Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947
Film “Kadet 1947” menyertakan tokoh Bung Karno dan Pak Dirman. Seperti apa keterkaitan dan keterlibatan keduanya?
SEMANGAT perjuangan tidak hanya dimiliki muda-mudi Indonesia di darat dan lautan, namun juga di udara. Salah satu petite histoire tentang tekad membela negeri dari pihak agresor Belanda bakal diangkat ke layar lebar oleh rumah produksi Temata Studios dengan tajuk Kadet 1947. Rencananya dirilis pada November 2020.
“Ketika Belanda melanggar perjanjian (Linggarjati, red.) dan menyerang republik, tujuh kadet angkatan udara berinisiatif melakukan serangan balik demi mempertahankan kedaulatan bangsa. (Film) ini kisah tentang tujuh kadet yang menggagas operasi udara perdana Indonesia (29 Juli 1947),” begitu logline filmnya yang disampaikan Aldo Swastia, sutradara cum penulis naskah, kepada Historia.
Untuk menggugah minat kaum milenial terhadap kisahnya, tim produksi sengaja mencari aktor yang milenial pula guna memerankan tujuh kadet yang asing di telinga mereka. Para kadet itu jarang disebutkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di berbagai institusi pendidikan formal.
Aktor milenial Kevin Julio dipilih memerankan Kadet Mulyono, Baskara Mahendra sebagai Kadet Sutardjo Sigit, Ajil Ditto sebagai Kadet Suharnoko Harbani, Samo Rafael sebagai Kadet Bambang Saptoadji, Wafda Saifan sebagai Kadet Sutardjo, Chicco Kurniawan sebagai Kadet Dulrachman, dan Fajar Nugra sebagai Kadet Kaput.
Senior-senior mereka tak ketinggalan diikutsertakan untuk memerankan para pembesar AURI seperti Komodor Muda Agustinus Adisutjipto (diperankan Andri Mashadi), Komodor dr. Abdulrachman Saleh/Pak Karbol (Ramadhan al-Rasyid), Komodor Muda Halim Perdanakusuma (Ibnu Jamil), dan KSAU Komodor Suryadi Suryadarma (Mike Lucock).
Yang menarik disimak, dua dari sekian tokoh tambahan yang bakal nongol dalam Kadet 1947 adalah tokoh Presiden Sukarno (diperankan Ario Bayu) dan Panglima besar Jenderal Sudirman (Indra Pacique).
“Ini peran yang gawat. Sudirman itu kan karakternya berwibawa. Tantangannya ya wibawanya itu. Dari tekanan suara dan intonasi harus berwibawa, ditambah dengan (bahasa) Jawa-nya. Yang jelas karakter ini kan karakter yang sudah ada. Gue jadi harus lebih banyak baca lagi tentang Pak Dirman,” ujar Indra mengenai sosok yang paling dihormati di kalangan militer Indonesia itu, dalam konferensi pers virtual, Rabu (15/4/2020).
Mempertanyakan Sosok Sukarno dan Sudirman
Terlepas dari ketidakhadiran pemeran Sukarno dalam konferensi pers virtual itu, menarik untuk didalami apakah ada peran, pengaruh, atau keterlibatan keduanya dalam misi bombardir udara tangsi-tangsi militer Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga oleh tujuh kadet itu?
“Bung Karno dan Pak Dirman tidak ada hubungan dengan peristiwa (pemboman 29 Juli 1947, red). tersebut. Menurut fakta sejarah, tidak pernah ada pertemuan antara pihak AURI dengan dua tokoh itu untuk membahas misi itu. Tetapi yang ada hanya pertemuan antara Halim dan Suryadarma saja,” demikian peneliti sejarah revolusi Wawan Kurniawan Joehanda menjelaskan kala dihubungi Historia.
“Karena belum ada data sejarah keterlibatan kedua tokoh itu dalam peristiwa tersebut, seharusnya masih harus dicari data pendukungnya dulu. Kalau hubungan dengan AURI memang pernah tahun 1946 Pak Dirman berkunjung ke Pangkalan Bugis (Malang) dan Campurdarat (Tulungagung). Entah apakah mereka (tim produksi) mau menarik cerita mulai dari pembentukan AURI atau bagaimana,” imbuh penulis buku Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia: 1945-1949 itu.
Bila epos para kadet AURI itu yang menjadi fokus, dimasukkannya Sukarno dan Sudirman tentu mengacaukan fakta sejarahnya. Itu bakal tak menjadikan film Kadet 1947 sebagai suguhan bergizi bagi edukasi para generasi milenial untuk mengenal sejarah bangsanya.
Bagaimana fakta sejarahnya soal kedua sosok itu di waktu yang sama (29 Juli 1947)?
Keduanya memang berada di Yogyakarta saat misi pemboman berlangsung karena Yogyakarta saat itu merupakan ibukota. Namun Jenderal Sudirman, sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947), saat itu tengah disibukkan dengan laporan perkembangan lanjutan Agresi Militer I yang berlangsung sejak 21 Juli 1947. Di titimangsa itu pasukan Belanda tengah merangsek ke berbagai wilayah seperti Aceh, Medan, Slawi, Cilacap, Kaliwungu, dan Malang.
Sedangkan Presiden Sukarno pagi itu sedang menerima Biju Patnaik, industriawan India yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, di Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung). Itu jadi kunjungan kedua Patnaik setelah kunjungannya ke Yogyakarta pada awal Juli 1947.
“B. Patnaik mengunjungi ibukota Republik Indonesia untuk menyaksikan sendiri keadaan di daerah Republik. Maksud Patnaik antara lain ialah mendirikan perusahaan tekstil di daerah Republik. Di Yogyakarta, ia diterima oleh Presiden Sukarno dan dijamu masyarakat India di Yogyakarta dengan dihadiri pembesar-pembesar Republik, antara lain Mr. M. Rum,” tulis Pram dkk.
Baca juga: Jasa Patnaik untuk Republik
Berita yang menarik perhatian sekaligus mengiris hati para petinggi Republik di hari itu, 29 Juli 1949, adalah insiden pesawat Dakota VT-CLA yang ditembak jatuh dua pesawat tempur Curtiss P-40 Kittihawk AU Belanda. Peristiwa itu terjadi pada sore di atas langit Pangkalan Maguwo yang jadi basis keberangkatan misi tujuh kadet pagi harinya.
Serangan terhadap Dakota AURI yang dipinjamkan Patnaik untuk mengangkut suplai obat-obatan itu merupakan aksi balas dendam Belanda terhadap misi pemboman para kadet. Serangan pengecut itu menewaskan sejumlah petinggi AURI: Komodor Agustinus Adisutjipto, Komodor dr. Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo.
Terlepas dari fakta sejarah yang ada, pihak penggarap Kadet 1947 punya pertimbangan lain untuk menghadirkan tokoh Sukarno dan Jenderal Sudirman.
“Ada dokumentasi sejarah Bung Karno dan Pak Dirman menghadiri pameran penerbangan di Maguwo akhir 1946, beberapa bulan sebelum Agresi Militer Belanda I. Kala itu, Agustinus Adisutjipto juga ikut terbang untuk melakukan atraksi,” sambung Aldo Swastia.
“Selain itu, walau memang tidak ada dokumentasi sejarah menunjukkan keterkaitan langsung Bung Karno dan Pak Dirman di misi tersebut, kehadiran kedua tokoh besar tersebut di pameran penerbangan menunjukkan dukungan penuh mereka terhadap angkatan udara kala itu. Maka, mengingat misi ini begitu penting bagi keberlangsungan bangsa, kami memasukkan beberapa adegan kedua tokoh tersebut dalam film ini,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar