Melarikan Pesawat dari Malang ke Yogya
Kisah nekat Lettu Hanandjoeddin melarikan pesawat “Pangeran Diponegoro-II” dari Malang ke Yogya. Berujung hukuman bui.
MALANG, Jawa Timur, 19 Maret 1946 siang. Ketika tengah sibuk memperbaiki beberapa pesawat di Hangar I Pangkalan Udara (Lanud) Bugis, Lettu Hanandjoeddin, akrab disapa Anan, dan anak buahnya kedatangan tamu dari Yogya. Tamu itu Letkol Umar Slamet, mantan Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Yogya yang kemudian jadi salah satu pimpinan TRI Divisi IX Yogya merangkap anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogya. Umar datang didampingi Imam Soepeno.
Menurut Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, agenda kunjungan Umar adalah mencari pesawat yang bisa terbang jarak jauh menuju Australia untuk keperluan pengiriman delegasi diplomasi RI ke Australia. Umar berharap bisa mendapatkan pesawat yang dapat mengangkut penumpang sampai tujuh orang.
Namun, harapan Umar belum tentu dapat terwujud. Kendati Umar memiliki posisi penting dan kedatangannya untuk kepentingan perjuangan, kala itu Lanud Bugis masih di bawah kekuasaan Divisi VIII/Untung Suropati pimpinan Jenderal Mayor Imam Soedja’i dan berdiri independen alias terpisah dari pusat.
Sejak direbut dari tangan Jepang pada September 1945, Lanud Bugis dipegang Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi VIII. Warisan yang ditinggalkan Jepang di sana adalah 105 pesawat bekas yang mayoritas tak siap terbang. Satu di antaranya adalah pesawat pembom bermesin ganda Kawasaki Ki-48 “Sokei”.
Aset itu tentu dilirik Suryadi Suryadarma sebagai pimpinan TRI Djawatan Penerbangan. Namun baru pada 9 April 1947, ketika TRI Djawatan Penerbangan sudah bertransformasi menjadi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia/kini TNI AU) pada 9 April 1946, Lanud Bugis berikut ratusan alutsista di dalamnya beralih kepemilikan dari Divisi VIII ke AURI. Jalan untuk perpindahan kepemilikan itu cukup berliku dengan beragam konflik di dalamnya, antara Malang dan Yogyakarta (pusat).
Konflik itu menggelisahkan Lettu Anan bersama krunya di bagian teknik yang jadi penanggungjawab semua alutsista di Lanud Bugis. Walau secara garis komando masih di bawah TRI Udara Malang yang jadi bagian TRI Divisi VIII (Mei 1946 menjadi TRI Divisi VII), Hananjoeddin dan anak buahnya sesama bekas montir pesawat Jepang merasa lebih sebagai warga AURI.
“Posisi TRI Udara Malang laiknya tali tambang dengan dua ujung yang saling menarik. Tegasnya penyatuan Lanud Bugis mengalami keseretan, sehingga timbul semacam ketegangan diakibatkan kesalahpahaman siapa yang berkuasa. Garis komando memang masih dipegang Divisi VII, namun secara psikologis para prajurit Lanud Bugis yang dimotori Hanandjoeddin lebih merasa sebagai warga TRI Udara. Terlihat dari tindakan-tindakan berani Bung Anan (panggilan Hanandjoeddin) yang terkesan tak sejalan dengan kebijakan pimpinan Divisi VII,” tulis Haril.
Di antara tindakan tak sejalan Lettu Anan kepada divisinya adalah kala memberikan sumbangan sebuah pesawat pemburu Tachikawa Ki-55 “Cukiu” ke Lanud Maguwo (Yogyakarta). Pesawat itu disumbangkan guna dijadikan pesawat latih para kadet penerbang di Lanud Maguwo.
Sebelumnya, Februari 1946, Komodor Adisutjipto memintanya baik-baik kepada Divisi VII. Namun permintaan itu tak dikabulkan. Mengetahui hal itu, Anan dan Lettu Imam Soepeno, ketua TRI Udara Malang, diam-diam nekat memberikannya kepada Adisutjipto. Pesawat Cukiu itu berhasil dibawa ke Maguwo dengan dipiloti langsung Adisutjipto pada 17 Februari 1946. Imam Soepeno dan Anan kompak tutup mulut akan “pemberontakan” itu.
Kabar para kadet Yogya mendapat pesawat dari Lanud Bugis terdengar sampai ke Lanud Panasan Solo. Maka pada 5 Maret 1946, utusan dari Lanud Panasan datang ke Malang untuk meminta bantuan pengadaan pesawat. Upaya mereka berhasil. Anan menyanggupi dengan syarat satu pesawat Cukiu dibarter –tanpa izin Divisi VIII–dengan kain batik. Deal.
Kabar terdapat banyak pesawat di Malang akhirnya diketahui pula oleh pimpinan penerbangan di Cibeureum (Tasik) dan Maospati (Madiun). Pada 16 Maret 1946, utusan dari kedua lanud itu datang untuk minta bantuan pesawat. Lagi-lagi “tamu” itu “dihadiahi” Cukiu.
Pembom Disulap Jadi Pesawat Angkut
Kabar Lanud Bugis punya banyak pesawat sampai juga ke Letkol Umar Slamet. Lantaran sedang membutuhkan pesawat untuk diplomasi RI ke Australia, dia pun ke Malang untuk meminta pengadaan pesawat besar.
Kebetulan salah satu pesawat yang sedang diperbaiki Lettu Anan dan anak buahnya saat kunjungan Umar adalah pembom Kawasaki Ki-48 “Sokei” Type 99. Anan pun mendampingi Umar Slamet melihat-lihat ke bagian dalam pesawat.
Baca juga: Pesawat Pemburu dari Masa Lalu
Pesawat itu, sebagaimana ditulis Richard Bueschel dalam Aircam Aviation Series No. 32: Kawasaki Ki.48-I/II Sokei in Japanese Army Air Force-CNAF & IPSF Service, adalah pesawat pembom ringan bermesin ganda yang dikembangkan pabrikan Kawasaki setelah mendapat kontrak dari JAAF (Unit Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) pada 1940. Pesawat itu terinspirasi dari pesawat pembom berkecepatan tinggi Uni Soviet Tupolev ANT-40 “Skorostnoi Bombardirovschik” (Tupolev SB).
“Soviet yang mendukung pemerintah nasionalis China, Chiang Kai-shek, menerbangkan banyak pembom ringan Tupolev SB-2 dan membuat syok JAAF. Pesawat itu hampir sama cepatnya dengan pesawat pemburu Jepang baru, (Nakajima) Ki.27. Pesawat SB-2 mengungguli pembom-pembom ringan JAAF saat itu dan mengetahui potensi perang dengan Soviet, JAAF bereaksi pada tantangan yang sama,” tulis Bueschel.
Pengembangannya dipercayakan kepada pakar pesawat Takeo Doi yang bereksperimen dengan memodifikasi rangka pesawat pembom berat bermesin ganda, Ki-45 “Toryu”, pada Januari 1938. Setelah purwarupanya rampung pada Juli 1939, pesawat Ki-48 “Sokei” masuk produksi massal pada 1940 dalam 11 varian. Sokei lalu digunakan untuk kampanye di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
“Hingga akhirnya Jepang meninggalkan Jawa, banyak pesawatnya dikanibal dan hanya menjadi tumpukan bangkai. Para revolusioner Indonesia mengambilalihnya dan mulai membangun kembali semua pesawat yang bisa diperbaiki. Satu (pesawat) Sokei 99 dibangun dari sisa-sisa bangkai banyak pesawat lain untuk menjadi pesawat pembom bermesin ganda pertama yang dimiliki Tentara Keamanan Rakyat,” tambah Bueschel.
Pesawat Sokei yang dibangun Lettu Anan dan anak buahnya adalah Sokei varian Ki-48-IIa yang berdimensi panjang 12,75 meter dan lebar (termasuk sayap) 17,45 meter serta bobot kosong 4.550 kilogram. Dipasok sepasang mesin Nakajima Ha.115, Sokei bisa melaju hingga kecepatan maksimal 505 km/jam dan bisa terbang sejauh 2.400 km dalam kondisi full tank.
Baca juga: Empat Alutsista Jerman yang Mengubah Dunia
Namun karena tak mendapatkan spek aslinya, Anan dan anak buahnya di Hangar I membangunnya hampir dari nol. Problem utamanya adalah pesawat itu sebelumnya mangkrak tanpa mesin setelah dikanibal militer Jepang. Ini juga yang jadi kekhawatiran Umar Slamet saat menengok ke bagian dalam pesawat.
“Lho, ke mana mesin pesawat ini? tanya Umar seketika.
“Ini masalahnya, Pak, sejak ditinggalkan Jepang sudah dalam kondisi begini. Prajurit Jepang memang terkenal jago kanibal, Pak,” jawab Anan.
“Berapa lama kira-kira perbaikan bisa selesai?”
“Kami perkirakan satu bulan selesai, Pak.”
“Satu bulan? Apa bisa selesai hanya waktu satu bulan?”
“Insha Allah Pak! Satu bulan lagi silakan datang ke mari,” tandas Anan.
Baca juga: Kombatan AURI Gempur-menggempur di Malang Timur
Janji itu membuat Anan dan kawan-kawan bekerja keras siang-malam. Semua bagian pesawat Sokei Ki-48 itu, termasuk mesin, dibangun menggunakan spare part pesawat lain. Pesawat pembom berkru empat itu lalu disulap jadi pesawat angkut yang bisa memuat sampai 15 orang. Pada 17 April 1946, pesawat itu dites terbang oleh eks-pilot Jepang bernama Atmo dan berhasil. Pesawat itu kemudian dinamai “Pangeran Diponegoro-II” (PD-II).
Hanya saja, lanjut Haril, Umar batal kembali ke Malang. Tepat sebulan setelah memesan pesawatnya, ia mengalami kecelakaan. Pesawat pembom tukik Mitsubishi Ki-51 “Guntai” yang ditumpanginya dari Yogya ke Malang mengalami kerusakan dan mendarat darurat di Sundeng, Pacitan. Kendati selamat, Umar tak pernah datang lagi ke Malang dan PD-II pun kembali mangkrak di Hangar I Lanud Bugis.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista AURI nan Legendaris
Pesawat itu pula yang dilirik Wakil II Kepala Staf AURI Komodor Muda Udara Adisutjipto saat berkunjung ke Lanud Bugis pada 4 Agustus 1946. Di sela berunding dengan Jenderal Imam Soedja’i, Adisutjipto bahkan memberanikan diri menjajal menerbangkan PD-II. Walau baru pertama kali menerbangkan pesawat jenis itu, Adisutjipto berhasil mendarat dengan selamat.
“Pesawat tidak langsung dimasukkan ke hangar tapi diparkir begitu saja di apron. Rupanya Pak Cip punya pemikiran lain. Timbul keinginannya membawa PD-II ke Yogya. Tapi tidak mungkin keinginan itu disampaikan kepada Imam Soepeno karena Pak Cip tahu, Imam Soepeno orang kepercayaan panglima divisi,” sambung Haril.
Tahu Lettu Anan lebih condong ke AURI, Adisutjipto membujuknya dalam sebuah pembicaraan rahasia. Adisutjipto menyampaikan keinginannya untuk membawa PD-II ke Maguwo tanpa melalui notifikasi resmi ke Divisi VII. Hal itu membuat Anan ragu.
“Ketimbang hanya nongkrong di sini, akan lebih banyak manfaatnya untuk perjuangan bila pesawatnya berada di Yogyakarta. Bagaimana?” tanya Adisutjipto pada Anan.
“Yang Pak Cip katakan memang benar. Hanya saja Panglima Divisi akan marah besar bila sampai pesawat dibawa ke Jogja,” jawab Anan.
“Bukankah tadi Anda bilang pesawat ini awalnya pesanan Pak Umar Slamet? Beliau tinggal di Jogja. Nanti kalau delegasi mau berangkat, pesawatnya sudah siap di Maguwo,” kata Adisutjipto.
“Baik Pak, kalau lebih besar untuk kepentingan negara, saya siap ikut mengantarkan,” jawab Anan.
Baca juga: Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia
“Operasi” klandestin itu pun dirancang Anan dengan cermat. Kali ini tanpa memberitahu ke anak buahnya, apalagi Imam Soepeno. Tepat pukul delapan pagi 5 Agustus 1946, pesawat itu diterbangkan Adisutjipto ke Maguwo dengan dikawal lima teknisi, termasuk Anan.
“Jarak Malang-Jogja sebetulnya sekitar 350 km dan bisa ditempuh satu jam. Namun dengan maksud mencari aman, Pak Cip terbang ke barat melewati Semarang. Tak tahunya sekitar satu jam penerbangan di atas kota Semarang, terdengar rentetan tembakan dari bawah: Dor! Dor! Dor! Musuh menembaki pesawat dan bikin kaget. Untung saja Pak Cip segera bermanuver keluar dari radius tembakan dan terbang lebih tinggi. Untung tidak mengenai body pesawat dan mereka lolos dari target penembakan musuh,” tambah Haril.
Dari Semarang, Adisutjipto mengarahkan PD-II ke Solo. Kendati saat di atas Solo mesin kiri pesawat sudah mulai “batuk-batuk”, PD-II selamat tiba di Maguwo pada pukul 11. Mereka disambut meriah para kru lanud, kadet, hingga KSAU Suryadarma.
Namun, sial menimpa Anan. Pada 6 Agustus, datang radiogram dari Malang. Dia insyaf bakal “diadili” oleh Divisi VII lantaran ketahuan melarikan pesawat.
Suryadarma dan Adisutjipto pun turun tangan. Pada 8 Agustus 1946, Anan yang bersedia pasang badan, diantarkan pulang menggunakan pesawat latih Yokosuka K5Y “Cureng” yang dipiloti kadet Tukijo. Keempat anak buahnya tetap di Yogya.
Setibanya di Lanud Bugis, Lettu Anan langsung digelandang ke markas Polisi Tentara. Dia diinterogasi oleh Mayor Bambang Soepeno.
“Siapa yang menyuruhmu membawa pesawat Pangeran Diponegoro II ke Jogja?” kata interogator.
“Siap, Dan! Saya sendiri atas inisiatif sendiri,” jawab Anan.
“Saudara jangan bohong. Apa sepengetahuan Imam Soepeno?”
“Siap, Dan! Tidak. Bung Imam sama sekali tidak tahu. Semua inisiatif saya sendiri.”
“Lalu mengapa saudara sampai membawa lari pesawat ke Jogja? Kenapa tidak meminta izin dengan Panglima?”
“Siap, Dan! Jogja lebih membutuhkan pesawat itu karena sebelumnya Pak Umar Slamet yang minta disiapkan pesawat angkut untuk delegasi RI ke Australia. Bila pesawat itu berada di Jogja akan lebih manfaatnya bagi negara karena banyak pilot di sana. Mohon maaf kalau tidak minta izin Panglima, karena Panglima sudah pasti tidak akan mengizinkan.”
“Kalau begitu, Saudara melawan atasan.”
Lettu Anan lantas divonis bersalah melawan atasan. Dia dijebloskan ke bui selama satu minggu. Begitu dibebaskan pada 15 Agustus 1946, Anan disambut gembira para anak buahnya.
“Kalau komandan (Lettu Anan) mau lari dari tanggung jawab, bisa saja beliau berlindung di Markas Tinggi Jogja. Atau bersama Pak Cip menghadap Panglima Besar Soedirman di Jogja. Tapi itu tidak dilakukannya. Beliau justru menghadapi hukuman apapun yang dijatuhkan Divisi (VII) kepadanya,” kata kru bernama Mohammad Usar yang terharu menyambut bebasnya Anan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar