Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan
Sepakterjang perwira AURI dari “Bumi Serumpun Sebalai”. Mengisi kemerdekaan dengan membangun kampung halamannya dari ketertinggalan.
MERANTAU, berjuang, dan kembali untuk membangun kampung halaman. Letkol (Pas) H. AS. Hanandjoeddin melewati semua fase kehidupan itu beserta segala keterbatasan yang menyertainya. Toh itu semua dianggap tantangan yang lantas menempa ketangguhan sosok yang namanya diabadikan untuk pangkalan udara dan bandara di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung itu.
Sejak 2018, Hanandjoeddin terus diajukan untuk menjadi pahlawan nasional dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kep. Babel). Seminar nasional luring dan daring bertajuk “H. AS. Hanandjoeddin: Pejuang Tangguh di Masa Perang dan Damai” yang dihelat Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Belitung Timur di Auditorium Zahari MZ, Belitung Timur, Kamis (17/2/2022) jadi salah satu langkah konkretnya.
“Jadi memang sejumlah kegiatan akademik saya kira sudah dilakukan. Kita hendaknya dalam persyaratan umum maupun khusus untuk pengajuan pahlawan nasional, betul-betul kita penuhi, betul-betul hasil seminar, tulisan-tulisan akademiknya yang diakui,” ujar tokoh Belitung cum pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra.
Bagi masyarakat di luar Kepulauan Bangka-Belitung, nama Hanandjoeddin mungkin masih asing. Namun meski gaung namanya tak sekencang Suryadi Suryadharma, Agustinus Adisutjipto, Halim Perdanakusuma, atau Abdurrahman Saleh, bukan berarti nama Hanandjoeddin tak bisa diajukan jadi pahlawan nasional.
“Memang ada beberapa orang yang tidak kita ketahui secara luas siapa dia dan jejaknya tapi kemudian dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Contoh, Nani Wartabone dari Gorontalo. Itu dikukuhkan menjadi pahlawan nasional karena perannya sebenarnya di daerah, walau ada juga sedikit perannya di nasional. Pernah menjadi anggota MPRS, pernah jadi anggota DPA,” lanjutnya.
Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Bambang Purwanto, sosok Hanandjoeddin merupakan “orang biasa” dengan pengaruh yang “tidak biasa” di masa Perang Kemerdekaan.
“Hanandjoeddin adalah representasi ‘orang biasa’ dalam sejarah Indonesia. Ia tak hanya representasi ketokohan yang berasal dari Belitung yang punya peran kunci dalam membangun kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan. Ia representasi dari para mekanik yang berpusat di Malang dalam proses perjuangan. Dalam konteks ini Belitung telah menyumbangkan anak negerinya sebagai satu dari sedikit figur yang berjuang secara intens di luar ruang tradisional dan primordialnya,” sebut Bambang.
Dari Belitung Kembali ke Belitung
Hanandjoeddin yang lahir di Tanjungtikar pada 5 Agustus 1910 merupakan buah hati pasangan Djoeddin dan Selamah. Berasal dari keluarga “urang darat” tak berada, Hanandjoeddin hanya bisa mengenyam pendidikan agama dan Sekolah Rakyat setelah dijadikan anak angkat Haji Hasyim, kenalan orangtuanya di Kampung Aik Sagak, Tanjungpandan.
Pada 1931, ia melanjutkan pendidikannya hingga ke Ambacht School/Cursus (AC, kini SMK Stannia) di Manggar. Ia mengambil jurusan praktik warturigkunde atau ilmu mesin.
AC di era 1930-an merupakan satu dari sedikit sekolah teknik yang dibangun Belanda di koloninya. Sekolah sejenis hanya ada di Batavia (kini Jakarta) dan Surabaya. AC Manggar didirikan pada 1928 untuk menciptakan tenaga kerja yang jadi kebutuhan pembangkit listrik tenaga diesel Electrische Centrale (EC) dan pertambangan timah NV Gemeenschappelijke Minjbouwmaatschappij (GMB).
Baca juga: Misi Flypass Hanandjoeddin Rayakan HUT RI
Di GMB inilah kemudian Hanandjoeddin berkarier sebagai montir mesin pertambangan. Ia kemudian pindah ke perusahaan tambang bauksit di Pulau Bintan, Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM), sebelum merantau ke Malang di zaman pendudukan Jepang.
“Pak Hanandjoeddin dapat dikategorikan sebagai tokoh yang terlibat dalam perang kemerdekaan setelah beliau mendapatkan pendidikan di Ambacht School di Manggar. Kemudian merantau ke Pulau Jawa di era kemerdekaan, terlibat dalam kegiatan militer dan pertempuran di berbagai wilayah. Pernah menjadi (kombatan) angkatan darat, pernah pula jadi (mekanik) angkatan udara hingga akhir kariernya sebagai militer,” sambung Yusril.
Menurut Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, keterampilan Hanandjoeddin dalam bidang teknik mesin membuatnya tetap bisa berkarier di zaman pendudukan Jepang. Di sinilah karier kemiliterannya bermula, ia bergabung menjadi montir pesawat di satuan Ozawa Butai yang berbasis di Pangkalan Udara Bugis (kini Lanud Abdulrahman Saleh), Malang.
Memasuki zaman kemerdekaan, Hanandjoeddin dipercaya sebagai kepala Bagian Teknik Tentara Keamanan Rakyat Oedara (TKRO) Lanud Bugis. Saat itu Lanud Bugis dan kesatuannya masih berada di bawah TKR Divisi VIII/Untung Surapati pimpinan Jenderal Mayor Imam Soedja’i.
Menyandang pangkat letnan satu (lettu), Hanandjoeddin dan anak buahnya tak hanya bertugas memperbaiki sekira 30 unit pesawat bekas Jepang namun juga ikut pendidikan tempur agar siap dikirim ke front Surabaya dan sekitarnya. Baru pada April 1946 seiring pergantian status kepemilikan lanud dari Divisi VIII ke TKR Djawatan Udara, Hanandjoeddin berganti pangkat menjadi Opsir Muda Udara (OMU) III.
Sebelum Agresi Militer I (Juli 1947), Hanandjoeddin dan anak buahnya jadi salah satu tulang punggung angkatan udara. Merekalah penyedia pesawat. Kesatuan angkatan udara dari Lanud Panasan (kini Lanud Adi Soemarmo) hingga Lanud Maguwo (kini Lanud Adisutjipto) mendapat banyak bantuan pesawat untuk para kadet dan penerbangnya dari Lanud Bugis.
“Bengkel Lanud Bugis di mana Hanandjoeddin bertugas merupakan pusat utama penyedia kebutuhan pesawat baik untuk operasi militer maupun untuk kemanusiaan, dan pelatihan bagi kepentingan republik. Para mekanik yang terampil walau dalam jumlah yang sangat terbatas, mampu mengkondisikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang yang sebelumnya sudah tak dapat lagi dipergunakan,” sambung Bambang.
Saat Agresi Militer II, Hanandjoeddin dan pasukannya terpaksa menyingkir. Mereka bergerilya sampai ke Malang Timur dan Trenggalek, di mana Hanandjoeddin memimpin Pasukan Pangkalan Udara (PPU) III/930. Usai revolusi kemerdekaan, Hanandjoeddin tetap mengabdi di Pasukan Pangkalan AURI. Tempat penugasannya berpindah-pindah, mulai dari Lanud Morokrembangan, Lanud Kalijati (Subang, Lanud Suryadarma), Lanud Husein Sastranegara (Bandung), Lanud Mandai (Makassar, Lanud Sultan Hasanudin), Lanud Palembang (Lanud Sri Mulyono Herlambang), hingga kembali ke Lanud Bugis sampai pensiun dengan pangkat mayor pada 1967. Ia lalu pulang kampung ke “Bumi Serumpun Sebalai”.
Kepulangan Hanandjoeddin dilatarbelakangi ketidakpuasan sejumlah tokoh Belitung pada kepemimpinan Bupati Wahab Adjis. Para tokoh itu lalu mengadu ke DPRD Gotong Royong Kabupaten Belitung agar mencari pengganti pemimpin dari kalangan putra daerah. Aspirasi mereka ditampung, Hanandjoeddin kemudian dipanggil.
“Pada 1965 kondisi ekonomi rakyat Belitong sedang terpuruk. Tidak banyak kemajuan pembangunan. Kondisi infrastruktur daerah banyak rusak. Sarana pendidikan masih minim. Kebutuhan pangan rakyat terutama stok beras di daerah sedang krisis,” tulis Haril M. Andersen dan Bambang Sutrisno dalam Memenuhi Panggilan Rakyat: Kiprah Kenangan Sosok Bupati H. AS. Hanandjoeddin.
Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Hanandjoeddin pun menjawab “panggilan” itu. Ia berkenan pensiun dari AURI untuk mengabdi di tanah kelahirannya. Ia terpilih sebagai bupati Belitung periode 1967-1972 secara aklamasi.
“Pengalaman dan nilai-nilai perjuangan tanpa kehilangan jati diri sebagai anak negeri Belitung yang melekat pada Hanandjoeddin, hadir sebagai prinsip dasar yang berkelanjutan ketika mengabdi sebagai bupati. Bertindak sebagai perintis di tengah segala keterbatasan yang dijalani dengan penuh pengorbanan semasa perjuangan di Malang dan sekitarnya, kembali berulang di Belitung,” tambah Bambang.
Baca juga: Kisah Marsekal dari Soreang
Menurut budayawan cum sejarawan Bangka-Belitung Dato’ Akhmad Elvian, Hanandjoeddin berhasil mengatasi sejumlah krisis dengan cara-cara yang merakyat. Itu patut dijadikan teladan yang masih relevan di masa sekarang, tak hanya buat para kepala daerah di Babel tapi juga seantero negeri.
“Satu nilai penting yang dapat dijadikan contoh dalam konteks nasional adalah bagaimana dia menjadi pemimpin yang merakyat. Itu masih sangat sedikit. Kalau pemimpin yang membangun pencitraan banyak. Pepatah Belanda kuno menyebut: ‘Leiden is Lijden,’ memimpin adalah menderita. Itu disandang oleh Hanandjoeddin,” ujar Elvian.
Sikap merakyat Hanandjoeddin itu, lanjut Elvian, bisa dilihat dari seringnya ia blusukan menemui para tokoh adat untuk menyerap aspirasi rakyat di pedalaman maupun di pesisir. Aktivitas itu lebih sering dilakoni Hanandjoeddin dengan berjalan kaki atau mengayuh sepeda ketimbang dengan mobil dinasnya. Hal itu membuatnya dijuluki “Pak Long” oleh masyarakat.
“Dia populer dengan istilah ‘Pak Long’. Artinya bapak yang sulung atau bapak tertua yang selalu menolong. Siapa yang ditolong? Ya rakyatnya,” sambung sosok yang juga menjabat ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Kota Pangkalpinang dan sekretaris DPRD Kota Pangkalpinang tersebut.
Baca juga: Sepakterjang Madmuin Hasibuan
Selain pergi ke kampung-kampung menemui tokoh adat, Hanandjoeddin juga sering jadi khatib Salat Jumat di perkampungan. Ia acapkali menginap di rumah rakyat saat blusukan untuk melihat langsung kondisi rakyatnya.
“Satu lagi ketika mengatasi krisis pangan, beliau tidak pinjam duit ke mana-mana. Beliau berupaya mengatasinya dengan kemampuan sendiri untuk memanfaatkan potensi lokal. Beliau menganjurkan pegawai-pegawainya untuk secara giat berladang untuk mengatasi krisis itu. Siapapun bisa jadi pemimpin kalau hanya menghabiskan uang APBD. Tapi bagaimana pemimpin itu mestinya menggali potensi lokal untuk diberdayakan sehingga masyarakat jadi kuat dan mandiri dan ini dicontohkan oleh beliau,” tandas Elvian.
Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan
Kiprah-kiprah Hanandjoeddin itulah yang mendorong masyarakat Babel mengajukan namanya menjadi pahlawan nasional dari Provinsi Babel. Inisiasi itu berangkat dari hasil wawancara langsung dengan Hanandjoeddin dan riset tentang kiprahnya oleh Haril pada 1994, setahun sebelum Hanandjoeddin wafat di Tanjungpandan pada 5 Februari 1995 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Ksatria Tumbang Ganti, Tanjungpandan.
“Dulu sebenarnya saya wawancara beliau untuk (artikel) di majalah SMB atau Suara Masyarakat Belitung di Jakarta. Saya mulanya enggak ada niat apa-apa, hanya ingin bangga punya pahlawan dari Belitung ini,” tutur Haril kepada Historia dalam kesempatan berbeda.
Pada saat bedah bukunya di Pangkalpinang pada 2 November 2015, salah seorang panelis, Toni Batubara (Ketua FKPPI Kabupaten Belitung), melontarkan gagasan perlunya pengusulan gelar pahlawan nasional. Haril pun mengkomunikasikannya dengan sejumlah organisasi guru hingga pemuda. Setelah mendapatkan SK Bupati Belitung Timur pada 23 Januari 2017, dibentuklah TP2GD Belitung Timur. Semua persyaratan lantas diserahkan kepada TP2GD Provinsi Babel.
Baca juga: Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir
Pada 2018, TP2GD kebetulan juga sedang memperjuangkan Depati Amir untuk jadi pahlawan nasional. Maka kedua nama pejuang tadi diajukan bersamaan ke Kementerian Sosial. Namun, hasilnya hanya Depati Amir yang diresmikan jadi pahlawan nasional dari Provinsi Babel. Pengusulan Hanandjoeddin ditunda dengan catatan.
“Ada dua catatan yang harus dilengkapi. Pertama, terkait dengan masa hidupnya mengisi kemerdekaan sebagai bupati Belitung. Karena pada waktu pengusulan 2018 belum sama sekali. Kedua, terkait dengan hal-hal yang sifatnya monumental yang diabadikan dengan menggunakan nama jalan, misalnya. Pada saat itu baru diabadikan jadi nama Bandara H. AS. Hanandjoeddin,” jelas Elvian.
Untuk mengabadikan nama Hanandjoeddin menjadi nama jalan, pemkab Belitung mengaku siap. Hanya saja, lokasinya masih dipilih. Sedangkan untuk naskah akademik tentang kiprah Hanandjoeddin sebagai bupati, pada September 2021 telah diterbitkan buku Memenuhi Panggilan Tugas yang disusun oleh Haril dan Bambang Sutrisno.
Baca juga: Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah
Dengan digelarnya seminar nasional, penerbitan biografi kedua, serta pengabadian nama Hanandjoeddin sebagai nama jalan, diharapkan bisa memenuhi semua persyaratan untuk mengajukan Hanandjoeddin sebagai pahlawan nasional tahun ini. Tim TP2GD Provinsi Babel mesti menyerahkan pengusulannya paling lambat 31 Maret 2022.
“Hanandjoeddin dalam ruang historiografi kepahlawanan di Indonesia ditandai oleh kehadirannya sebagai mekanik handal dan selalu terdepan dalam penyediaan pesawat bagi republik. Ia juga mampu mengimplementasikan pengalaman hidupnya sebagai pemimpin perintis tanpa pamrih ketika mendapat amanah sebagai bupati. Berdasarkan paradigma historiografi yang baru dapat disimpulkan, Hanandjoeddin sangat berhak merepresentasikan Belitung dalam ruang kepahlawanan Indonesia sekaligus merepresentasikan dirinya sendiri dalam ruang kepahlawanan nasional Indonesia sebagai manifestasi jiwa kebangsaan yang berkelanjutan,” tandas Bambang.
Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang Sendjaja
Tambahkan komentar
Belum ada komentar