Dono dan Karikatur-karikaturnya
Bakat Dono yang tak banyak diketahui. Karikatur-karikaturnya mengkritisi situasi politik, ekonomi, sosial, bahkan militer.
Sebuah undangan tiba di rumah Titi Kusumawardhani, istri Wahyu Sardono atau Dono Warkop. Isinya meminta Titi menjadi pembicara di sebuah acara. Dia diharapkan tampil bersama sejumlah karikaturis. Karuan dia terkejut membaca undangan itu. Sebab dia tak paham karikatur. Mengapa dirinya diminta jadi pembicara?
Titi kemudian tahu sesuatu. Undangan itu ternyata untuk Dono. Suaminya beberapa kali menggunakan nama panggilan dan alamat Titi ketika mengirimkan gambar-gambarnya ke sejumlah media cetak pada 1970-an.
“Tidak sedikit karya karikatur beliau dan beberapa karyanya (kartun, red.) yang tidak mau menggunakan nama aslinya, melainkan menggunakan nama panggil Ibu saya,” kata Andika Aria Sena, putra pertama Dono kepada historia.id.
Dono selama ini tenar dan besar sebagai komedian. Ini membuat aktivitasnya di jagad ilustrasi kurang mencuat. Padahal gambar-gambarnya cukup sering muncul di media cetak lokal dan nasional. Bahkan sebelum dia menjajal dunia lawak.
Baca juga: Jodoh Dono Ditunjukkan Jailangkung
“Yang saya ingat, sejak SMP, Mas Dono sudah suka membuat karikatur. Waktu itu karyanya ditampilkan di majalah dinding sekolah,” kata Rani Toersilaningsih, adik kedua Dono kepada historia.id. Dono menempuh masa SMP di Klaten, Jawa Tengah, pada pertengahan 1960-an.
Rani mengatakan, Dono kemungkinan belajar menggambar secara otodidak. Tapi bisa juga kemampuannya menurun dari kebiasaan ibunya. “Mungkin mengikuti ibu. Ibu saya memang suka menggambar, terutama gambar pola batik di kain. Dia gemar membuat corak batik kreasi sendiri,” kata Rani.
Ciri Khas Karikatur Dono
Dono meneruskan pendidikan ke SMA di Surakarta. Di sini, Dono menggunakan kemampuan menggambar untuk memperoleh uang. Dia mengirimkan gambar-gambarnya ke surat kabar lokal bernama Andhika. Sekarang surat kabar ini sudah almarhum dan peninggalannya belum terlacak.
Gambar karya Dono di Andhika belum berbentuk jelas. Tapi dia mengaku memperoleh cukup uang setelah mengirimkan gambarnya ke Andhika. “Satu karikatur yang ku buat meski tak jelas wujudnya, dihargai Rp2000. Bagi anak sekolah, jumlah itu terbilang lumayan,” kata Dono dalam Nova, 21 Juni 1992.
Baca juga: Kelucuan Dono di Luar Film
Menjelang lulus SMA pada 1971, Dono bekerja sebagai ilustrator lepas di El Bahar, salah satu koran nasional milik Angkatan Laut. Nama Dono tak tercantum dalam kolom redaksi El Bahar. Tapi beberapa gambar di El Bahar memuat tanda tangan bertulis Dhono.
El Bahar terbit di Jakarta setiap hari dan sering mengangkat tema politik nasional sebagai kepala utama beritanya (headlines). El Bahar juga menyediakan ruang di halaman pertama untuk gambar berbentuk karikatur.
Menurut G.M. Sudharta, karikaturis sohor Indonesia, ada perbedaan antara gambar karikatur dan kartun. “Ada kebiasaan kita untuk menyebut kartun sindiran politik yang dimuat di surat kabar sebagai karikatur dan menyebut kartun saja untuk kartun humor semata,” tulis Sudharta dalam “Kartun Bukan Hanya Sekedar Berhaha-Hihi!” termuat di Kompas, 3 Mei 1981.
Jaya Suprana, seorang humorolog alias ahli ilmu humor, berpendapat mirip dengan G.M. Sudharta. Bagi dia, kartun lebih bertujuan melucu dan punya unsur berkisah yang kuat. Ciri ini menjadi pembeda antara kartun dan karikatur.
Meski sama-sama memiliki unsur lucu, karikatur lebih bertujuan menyindir kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Perbedaan lainnya, “Karikatur tidak langsung bergumul dengan unsur kisah,” terang Jaya dalam “Kartun dan Karikatur Jangan Disamakan” termuat di Kompas, 29 Juni 1986. Singkatnya, karikatur mirip sebuah parodi dalam seni pertunjukan.
Di El Bahar, gambar karya Dono terlihat memiliki sifat-sifat karikatur daripada kartun. Ada sindiran terhadap situasi politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. Ini terlihat dalam karikatur edisi 27 April 1971.
Dono menggambarkan 10 kontestan Pemilu 1971 dalam bentuk 10 lelaki. Wajah dan setelan pakaian mereka beragam. Lelaki Golongan Karya (Golkar) kelihatan paling makmur dengan setelan jas dan sepatu pantofel. Dia berjalan paling depan, memimpin 9 orang di belakangnya. Sementara itu lelaki Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) berada paling belakang.
Baca juga: Rahasia Masa Mahasiswa Kasino
Masing-masing kontestan, kecuali Golkar dan PSII, membawa sekantong uang bersimbol “Rp”. Karikatur ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam cara dan muatan berkampanye antarkontestan.
Didukung fasilitas, propaganda, dan keistimewaan dari pemerintah, cara dan muatan kampanye Golkar terlihat sesuai dengan aturan pemerintah. Sedangkan cara dan muatan kampanye PSII jauh dari harapan pemerintah.
PSII tak mau menggunakan uang bantuan dari pemerintah untuk setiap kontestan Pemilu 1971 selama mengikuti kampanye. Mereka memilih menyalurkan dana bantuan itu kepada rakyat.
Baca juga: Kasino Sebelum Gabung Warkop
Dalam karikatur ini, Dono memperlihatkan sejumlah karakteristik gambarnya. Dia menggambar gigi tokoh-tokohnya dengan bentuk tonggos, besar, dan tak beraturan. Hidung tokoh-tokoh itu juga tampak bulat besar.
Ini menjadi pembeda paling jelas karikatur karya Dono dengan karikatur lainnya di El Bahar. Sebab tak semua karikatur karya Dono di El Bahar mempunyai tanda atau inisial pembuatnya.
Penelusuran Historia.id mencatat ada 19 karikatur karya Dono di El Bahar dalam rentang April–September 1971. Temanya menjembar dari cita-cita Kartini, Pemilu 1971, kewajiban pemotor roda dua memakai helm, sampai kemunculan tempat hiburan malam baru di Jakarta seperti kelab malam, bar, dan pub.
Ekspresif dan Berani
Selepas dari El Bahar, Dono bergabung ke Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba pada Februari 1976. Salemba koran mahasiswa di bawah naungan Universitas Indonesia (UI). Ia terbit dari dalam kampus UI, tapi menjangkau lebih banyak pembaca di luar kampus.
“Animo masyarakat kepada Salemba tinggi. Bayangkan, koran mahasiswa bisa dibeli orang umum,” kata Zulkarimen Nasution, mantan Pemimpin Redaksi Salemba kepada Historia.id.
Semua awak Salemba terdiri dari mahasiswa UI, termasuk Dono sebagai mahasiswa jurusan sosiologi. Meski berada di bawah kampus, cara kerja redaksi, susunan keredaksian, isi, dan pemilihan tema liputan bersifat independen.
Baca juga: Dono Mahasiswa Kritis
Salemba bersikap kritis terhadap perilaku menyeleweng lingkaran pejabat pemerintah dan kebijakan sewenang-wenang petugas militer. Sikap ini turut menjiwai karikatur-karikatur karya Dono di Salemba.
Nama Dono belum terpampang dalam kolom keredaksian edisi perdana Salemba, 14 Januari 1976. Tapi dua karikaturnya telah muncul secara gamblang dalam edisi perdana. Dia menggunakan inisial Don. Karikaturnya mengangkat perkara perploncoan mahasiswa dan kenangan pada Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) 1966.
Dalam edisi kedua, Februari 1976, nama Dono sudah tercatat di kolom keredaksian sebagai staf artistik. Karikatur karya Dono di edisi Salemba berikutnya sangat berani menyerang lingkaran pejabat pemerintah dan kebijakan militer.
“Menurut saya, karya-karya karikaturnya di Salemba itu ekspresif. Goresan-goresan dia itu satir,” ungkap Zulkarimen.
Ini terlihat dalam karikatur tentang perilaku istri pejabat di edisi 15 Oktober 1976; tentang penindasan hak demokrasi oleh militer, kecurangan Pemilu 1971, dan tumpukan utang luar negeri di edisi 15 Januari 1977; dan tentang alternatif presiden selain Soeharto di edisi 7 Desember 1977.
Baca juga: Dono dan Novel-novelnya
“Sering kali pemberitaan atau karikatur Salemba yang dibuat oleh Wahyoe Sardhono (Dono Warkop) dinilai terlalu kritis,” catat Antony Zeidra Abidin, mantan Pemimpin Redaksi Salemba, dalam “Tanpa Mahar Salemba Tak Akan Ada” termuat di Mahar Pejuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang.
Akibat pilihan sikap itu, Salemba harus membayar mahal. Pemerintah membreidel mereka dua kali. Pada pembreidelan pertama, Februari 1978, Salemba masih bisa melawan, bangkit, dan hidup lagi. Tapi pada pembreidelan kedua, 6 Mei 1980, mereka benar-benar terkubur. Tapi ini tak berarti karikatur karya Dono ikut masuk kuburan.
Meninggalkan Karikatur
Memasuki dekade 1980-an, Dono membuat karikatur untuk majalah Vista. Di sini dia mengangkat masalah dan isu hangat di dunia film dan musik seperti pembajakan karya seni, pose telanjang, snobisme (ikut-ikutan tren), dan kegandrungan masyarakat pada film Unyil.
Dono mulai jarang membuat karikatur untuk media massa memasuki 1990-an. Masa ini Dono lebih sering menulis artikel dan novel.
“Aku ingin merealisasikan konsep berkesenianku. Bahwasanya berkesenian haruslah membuat penikmatnya menjadi lebih arif… Semua itu kucoba-tuangkan dalam bentuk tulisan,” kata Dono dalam Nova, 5 Juli 1992.
Baca juga: Dono dan Artikel-Artikelnya
Semasa hidup, Dono tak sempat mengumpulkan atau membukukan karikaturnya. Keluarganya pun kesulitan melacak jejak dan sebaran karikaturnya. “Ada beberapa di rumah tapi kondisinya sudah rusak,” kata Andika.
Mengacu pada banyaknya temuan terkini karikatur karya Dono, orang sepertinya mulai dapat menimbang untuk memasukkan namanya dalam senarai karikaturis Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar