top of page

Sejarah Indonesia

Hanyut Dalam Nyanyian Akar Rumput

Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput

Dokumenter pergulatan keluarga Wiji Thukul yang menggugah alam bawah sadar bahwa luka lama bangsa ini masih menganga.

22 Januari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Judul: Nyanyian Akar Rumput | Sutradara: Yuda Kurniawan | Produser: Yuda Kurniawan | Produksi: Rekam Docs | Genre: Dokumenter | Durasi: 112 Menit | Rilis: 16 Januari 2020.

FAJAR Merah nyaris tak punya ingatan apapun tentang ayahnya. Ia dan kakaknya, Fitri Nganthi Wani, sudah ditinggal Wiji Thukul sejak masih “ingusan”. Ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, harus jadi tiang kokoh sebagai pegangan Fajar dan Fitri sejak 21 tahun silam.


Semua berawal dari hilangnya Wiji Thukul, sang kepala keluarga, yang jadi korban pergolakan negeri di pengujung pemerintahan Orde Baru. Hilangnya Wiji Thukul bukan sesuatu yang tak disangka. Sejak ia mulai mesra dengan politik dan karya-karyanya menikam hati rezim, Sipon yang sejak 1988 diperistri Wiji Thukul, sudah diwanti-wanti ayahnya. “Kamu siap ya, Ti,” cetus Sipon menirukan peringatan ayahnya. Peringatan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika prahara Mei 1998 pecah. Wiji Thukul dan 12 aktivis lain hilang tak berbekas bak ditelan bumi.


Lebih dari dua dekade mereka, para anggota keluarga, sanak, dan kawan, menunggu kepastian akan kejelasan nasib sang aktivis HAM itu, apakah masih hidup atau sudah tinggal nama. 


Begitulah babak awal film dokumenter racikan Yuda Kurniawan, Nyanyian Akar Rumput. Sang sineas mengombinasikan beberapa footage berisi penuturan Fitri, Sipon, Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), dan Fajar si putra bungsu Wiji Thukul yang usianya baru sekira lima tahun kala ayahnya jadi korban penghilangan paksa.


Foto pernikahan Wiji Thukul dan Sipon (Foto: Rekam Docs)
Foto pernikahan Wiji Thukul dan Sipon (Foto: Rekam Docs)

Tahun demi tahun berganti. Rasa lelah mulai memudarkan harapan. Keberadaan Wiji Thukul tetaplah gelap. Fajar yang sosoknya jadi sorotan sentral di dokumenter berdurasi 112 menit ini, hanya bisa menumpahkan segala macam kerinduan pada sosok ayah lewat musik.


Bersamatiga rekannya, pada 2012 Fajar membentuk band beraliran poem rock, Merah Bercerita. Lagu-lagunya dikreasikan dari musikalisasi puisi-puisi karya ayahnya.


“Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red.) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon.


Band Merah Bercerita yang didirikan Fajar Merah dan tiga kawannya sejak 2012 (Foto: Rekam Docs)
Band Merah Bercerita yang didirikan Fajar Merah dan tiga kawannya sejak 2012 (Foto: Rekam Docs)

Dengan tenggelam dalam musik, Fajar seolah bertemu dengan ayahnya dalam versi imajinasi. Apalagi selama ini ia hanya bisa menerka-nerkaseperti apa sosok sang ayah, melalui karya-karyanya. Setiap kali album band-nya diluncurkan, acapkali dibarengi dengan memperingati hari lahir ayahnya yang jatuh pada 26 Agustus.


“Sejauh apa aku mengenal bapakku?” ujar Fajar yang lantas terdiam lantaran kesulitan mencari arsip kenangan tentang ayahnya di ingatannya. 


“Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” tandasnya.


Merawat Perjuangan Wiji Thukul


Dokumenter pemenangPiala Citra kategori dokumenter panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2018 itupatut dijadikan tontonan generasi muda kekinian. Selain sarat pengetahuan akan kehidupan politik bangsa di masa lalu, film itu juga menjadi wahana pas untuk mengingatkan presiden akan janjinya dua dekade silam. Dalam suatu adegan, Sipon bertuturbahwa Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjabat walikota Solopernah berjanji untuk membantu mencarikeberadaan Wiji Thukul.


Meski zaman sudah berganti dan kursi presiden sudah silih berganti diduduki orang-orang berbeda, kasus penghilangan paksa Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM laintak kunjung tuntas.“Di masa walikota mungkin dia punya kedekatan tapi kan dia enggak punya power (kewenangan, red.). Tapi ketika dia menjadi presiden, kan dia punya power untuk melakukan lebih, walau kita juga pahami bukan hal yang ringan bagi Presiden Jokowiuntuk menuntaskan agenda-agenda pelanggaran HAM masa lalu. Ternyata juga di masa kabinet sekarang orang yang dianggap bertanggungjawab malah jadi bagian,” tutur Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kepada Historia.


Jadi buronan pasca-Kudatuli, Wiji Thukul dinyatakan hilang pasca-Tragedi Mei 1998 sebagai korban penghilangan paksa (Foto: Rekam Docs)
Jadi buronan pasca-Kudatuli, Wiji Thukul dinyatakan hilang pasca-Tragedi Mei 1998 sebagai korban penghilangan paksa (Foto: Rekam Docs)

Kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada kejatuhan Soeharto memang jadi satu tonggak sejarah modern Indonesia yang rumit. Namun Yuda Kurniawan mengisahkannya dalam dokumenter sedemikian rupa hingga penonton usia +17 pun takkan merasa jemu. Alur ceritanya mengalir dengan apik dan menghanyutkan. Pun dengan selipan-selipan footage lawas sebagai penguat visual atas narasi sejarah yangada sehingga mudah dipahami.


Lewat puisi-puisi Wiji Thukul yang dimusikalisasi Fajar Merah dkk., semisal “Bunga dan Tembok”, “Sajak Suara”, dan “Apa Guna”, penonton “dimanjakan” dalam mengenal siapa Wiji Thukul.


Menurut Yuda, mulanya dokumenternya diberi judul Mencari Wiji Thukul, lantaran terinspirasi film dokumenter Searching for Sugar Man garapan Malik Bendjelloul dan Simon Chinn yang menang Piala Oscar untuk kategori dokumenter terbaik 2012.


“Itu kan bercerita tentang musisi juga yang memperjuangkan suara orang-orang bawah. Awalnya saya perlu judul itu untuk woro-worodi sosial media. Tapi kemudian berubah pikiran karena merasa kurang sreg. Akhirnya pakai judul itu (Nyanyian Akar Rumput), selain juga untuk melestarikan puisi Wiji Thukul,” ujar Yuda.


Yuda mengaku tak punya target muluk untuk Nyanyian Akar Rumput. Sebab, genre dokumenter dengan isu politik dan HAM masih kurang diminati  masyarakat walaupundihadirkan se-obyektif mungkin.


“Saya enggak terlalu mikir target. Yang penting bagaimana film ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas. Di luar penonton festival atau bioskop-bioskop alternatif. Yang penting juga, bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran dalam film ini,” sambungnya.


Fajar Merah (kanan) yang mengekspresikan kerinduan pada ayahnya lewat musik (Foto: Rekam Docs)
Fajar Merah (kanan) yang mengekspresikan kerinduan pada ayahnya lewat musik (Foto: Rekam Docs)

Sementara, Wahyu punya harapan Nyanyian Akar Rumput tidak hanya sekadar suguhan di balik layar musikalisasi puisi Wiji Thukul yang dibawakan Fajar Merah dan bandMerah Bercerita. Dalam Nyanyian Akar Rumput, kata Wahyu, sarat nutrisi akan pengetahuan.Ratusan juta rakyat Indonesia bisa menikmati kebebasan dengan harga yang tidak murah.


“Generasi muda akan melihat dan bercermin. Dia akan bisa mengkontraskan situasi. Bahwa sekarang baca buku bebas, maki-maki pejabat di sosial media sudah bebas, tapi kemudian dia akan tahu fakta-fakta masa lalu yang kontras. Harapannya dia akan punya daya juang. Paling tidak, untuk mempertahankan kebebasan yang sekarang ini yang harganya mahal dan perlu martir,” sambung Wahyu.


“Penting untuk anak-anak muda mengenal Wiji Thukul. Kenapa? Karena dia yang membuat kalian bisa buka Youtube, Instagram, bebas kritik, tidak ada pembatasan buku-buku. Kebebasan yang asasi dan dengan melihat dokumenter ini, penting untuk merawat kebebasan itu,” tuturnya menutup obrolan.





Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page