Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir
Sosok perintis simpati kemerdekaan Indonesia di Mesir. Sempat gebrak meja saat menentukan arah dan dasar negara.
MASYARAKAT Yogyakarta mendapat kehormatan besar. Dua dari tokohnya tahun ini ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan nasional lewat Keppres 120/TK/Tahun 2019, 8 November 2019. Dr. M. Sardjito dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, kedua tokoh yang dijadikan pahlawan itu, masing-masing diusulkan oleh Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Muhammadiyah.
KH Mudzakkir jadi satu dari tiga anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang ditetapkan sebagai pahlawan tahun ini. Selain Mudzakkir, ada AA Maramis dari Sulawesi Utara dan KH. Masjkur dari Jawa Timur.
Mengutip situs UII, nama Mudzakkir, salah satu penggagas Piagam Jakarta, sudah empat kali diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 2014. Namun, selalu kandas.
Cendekiawan Muhammadiyah itu lebih banyak berkiprah membangun pendidikan di Yogyakarta selepas proklamasi. Kiprahnya selain menjadi rektor pertama UII (1948-1960), ialah mendirikan Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta (kini Fakultas Agama Islam UMY) dan mendirikan Universitas Aisyiyah, sebagai perwujudan dari gagasan kaum perempuan berpendidikan tinggi.
Gerilya Mudzakkir di Kairo
Lahir di Gunungkidul, Yogyakarta, 16 April 1907, Mudzakkir kecil tumbuh di Kotagede. Menukil Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan karya Tashadi, Mudzakkir lahir dari keluarga terpandang.
Ayahnya, H. Moezakkir (EYD: Mudzakkir), seorang pedagang keturunan Kiai Hasan Bashori. “(Kiai Bashori) guru agama dan pemimpin Tarikat Shattariyah. Salah satu komandan gerilya kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro,” sebut Tashadi. Sementara dari silsilah ibunya, Chotijah binti H. Mukmin, yang juga seorang saudagar kaya, mengalir garis keturunan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah.
Latarbelakang itu membuat Mudzakkir mengenyam pendidikan di lingkungan Muhammadiyah sejak kecil, sejak sekolah dasar hingga tingkat lanjutan di Madrasah Mambaul Ulum, Solo.
Sebagaimana para pendahulunya di Muhammadiyah, Mudzakkir juga melanglang buana sampai ke Arab Saudi dan Mesir untuk mengejar pendidikan agamanya. Ia disponsori KH. Ahmad Dahlan.
Sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, sejak 1925 Mudzakkir turut dalam organisasi pergerakan Jamaah Pelajar Indonesia. Kemudian bersama H.M. Rasjidi (menteri agama di Kabinet Sjahrir I), Mudzakkir mendirikan Jamiah Choiriyah yang lantas berubah nama jadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom), organisasi yang diakui pemerintah Mesir.
“Mulai 1930 aktif memperkenalkan kepada dunia Timur Tengah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia turut mewakili atas nama umat Islam Indonesia dalam Kongres Islam se-Dunia di Baitul Maqdis (Palestina). Diangkat jadi Sekretaris Kongres di bawah ketua kongres Mufti Besar Palestina Sayid Amin al-Husaini. Dalam kongres itu A. Kahar Mudzakkir sebagai anggota termuda,” kata Tashadi.
Mudzakkir juga “bergerilya” mengkampanyekan Indonesia lewat jurnalistik. Selain via Suara Azhar dan Pilihan Timur, dua majalah yang diraciknya bersama rekan-rekan di Perpindom, Mudzakkir menyuarakannya di suratkabar Palestina Al-Tsaurah. Bersama beberapa rekannya di Perhimpunan Indonesia Raya, Mudzakkir lalu mendirikan kantor berita Indonesia Raya sebagai corong pergerakan.
“Periode 1930-an di Kairo dan Timur Tengah, orang-orang mengenal dan bersimpati kepada Indonesia karena aktivitas Abdul Kahar, sehingga ia merupakan personifikasi Indonesia di Timur Tengah. Sebelum ada orang yang menjadi duta, Abdul Kahar sudah menjalankan tugas duta yang sebaik-baiknya,” kenang H.M. Rasjidi terkait sosok Mudzakkir, dikutip Tashadi.
Gebrak Meja Rapat Pendiri Bangsa
Setelah lulus dari Al-Azhar, pada 1938 Mudzakkir pulang ke tanah air. Implementasi idealismenya dilaksanakannya dengan ikut menggerakkan roda Muhammadiyah, organisasi Islam yang disegani hingga masa pendudukan Jepang yang dimulai tahun 1942.
Sejarawan Mitsuo Nakamura menuliskan dalam Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, berturut-turut Mudzakkir aktif di Kooti Zimu Kyoku Yogyra (Jawatan Ekonomi Pemerintah Militer Jepang di Yogya), Jawatan Radio Militer, hinggaa menjadi wakil kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta.
Namun, jabatan-jabatan itu bukanlah tujuan dari perjuangan Mudzakkir. “Jabatan-jabatan itu jadi puncak keterlibatannya dalam lingkar tertinggi politik nasional selama pendudukan Jepang dan fase-fase awal dalam politik pascaperang. Bisa saja dia bertahan dalam lingkaran politik, namun tidak dia lakukan. Dia mendarmabaktikan dirinya kepada organisasi (Muhammadiyah) dan perkembangan pendidikan Islam,” sebut Nakamura.
Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, Mudzakkir terlibat dalam memformulasikan bentuk negara lewat BPUPKI. Bersama tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahid Hasyim, ia lantang menyuarakan Islam sebagai dasar negara lewat Piagam Jakarta.
Baca juga: Bangsawan Aceh dan Piagam Jakarta
Sepanjang rapat BPUPKI 10-17 Juli 1945, Mudzakkir bersama golongan Islam terlibat debat sengit dengan kaum nasionalis. Rapat akhirnya memutuskan membentuk tim kecil, Panitia Sembilan. Bersama H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Mudzakkir termasuk di dalam tim itu sebagai perwakilan Islam. Sementara golongan nasionalisnya berisi Sukarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin.
Panitia itu melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang dianggap sebagai kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. “Setuju 200%,” ujar Maramis merespon persetujuan yang dicapai, yang juga dilantangkan Mudzakkir dkk. sebagaimana dikutip Herry Mohammad dalam Tokoh-Tokoh Islam yang Beprengaruh Abad 20.
Kendati sudah disepakati, gagasan-gagasan Islam dalam Piagam Jakarta perlahan luntur kala BPUPKI digantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pembukaan UUD 1945 disunat, Piagam Jakarta juga dihapuskan.
Penyunatan preambul itu bermula dari didatanginya Hatta oleh seorang perwira Kaigun (angkatan laut Jepang). Perwira itu membawa amanat dari beberapa pemimpin kaum Nasrani di Indonesia Timur dan menyatakan bahwa mereka menolak ikut dalam RI jika Piagam Jakarta ditetapkan secara konstitusi.
Mengingat pentingnya masalah itu, Hatta lalu mencarikan solusinya bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan sesaat sebelum Sidang PPKI 18 Agustus.
Baca juga: Buku Terbuka Bernama Kasman Singodimedjo
“Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke-Tuhanan Yang Maha Esa’,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, Jilid 3.
Golongan Islam, termasuk Mudzakkir, akhirnya legowo menerima perubahan itu. “Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan suara bulat,” sambung Hatta.
Emosi Mudzakkir sempat memuncak kala pembahasan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Ia menganggap gagasan-gagasan Islam lebih baik tak dimasukkan ke dalam UUD lantaran Piagam Jakarta sudah “digugurkan”.
“Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar, yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu!” seru Mudzakkir sambil menggebrak meja dalam rapat,” dikutip Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
Tak lama setelah itu, situasi berganti dengan kembalinya Belanda merongrong kemerdekaan RI. Mudzakkir turut angkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan. “Di masa ini ia pernah jadi pemimpin perang sabil dan mengadakan gerilya. Medan gerilya Abdul Kahar Mudzakkir pada masa Agresi II itu antara lain di daerah Brosot, Jejeran, Bantul Selatan,” sambung Tashadi. Mudzakkir dan pasukannya baru masuk kota Yogya lagi seiring momen “Yogya Kembali”, 29 Juni 1949.
Setelah pengakuan kedaulatan, Mudzakkir melanjutkan perjuangannya lewat dunia pendidikan. Pengabdian itu dijalaninya hingga tutup usia karena serangan jantung di umur 66 tahun, 2 Desember 1973. Mudzakkir dimakamkan di Pemakaman Boharen Purbayan, Kotagede.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar