Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput
Kisah Yuda Kurniawan meramu Nyanyian Akar Rumput. Ide lama yang sempat mengendap sebelum akhirnya mendapatkan jalan.
KEUNIKAN. Itulah “kekayaan” Wiji Thukul yang menarik perhatian Yuda Kurniawan, sineas penggarap Nyanyian Akar Rumput, untuk mengenal lebih jauh. Selain rangkaian kata dalam puisi-puisinya berbeda dari pada umumnya, Yuda tertarik dengan nama Wiji Thukul.
“Itu sejak saya kelas 3 SMP ya. Saya pikir itu dulu bukan puisi. Wiji Thukul nulisnya enggak seperti puisi pada umumnya. Kayak cerpen. Ia bercerita. Enggak berima, enggak indah seperti puisi-puisi Chairil Anwar atau WS Rendra. Di situ juga mulai kenal namanya itu. Namanya unik, kan. Thukul,” ujar Yuda kepada Historia, Rabu (22/1/2020).
Puisi-puisi Thukul biasa terselip di buku-buku yang acap dibawa pamannya kala pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur dari perantauannya di Yogyakarta. Di kota itu, sang paman kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Begitulah penuturan Yuda tentang awal perkenalannya dengan penyair berjuluk “sang peluru” dan karya-karyanya. Yuda baru mengetahui fakta hilangnya Thukul pasca-Tragedi Mei 1998 kala duduk di bangku SMA.
“Saya SMA, 1999, baru tahu kemudian, oh ternyata pengarang puisi yang sering saya baca sejak SMP itu orangnya hilang, diculik,” lanjut sineas kelahiran 8 Oktober 1982 itu.
Baca juga: Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput
Pencariannya soal siapa Thukul terus bergulir hingga dia kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001. “Pas kuliah di Yogya lebih penasaran lagi untuk mencari tahu. Sempat kemudian kepikiran bikin karya. Cuma karena referensi pembuatan film masih minim, kamera juga susah, kalaupun sewa harganya mahal, ide itu mengendap saja,” ujarnya.
Lama tertimbun, hasrat Yuda muncul lagi tahun 2012. Sebuah artikel tentang band indie asal Solo, Merah Bercerita, yang –digawangi salah satunya oleh Fajar Merah, anak bungsu Thukul– dibacanya membuat Yuda kagum. Kekagumannya kian bertambah ketika menyaksikan video unggahan kawannya, Lexy Rambadeta, di Youtube. Video itu menampilkan Merah Bercerita memainkan musikalisasi puisi “Bunga dan Tembok” karya Thukul.
“Saya terkesima. Dari situ saya makin cinta sama Fajar. Main gitarnya rapi, bagus banget. Saya pikir, oke banget ini. Walau belum nemu momentumnya, tapi niatku dulu membuat dokumenter Wiji Thukul seperti menemukan jalannya. Bahwa si Fajar ini ingin melestarikan puisi bapaknya melalui lagu. Sebuah spirit yang bagus,” sambung Yuda.
Yuda lantas mendekati Lexy, sineas yang sudah menghasilkan sejumlah karya dokumenter macam Mass Grave (2001) dan Student Revolt (2001), dan Batas Panggung (2004). Lexy acap menenteng kamera untuk mendokumentasikan sejumlah forum terkait kasus pelanggaran HAM 1997-1998 serta kasus penghilangan paksa yang digulirkan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Lexy dikenal cukup dekat dengan keluarga Wiji Thukul.
“Tapi memang dia belum pernah sempat mendokumentasikan secara khusus menjadi karya tentang Wiji Thukul,” kata Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul.
Yuda pun mendiskusikan idenya dengan Lexy. Gayung pun bersambut. Selain punya banyak koleksi terkait keluarga Wiji Thukul, Lexy pula yang jadi perantara Yuda bisa mengontak Fajar dan ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Setelah mendapat lampu hijau, segera Yuda bertolak ke Solo pada Juni 2014.
“Jadi saya ke sana memposisikan diri sebagai fans-lah. Ibarat kalau saya ke Potlot, ingin ketemu Kaka (Slank), kurang lebih begitu. Saya jelaskan bahwa saya ingin memfilmkan Fajar sebagai sosok anak Wiji Thukul yang punya band. Alhamdulillah mereka welcome,” sambung Yuda.
Baca juga: Kisah Hanung Bramantyo mengenal Pram dan karya-karyanya
Saat itu juga Yuda memulai proses produksi dokumenternya. Mulai dari mengambil gambar kegiatan band Merah Bercerita sampai memfilmkan keseharian serta wawancara Sipon, Fitri Nganthi Wani (putri sulung Wiji Thukul), dan Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul) yang sudah tinggal di Depok. Yang belum ada hanya keterangan dari Nasri Nugroho, adik Wiji Thukul.
“Kalau Mas Wahyu kan baru 2015 bisa ke sana, ketika ikut Fajar saat ke Jakarta. Kalau Mas Nasri Nugroho lagi sibuk, banyak kegiatan. Mbak Sipon sudah sempat minta Fajar nganterin saya ke Mas Nugroho. Enggak tahu kenapa, gagal terus. Dalam arti, pas mau ke sana beliaunya lagi ke luar kota. Tapi ya buat saya sudah terwakili sama Mas Wahyu-lah. Secara konektivitas Fajar kan juga sangat dekat dengan Mas Wahyu, seperti pengganti bapaknya,” ujarnya.
Narasi Sejarah
Nyanyian Akar Rumput berpusar pada kehidupan dan pergulatan batin Fajar Merah sebagai anak bungsu Wiji Thukul. Dua pokok alur cerita yang bertautan dengan benang sejarahnya tak lain adalah musik-musik yang dimainkan Merah Bercerita. Fajar dkk. mengreasikan sendiri musiknya dengan memanfaatkan lirik-lirik dari sejumlah puisi karya Wiji Thukul seperti “Apa Guna”, “Sajak Suara”, “Kebenaran Akan Terus Hidup”, “Bunga dan Tembok”, “Derita Sudah Naik ke Leher”, atau “Yang Aku Tahu”.
Dalam wawancara di dokumenter itu, Wahyu merasa Fajar telah memberi nyawa baru dalam karya-karya kakaknya. Sementara, Sipon melihat Fajar dengan musiknya justru memberi wajah baru puisi-puisi suaminya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red.) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon.
Narasi lainnya adalah tentang bagaimana Thukul tak hanya membela wong cilik dengan kata-kata namun juga kerap ikut turun ke jalan yang cuplikannya turut dihadirkan Yuda. Seperti saat terjadi kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo pada 1989, misalnya, di mana ribuan keluarga harus terusir dan tak mendapat ganti rugi yang sepadan dari pemerintah.
Baca juga: The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
Pun dengan kasus protes karyawan PT Sritex di Sukoharjo pada 1995. Imbasnya, Wiji dan keluarga mulai diteror sejumlah pihak tak dikenal. “Memang sejak lama kami mengalami represi, sedari awal 1990-an. Ketika ada kasus Kedung Ombo, rumah disatroni,” kenang Wahyu.
Puncaknya adalah peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996, tak lama setelah Megawati Soekarnoputri didongkel dari kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Thukul dan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh jadi dalang kerusuhannya. Akibatnya, ia turut diburu aparat sampai akhirnya hilang bak ditelan bumi usai Tragedi Mei 1998.
Yuda menghadirkan narasi-narasi itu dengan kombinasi ekspositori dan observatori, di mana selain menyajikannya lewat wawancara, juga via foto maupun footage lawas dari beberapa pihak, serta footage aktivitas sehari-hari para subyek film. Footage kerusuhan Mei 1998, misalnya, didapat Yuda dari sineas senior Tino Saroengallo.
“Jadi Om Tino dulu pernah bikin film Student Movement in Indonesia: They Forced Them to be Violent (2002). Film yang juga menang Piala Citra 2004 kategori dokumenter panjang. Film yang asalnya dari gambar yang banyak beliau dan temannya ambil tentang zaman 1998. Saya hubungi Om Tino, bahwa saya sedang butuh footage tentang 1998,” tutur Yuda.
Yuda mulanya hanya minta izin untuk memakai beberapa scene dari film itu. Namun Yuda justru diberi master-nya secara cuma-cuma, yang kemudian diedit Yuda untuk dipakai beberapa bagiannya.
“Kebetulan Om Tino waktu itu juga sudah sakit, bolak-balik dirawat di Singapura. Pas saya bikin screening di Cikini, beliau menyempatkan hadir. Beliau bilang, ‘Ini (hasilnya) oke. Footage-nya masangnya pas. Wes, semoga filmnya sukses ya.’ Itu terakhir ketemu beliau sebelum meninggal (pada 27 Juli 2018). Menurutku gila. Ini orang baik banget. Pas beliau meninggal saya sempatkan datang. Dengan dikasih master-nya, saya seperti dikasih warisan,” tambahnya.
Baca juga: Dokumenter dan Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia
Sementara, footage keluarga mewakili Wiji Thukul menerima Yap Thiam Hien Award pada 2002 dan cuplikan-cuplikan Sipon di Aksi Kamisan, didapat Yuda dari Lexy. Juga secara cuma-cuma. Footage-footage itu digunakan Yuda untuk melengkapi beberapa video lain yang didapat dari keluarga Wiji Thukul.
“Dia ngasih free. Katanya, pakai aja. Tentu dengan senang hati karena saya butuh banyak video itu. Dia punya koleksi banyak banget yang dia susun rapi dari tahun 2000, ketika saya main ke rumahnya. Kalau footage Fajar yang di acara Mata Najwa, aku pakai rekamanku sendiri waktu nge-shoot plasma tv di studionya. Alhamdulillah dibolehkan sama produsernya,” lanjut Yuda.
Setelah rampung, Yuda mendaftarkan filmnya ke Busan International Film Festival dan ternyata lolos untuk world premier dan kompetisi di kategori dokumenter panjang pada 5 Oktober 2018. Lantas Yuda mendaftarkannya ke beberapa festival lainnya dari 2018 sampai 2019. Empat dari 16 festival yang diikutinya membuahkan penghargaan. Salah satunya, Piala Citra di FFI 2018. Capaian itu mendorongnya untuk membawa Nyanyian Akar Rumput ke bioskop-bioskop komersil pada 2019. Nyanyian Akar Rumput menjadi film kedua yang menampilkan sosok Wiji Thukul dan kisah yang tercecer di baliknya, setelah Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen.
“Bagi saya, Yuda ini juga figur anak muda yg sampai sekarang melakukan pencarian juga ya, siapa sih sosok Wiji Thukul. Secara fisik enggak pernah ketemu. Seperti juga Yosep Anggi Noen. Kan ketika aktivitas Wiji Thukul memuncak, mereka masih anak-anak, belum mengerti. Makanya saya appreciate sekali ya dua film ini,” tandas Wahyu.
Baca juga: Mengenang Bertolucci
Tambahkan komentar
Belum ada komentar