Selayang Pandang Lanud Atang
Dari sarang pesawat serbu Belanda hingga rumah bagi heli-heli kebanggaan TNI.
PATAKA biru itu masih terpegang erat di tangan kirinya. Beberapa gompalan kecil tampak di “seragam” coverall oranyenya. Ia bergeming dalam sikap tegap meski rintik gerimis menaungi langit Semplak, Bogor siang itu.
Patung di dekat gerbang masuk Pangkalan Udara TNI AU Atang Sendjaja (Lanud ATS) itu menyimpan banyak cerita mewakili para pengawal dirgantara kebanggaan Indonesia. “Ini ikon kita dan kita menyebutnya Tugu Airman karena di TNI AU kita semua adalah Airman. Tugu atau monumen peringatan terhadap tugas dan bakti kita untuk negara,” kata Kepala Dinas Personel Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo kepada Historia.
Mengingat setiap hari diguyur hujan atau “ditembak” sinar matahari, sang Airman yang berdiri di atas dasar monumen persegi berbahan keramik itu tampak lusuh. Di empat sisi bagian dasar situs bernama resmi Monumen Perjuangan Satuan Helikopter TNI-AU itu juga tertera banyak cerita.
“Memang kita sudah rencanakan untuk dipugar. Tugu Airman ini sudah ada sejak sekitar 1973. Tahun 1994, seperti yang dilihat di bagian ini, sempat diperbaiki,” lanjut Letkol Sigit saat menunjukkan keterangan sisi belakang.
Di tiga sisi lainnya, tertera mars kesatuan, doa para senior, serta operasi-operasi yang pernah melibatkan TNI AU, mulai dari Operasi Perebutan Irian Barat hingga Operasi Patok Kaltim. Situs inilah yang jarang diketahui awam lantaran lebih populer sebagai “Monumen Heli Codot”.
“Heli Codot” yang dimaksud adalah Helikopter Sikorsky CH-34/S-58 yang pada September 2017 bertengger menggantikan Helikopter PZL SM-1. Pun begitu, dua situs itu bukan yang tertua atau peninggalan sejak pertamakali lanud ini dibangun di zaman Belanda.
“Satu-satunya bangunan tua dan masih asli di Lanud ini adalah hanggar lengkung itu. Hanggar itu sudah ada sejak zaman Jepang (1942). Terlihat bedanya dari yang lain, satu-satunya hanggar berbentuk lengkung di sini. Masih dipakai untuk hanggar perbaikan heli,” tutur Letkol Sigit sambil menunjukkan hanggar yang dimaksud, berada di lingkungan Skadron Teknik (Skatek) 024.
Basis Pertahanan Udara Belanda
Sebelum menyandang nama Lanud Atang Sendjaja pada 1966, pangkalan ini hanya disebut Lanud Semplak. Dibangun pemerintah kolonial pada medio April 1931, lanud ini dibuat untuk keperluan basis ML-KNIL atau Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
“Pada awal April, pembangunan area landasan udara di Semplak akan dimulai oleh kesatuan Zeni yang lokasinya berjarak 8 km dari Buitenzorg (kini Bogor, red.). Lokasinya berupa persawahan dan akan diratakan setelah panen padi. Lanud itu tidak hanya cocok untuk pesawat-pesawat militer tapi juga pesawat besar KLM dengan dimensi (landasan pacu) 159x600 meter,” sebut suratkabar De Telegraaf, 12 Maret 1931.
Baca juga: Kisah Marsekal dari Soreang
Semasa Perang Dunia II, Lanud Semplak jadi salah satu basis terpenting pertahanan udara sekutu di Pulau Jawa dalam menghadapi invasi Jepang. Tidak hanya selusin pesawat Brewster B-339 dari Vliegtuig Groep-5 (VLG-5/Skadron 5) Belanda yang bermarkas di Lanud Semplak namun juga 24 pesawat Lockheed Hudson dari Skadron 1 AU Australia.
Mengutip P.C. Boer dalam The Loss of Java, Lanud Semplak direbut Jepang setelah sehari pertempuran udara pada 23 Februari 1942. “Sekitar pukul 11.30 dan 11.50, pesawat-pesawat Jepang menyerang Semplak dan Kemayoran dengan total 14 pesawat Ki-43 dari Skadron 59 dan 64 serta enam pesawat pembom Ki-48 yang berbasis di Palembang. Serangannya dilakukan saat cuaca buruk sehingga tak terdeteksi sama sekali,” ungkap Boer.
Kembali ke Tangan Republik
Tidak banyak catatan mengenai Lanud Semplak di zaman Jepang lantaran memang tak menjadi pusat kekuatan udaranya di masa Perang Pasifik. Terlebih, Bogor kala itu lebih dipusatkan menjadi tempat pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA).
Baru setelah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mengutip T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja 1950-2003, Lanud Semplak jadi salah satu “aset” TKR Divisi I (Bogor dan Banten).
Hal itu membuat Lanud Semplak jadi sasaran penting pasukan Belanda. Per Juli 1947 usai melancarkan Agresi pertama, tulis WJAM de Kock dalam Commando Luchtvaarttroepen (LVT): Nederlands-Indië 1947-1950, Lanud Semplak dikuasai Belanda bersamaan jatuhnya Jawa Barat. Pasca-Agresi Militer II, Desember 1948, kawasan lanud dijadikan markas dan asrama dua peleton LVT atau pasukan komando AU Belanda dengan tugas operasi penghalauan gerilyawan republik di Gunung Salak.
Baca juga: Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Lanud Semplak baru murni milik Ibu Pertiwi pada 1950 pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana semua pangkalan militer yang sebelumnya diduduki Belanda diserahkan ke Indonesia. “Khusus Lanud Semplak pada 20 Maret 1950 Belanda turut menyerahkan pesawat-pesawatnya dari jenis Auster Mark (III) dari Skadron 6 AU Belanda untuk dioperasikan AURI (kini TNI AU),” sambung Djohan Basyar.
Setelah itu, lewat Pengumuman Kasau (Kepala Staf Angkatan Udara) bernomor 28/11/P/KS/51 tertanggal 21 Maret 1951 Lanud Semplak dijadikan markas Skadron Udara 4 –satuan AURI pertama di lanud tersebut degan tugas-tugas pengintaian dan perbantuan titik tembakan artileri Angkatan Darat. Kapten Udara Suhodo didapuk jadi komandan skadron pertamanya, sementara Letnan Udara I Dhumay Agam menjabat Danlanud pertamanya.
Skadron 4 hanya berkiprah di Semplak sampai 1958. Sejak Maret 1963, PAU Semplak jadi markas baru Skadron 6. Skadron yang sebelumnya bernama Skadron Percobaan Helikopter ini sejak 1956 bermarkas di Lanud Andir (kini Lanud Husein Sastranegara). Seiring kedatangan banyak helikopter AURI dari Uni Soviet, Polandia, hingga Amerika Serikat pada 1958, nama Skadron Percobaan Helikopter diganti menjadi Skadron 6 pada 1961.
PAU Semplak dalam perjalanannya tidak hanya jadi rumah Skadron 6, namun juga Skadron Teknik (Skatek) 6 dan Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan. Menggemuknya unit-unit di PAU Semplak menuntut diadakannya satuan induk baru. Lahirlah Wing Operasi 004/Helikopter pimpinan Letkol Udara Suwoto Sukendar yang diresmikan Kasau Laksdya Udara Omar Dhani pada 25 Mei 1965.
Wingops 004 juga membawahi Skadron 7 yang mengoperasikan heli-heli ringan macam Bell-47 hingga SM-1. Semua unit ditopang Skatek 6 yang pada 1966 berubah menjadi Skatek 024. Sementara, Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan diubah menjadi Skadron 8. Satuan ini mewadahi lusinan heli angkut berat Mil Mi-6. (Alutsista yang punya akhir tragis laikya KRI Irian milik ALRI ini akan dikisahkan di tulisan berikutnya).
Dalam perjalannnya, Wingops 004/Helikopter pernah dibekukan lewat Instruksi Kasau, Ins/03/III/1985 tertanggal 12 Maret 1985, seiring reorganisasi TNI AU. Satuan-satuan di dalamnya: Skadron 6, 7, dan 8 hanya dijadikan pelaksana operasi PAU yang kala itu sudah bertatus lanud tipe B. Pada 29 Februari 2000, Wingops 004 diaktifkan lagi dengan nama Wing 4 di bawah Komando Operasi I TNI AU. Bersamaan dengannya, Lanud ATS juga naik kelas menjadi lanud tipe A.
Nama Atang Sendjaja sendiri resmi disandang pada 29 Juli 1966 ketika AURI mengganti nama PAU Semplak menjadi PAU Atang Sendjaja. Pemilihan nama Atang dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Letkol (Anumerta) Atang Sendjaja yang meninggal saat membawa konvoi heli Mi-6 dari Tanjung Priok ke Lanud Halim Perdanakusuma.
Baca juga: Pemburu dari Masa Lalu
“Lanud ATS ini siklusnya sangat dinamis. Tidak hanya untuk perbantuan SAR dan bencana alam. Lanud ATS jadi satu-satunya lanud yang wilayah tugasnya punya dua objek vital nasional untuk diamankan. Satunya Istana Bogor dan satu lagi Istana Cipanas,” tandas Letkol (Pnb) Sigit.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar