Gempur-menggempur di Malang Timur
Ketika pasukan AURI berdarah-darah di Front Malang.
TAMAN bin Muhammad Tohir begitu antusias menceritakan pengalaman masa mudanya. Saking antusiasnya, lelaki tua itu sampai mohon diri sejenak untuk mengganti kaosnya dengan seragam kebanggaannya, seragam biru muda dengan sederet tanda penghargaan di dada kiri plus baret jingga TNI AU di kepala, sebelum melanjutkan cerita.
Seragam itulah simbol pengabdiannya pada negeri. Pengabdiannya dimulai ketika Perang Kemerdekaan pecah tak lama setelah proklamasi. Taman yang kala itu anggota Brigade 13 Divisi Untung Suropati TNI Angkatan Darat, ikut bergerilya di Malang.
Meski sudah lebih dari 70 tahun, Taman masih ingat betul kisah sebuah pertempuran di Tumpang, Malang, Jawa Timur. Bersama pasukan dari bagian Teknik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU), dia ikut beradu nyawa berbekal sten gun meladeni serdadu Belanda, medio Juli-Agustus 1947.
Pertempuran itu terjadi di Kota Malang sepekan pasca-Agresi Militer I (21 Juli 1947). Sekira sebulan, Koninklijke Landmacht (KL) atau Angkatan Darat Belanda dan Mariniersbrigade atau Marinir Belanda “kucing-kucingan” dengan pasukan republik. Kedua pasukan akhirnya terlibat pertempuran dahsyat pada 31 Agustus 1947 di front Malang timur.
Gerilya dan pertempuran tak hanya dilakoni oleh Divisi Untung Suropati tapi juga dilakoni unsur Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) pimpinan Opsir Muda Udara (OMU) III Hanandjoeddin, putra Belitung yang mengepalai Bagian Teknik Pangkalan Bugis Malang (kini Lanud Abdulrahman Saleh Malang).
“Agustus 1947 itu terjadi pertempuran besar di Front Malang Timur. Saya sendiri dari Brigade 13 Divisi Untung Suropati. Pak Hanandjoeddin hubungannya dekat dengan komandan saya, Letkol Zainal Abidin. AURI waktu itu basisnya di Kewedanan Tumpang. Di situ Pak Hanandjoeeddin Komandan Sektor I-nya. Bahu membahu kita, sama ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, kini TNI AL) juga ada, pimpinan Pak Warouw di Tumpang itu,” kenang Pelda (Purn.) Taman bin Muhammad Tohir kepada Historia.
Di front tengah, menurut Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, formasi pasukan republik diisi Brigade Mobile (Brimob), Laskar Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Sementara, front barat jadi tanggungjawab TRIP Batalyon 5000. Hanandjoeddin memimpin Pasukan Pertahanan Teknik dari PPU III/930 Malang, sebuah unit tempur para teknisi AURI Lanud Bugis yang dipimpin OMU II Soedirman.
Gara-Gara Mata-Mata
Melihat situasi kian gawat akibat Belanda merangsek ke kota dan pasukan republik kalah persenjataan, Hanandjoeddin mengarahkan 250 personelnya untuk mundur guna menggulirkan taktik gerilya di kampung-kampung di Kewedanan Tumpang.
“Banyak mata-mata di Malang, utamanya di front kami (Front Malang Timur). Mereka kepala dua itu. Orang-orang Tionghoa. Mereka pura-pura mendukung kita, tapi sebetulnya memihak Belanda. Pak Hanandjoeddin ini sering diikuti mata-mata,” ingat Taman yang berpangkat kopral ketika ikut bertempur di front Malang Timur.
Pelda (Purn) TNI AU Taman bin Muhammad Tohir (91 Tahun)
Gara-gara mata-mata itu, pasukan Hanandjoeddin urung melancarkan serangan balik ke sebuah markas Belanda di kota. Rencananya sudah bocor duluan. Ditambah lagi, Hanandjoedin sempat terciduk Belanda kala tengah bergerilya di Kampung Pakis, 30 Juli 1947. Dia sengaja menyerahkan diri demi mengalihkan perhatian Belanda agar sisa regunya bisa meloloskan diri.
“Sekompi Marinir Belanda dengan kendaraan-kendaraan tempurnya mengepung Kampung Pakis menjelang senja. Pak Anan (sebutan Hanandjoeddin) tertangkap di sebuah rumah penduduk. Dia dibawa dan ditahan di Singosari untuk diinterogasi,” sambung Haril.
Lantaran menolak membelot untuk KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, Hanandjoeddin mengalami penyiksaan psikis dan fisik. Eksekusi mati jadi konsekuensinya karena ogah membelot.
Tengah malam saat sudah berganti tanggal, Hanandjoeddin hendak dibawa ke sebuah “ladang” eksekusi. Tapi saat akan dinaikkan ke truk, fenomena ganjil berupa asap putih tebal tiba-tiba menyelimuti halaman markas. Hanandjoeddin langsung memanfaatkannya dengan melarikan diri meski kedua tangannya terborgol.
“Dalam keadaan kritis pistol di kepala dan laras sten gun di perut, datang pertolongan Allah,” kenang Hanandjoeddin dalam buku catatannya tahun 1964 yang dikutip Haril.
Hanandjoeddin berhasil mencapi ke batas kota meski sejumlah luka menghiasi wajah dan sekujur tubuhnya akibat penyiksaan kala diinterogasi. Dia kemudian bisa menemui sisa pasukannya.
“Seakan ada kekuatan gaib yang memberinya tenaga tambahan. Rupanya berasal dari ilmu spiritual Hanandjoeddin yang pernah berguru dengan Haji Hasyim, ayah angkatnya beberapa tahun sebelumnya di Gunung Membalong, Pulau Belitung,” sebut Haril.
Balas Menggempur
Menanggapi keagresifan pasukan Belanda yang terus maju, pasukan Pertahanan Pangkalan Udara (PPU) III mengupayakan serangan balasan. Setelah melakukan konsolidasi ulang, hal pertama yang dilakukan pasukan AURI dan Brigade 13 adalah melakukan pembersihan terhadap mata-mata. “Kita usir, kita bakar rumahnya. Saya sendiri ikut membakar satu rumah mata-mata itu,” sambung Taman.
Laporan intelijen menginformasikan, pasukan Belanda telah merencanakan serangan lagi ke arah Kampung Bugis, Kawedanan Tumpang, menggunakan sejumlah Amtrack-nya. Pasukan PPU III selaku “tuan rumah” pun menjawabnya dengan memasang ranjau di jalan-jalan utama yang mengarah ke Kampung Bugis.
Pada 31 Agustus 1947, penantian mereka terentaskan. Beberapa truk dan Amtrack Belanda lumpuh oleh ranjau-ranjau republik. Belanda yang meneruskan agresinya melalui darat dan udara, mulai menemui perlawanan dahsyat di front timur. “Dari semak-semak belukar pasukan AURI melancarkan tembakan dan serangan granat. Meriam PSU (Penangkis Serangan Udara) bekas Jepang juga dikeluarkan untuk melawan serangan pesawat-pesawat Belanda,” lanjut Haril.
Hanandjoeddin dan satu regu pasukannya sempat mengalami kondisi kritis kala terkepung di batas wilayah Wates dan Tumpang. “Pasukan Pak Hanan terkurung di kebun tebu selama berjam-jam. Kondisi sudah tak karuan, makanan juga sulit. Perlawanan habis-habisan di sana sampai empat anak buahnya gugur. Wakilnya Pak Hanan, Sersan Supandri, juga kena tembak di pundaknya,” kata Taman.
Emosi lantaran beberapa anak buahnya gugur, Hanandjoeddin nekat melancarkan serangan untuk menembus kepungan Belanda menggunakan mitraliur tiong. Mentalnya anak buahnya yang sempat jatuh sontak bangkit lagi. Berondongan tembakan Hanandjoeddin dan pasukannya berhasil merobohkan satu garis kepungan Belanda. “Pasukan Belanda kaget hingga kendor mentalnya. Mereka pun dipaksa mundur dari area pertempuran,” imbuh Haril.
Situasi berbalik seiring makin gelapnya hari. Tentara Belanda yang kocar-kacir mundur dari perkebunan tebu, kini dikejar pasukan AURI dan Brigade 13. Sayang, Belanda mampu lari lebih cepat. Pengejaran pun dihentikan mengingat keadaan pasukan sudah mulai kepayahan.
“Kemudian datang SMU (Sersan Muda Udara) S Soekani menanyakan situasi pertempuran. Mereka ramai melihat keadaan kami yang pakaian banyak terkoyak, compang-camping saat baku tembak dengan Belanda. Tapi tak satupun dari kami yang luka. Kami pun dikira kebal peluru,” tandas Hanan dalam buku hariannya.
Meski gerilya tetap berjalan hingga Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, pasukan AURI tak lagi terlibat dalam pertempuran besar seperti pada 31 Agustus 1947. Pasukan Hanandjoeddin lalu berpindah ke Campurdarat, Tulungagung setelah Renville.
“Belanda sendiri baru meninggalkan Malang Timur pada 1950. Dua tahun kemudian saya minta pindah ke AURI meski pangkat saya diturunkan dari Kopral Dua menjadi Prajurit Dua AURI. Ya selain karena kagum dengan Pak Hanan, saya terkesan dengan penampilan prajurit AURI. Pakaiannya lima setel drill, pakai dasi, kacamata rayban dan gajinya Rp.90 saat itu,” terang Taman, veteran berusia 90 tahun yang kini menjabat Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Tumpang, Malang dan Ketua Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) Ranting Tumpang.
Baca juga:
Kudeta AURI
Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Tambahkan komentar
Belum ada komentar