tak pernah mendapatkannya. Pada 2005, dia bertemu Joshua Oppenheimer yang sedang membuat film tentang globalisasi. Keduanya berkenalan lalu akrab. Ketika Joshua kembali lagi untuk membuat sebuah film mengenai para penyintas 1965, Adi menuturkan keinginannya untuk menemui para pembunuh kakaknya.
Joshua sempat melarang karena bahaya, tapi dia lalu setuju mendokumentasikan “petualangan” Adi. Dengan “menumpang” aktivitas Adi sebagai tukang optik keliling, mereka menemui, mewawancarai, dan memfilmkan para jagal (eksekutor). “Kalau kita khusus datang menanyakan kejadian ini, nggak akan segampang itu,” ujar Adi.
Tanpa rasa sesal, bahkan bak pahlawan, para bekas jagal menceritakan tindakan-tindakan mereka. Anwar “Congo”, jagoan yang mangkal di sebuah bioskop di Medan, begitu lepas menceritakan detail bagaimana dia menghabisi mereka yang dicap kiri. Meski tak sesantai Anwar, Amir Hasan dan Inongsyah, mengisahkan detail pembunuhan Ramli. Aura kesenangan memancar dari wajah mereka. Selama proses itu Adi berjuang mengendalikan perasaan dan menekan amarahnya. “Dalam hatiku, ini manusia atau bukan! Rasa menyesal sedikit pun nggak ada.”
Dari sinilah lahirlah dua film dokumenter: Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence). Jagal, yang lebih dulu hadir dan memenangi banyak penghargaan, mengambil sudut pandang pelaku pembantaian. Sementara Senyap, yang rilis November 2014, mengambil perspektif penyintas dan keluarga korban.
Adi Rukun, tokoh utama film ini, menatap layar kaca. Dia menyimak kalimat demi kalimat dari dua narasumber dalam film yang ditontonnya, Jagal. Kedua orang itu menceritakan pembunuhan yang mereka lakukan pada akhir 1965-1966. Di tempat lain, Inongsyah (72 tahun) lebih banyak diam ketika matanya diperiksa Adi. Hanya mulutnya yang bersuara, menjawab pertanyaan tentang keterlibatannya dalam pembunuhan massal. Dua adegan itu menjadi pembuka film Senyap.
Inong bekas kepala regu pembunuh di desanya. Dia terbilang sadis. Orang-orang takut padanya. Dia pernah memotong payudara seorang ibu yang menjadi korbannya. Tak jelas untuk apa. Biasanya, sehabis membunuh, dia meminum darah korbannya. “Kalau kita tidak minum darah bisa gila,” ujar Inong. Seketika raut Adi memancarkan kesal, marah, sekaligus kaget.
Dengan berperan sebagai jagal dan korban, Inong dan Amir Hasan juga merekonstruksi proses pembunuhan, termasuk terhadap Ramli. Sesekali mereka menjelaskan tempat-tempat kejadian.
Amir Hasan bekas kepala komando aksi. Dia pernah menulis buku Embun Berdarah yang merinci proses pembunuhan terhadap 32 korban. Menurut buku Killer Images: Documentary Film, Memory and the Performance of Violence yang disunting Joram Brink dan Joshua Oppenheimer, perintah bunuh berasal dari saudara tirinya, seorang tentara berpangkat mayor – Adi menemui janda dan dua orang anaknya. Obrolan mereka sampai pada penceritaan Adi tentang pembunuhan kakaknya yang dilakukan Amir Hasan cs., mengacu pada buku Embun Berdarah.
Pembunuhan Ramli terjadi pada akhir 1965. Suatu malam, dari sebuah bioskop tempat dia ditahan, Ramli dan puluhan orang lainnya diangkut truk ke sebuah tempat. Di perjalanan, Ramli berhasil kabur dan bersembunyi di rumah orangtuanya. Tapi esok paginya dia dijemput sekira tujuh anggota komando aksi. Dia disiksa di tepi Sungai Pekong. Tubuhnya dibiarkan tergeletak dan menjadi tontonan orang banyak. Dia lalu dibawa ke perkebunan sawit dan dibunuh. Jasadnya kemudian dikuburkan seorang kawan kerja ayahnya.
Para jagal bersiteguh apa yang mereka lakukan adalah benar. Agama menjadi dalih untuk membenarkan anggapan bahwa komunis itu jahat. Keyakinan itulah yang membuat mereka enggan meminta maaf. Mereka tak peduli nasib keluarga korban. Beberapa bekas jagal menampakkan wajah penyesalan tapi kebanyakan “cuci tangan”. “Yang lalu biarlah berlalu,” kata beberapa di antara mereka.
Monumen
Bagi Joshua, Senyap merupakan monumen. Sebuah monumen berdiri bukan semata sebagai bangunan ornamental di suatu tempat, tapi yang lebih penting sebagai pengingat akan sebuah peristiwa. Senyap mengingatkan kita, masih ada masalah serius (pembantaian massal 1965-1966) yang mendesak untuk dicarikan jalan keluar. Sudah hampir 50 tahun berlalu, tapi hampir tak ada upaya penyelesaian. Adi dan jutaan penyintas lainnya terus “terasing”, bahkan masih banyak yang tak berani bersuara.
Apa yang Adi lakukan dengan mendatangi para mantan jagal kakaknya adalah sebuah langkah pengobatan. Adi memang takkan bisa menghidupkan kembali kakaknya, tapi upayanya menjadi pengobat luka di jiwanya selama bertahun-tahun.
Adi berharap, pemerintahan Joko Widodo mau dan berani membuka kasus 1965 serta mengupayakan rekonsiliasi dan rehabilitasi. “Cukup generasiku saja yang didiskriminasi,” ujar Adi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar