Dono Mahasiswa Kritis
Semasa mahasiswa di UI, Dono jadi asisten dosen. Aktif di pers kampus, kritis pada Orde Baru sampai ayahnya didatangi intel.
Anda mungkin masih ingat sepotong adegan film Warkop berjudul Dongkrak Antik produksi tahun 1982 berikut ini. Seorang lelaki paruh baya duduk di trotoar dekat kali. Dia mengenakan setelan serba hitam dan gelap: payung, kacamata, topi fedora, dan jas hujan. Sambil merapal mantra, dia melempar mangga ke segala arah.
Semua laku itu syarat dari dukun agar dia memperoleh jodoh dambaannya. Bukannya meraih jodoh, lelaki itu justru beroleh kesialan. Lemparan mangganya menyasar ke seorang pencari rongsokan. Karuan si pencari rongsokan marah dan ingin menghajarnya. Lelaki itu kabur. Kamera beralih ke adegan Dono, Kasino, dan Indro tertawa melihat itu.
Lelaki itu bernama Paulus (diperankan oleh Pietrajaya Burnama), bos perusahaan pariwisata tempat Dono, Kasino, dan Indro bekerja. Dia berpendidikan tinggi, tapi percaya dukun. Nama Paulus diambil dari nama sahabat Dono di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Paulus Wirutomo, sekarang menjadi guru besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
“Kurang ajar dia itu. Hahaha. Salah satu tokoh di film itu, yang jadi bos, yang selalu diledek-ledek, namanya Paulus... Yang kayak gitu itu caranya kalau meledek orang.Aku sama istri ketawa nontonnya. Bukannya marah, jadi ketawa kami,” kenang Paulus Wirutomo kepada Historia.id.
Paulus bersua dengan Wahyu Sardono atau Dono kali pertama di kampus UI Rawamangun, Jakarta, pada 1971. Mereka beda satu angkatan. Paulus angkatan 1970, Dono masuk 1971.
Mengelola Majalah Independen
Rani Toersilaningsih, adik Dono yang sekarang menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi UI, menuturkan alasan Dono memilih masuk jurusan sosiologi. “Dia memang sedari awal memilih itu. Dia memang suka mengamati orang, lingkungan, dan sebagainya. Dia suka bikin tulisan tentangnya. Itu dari hasil pengamatan dia terhadap orang-orang yang dia temui,” kata Rani kepada Historia.id.
Ayah Dono sebenarnya lebih ingin melihat anaknya masuk ke jurusan politik. “Tapi Mas Dono nggak mau,” kata Rani. Meski keinginannya tak dituruti, ayah Dono tetap mendukung pilihan putranya. “Tapi Ayah mewanti-wanti Mas Dono harus konsisten di jurusan yang dipilihnya,” kenang Rani.
Baca juga: Dono dan Novel-novelnya
Dono kemudian berteman dengan beberapa orang di jurusan sosiologi. Salah satunya Paulus. Keduanya sama-sama berasal dari desa. Mereka lahir di Sala. Tapi Paulus besar di Malang, Jawa Timur, sedangkan Dono di Delanggu, Jawa Tengah.
Saat itu kontras anak daerah dan anak Jakarta cukup kuat di UI. Anak daerah datang dengan segala kesederhanaannya. Anak Jakarta tampil dengan gaya gedongan. Orang tua anak-anak daerah bekerja sebagai petani atau nelayan, sedangkan orang tua anak Jakarta menjabat menteri, duta besar, bos minyak, dan sejenisnya.
Paulus dan Dono cepat akrab. “Setiap anak daerah datang masuk UI, jadi dekat, karena merasa senasib,” kata Paulus. Mereka juga enggan kalah beraktivitas dari anak Jakarta.
Semasa kuliah, Paulus dan Dono mendirikan majalah mahasiswa independen. Tak terikat dengan birokrasi kampus. Dananya dari kantong sendiri. Tapi keduanya tak bergabung dalam satu majalah.
Bagi Paulus dan Dono, membuat penerbitan independen jadi prestasi tersendiri. Sebab saat itu belum banyak penerbitan mahasiswa sejenis. Kalaupun ada penerbitan mahasiswa, biasanya terikat dengan struktur kampus.
Kompas, 10 Februari 1975, memuat sejumlah penerbitan mahasiswa di beberapa fakultas. Antara lain Tifa Sastra, Corat-Coret, IKA di sastra; Psyche di psikologi; Justisia dan Djurnal Hukum di hukum; Lintang 0 di matematika dan ilmu pengetahuan alam; Technica di teknik; Aesculapius di kedokteran; Denta di kedokteran gigi; dan Economica di ekonomi.
Baca juga: Dono dan Artikel-Artikelnya
Paulus aktif sebagai penulis di Vox, sedangkan Dono bergabung sebagai staf artistik di Tema. “Dono itu gambarnya keren banget. Termasuk menggambar karikatur,” kata Paulus.
Dua majalah itu kerap mengkritik senat mahasiswa. “Sebab senatnya itu kebanyakan tidak independen. Isinya kalau nggak HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), ya GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Kami anak-anak independen. Nggak terkait dengan agama atau ideologi tertentu,” kata Paulus.
Kritik dari Vox dan Tema cukup ampuh membentuk opini mahasiswa. Rezim HMI dan GMNI pun tumbang dalam suatu pemilihan ketua senat. Mahasiswa non-partisan kini memegang senat mahasiswa. Mereka mengajak Vox dan Tema agar melebur dalam satu majalah bernama Pro-Humanica. “Jadi kami semua ikut aktif di situ,” kata Paulus. Yang aktif termasuk pula Dono.
Dipercaya sebagai Asisten Dosen
Memasuki tahun kelima jadi mahasiswa, Dono diangkat sebagai asisten dosen Prof. Selo Soemardjan, guru besar sosiologi UI. “Ketika itu asisten Prof. Selo cuma dua. Saya duluan, setelah itu Dono masuk. Banggalah kami. Apalagi kami berasal dari daerah,” kata Paulus.
Paulus dan Dono kebagian tugas mengajar sejumlah kuliah umum dan kuliah kelompok. Kuliah umum biasanya untuk mahasiswa baru. Berisi konsep-konsep dasar sosiologi, mata kuliah ini langsung diberikan oleh Prof. Selo. Sedangkan untuk kuliah kelompok, asisten dosen yang menangani.
Baca juga: Jodoh Dono Ditunjukkan Jailangkung
Tapi ketika Prof. Selo berhalangan hadir dalam kuliah umum, asistennya akan menggantikan. Prof Selo tak sembarang memberikan kesempatan mengajar kepada mahasiswanya. “Kalau tidak pintar, nggak mungkin kami diberi kepercayaan mengajar,” terang Paulus.
Menjadi asisten dosen kian mendekatkan hubungan Paulus dan Dono. Mereka juga mulai berkenalan dengan mahasiswa dari beragam latar belakang. Dari sinilah pergaulan mereka ikut meluas.
Dono kemudian aktif di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI, mendaki gunung, mengecup alam, dan mendekat ke Rudy Badil, Kasino serta Nanu. Kelak mereka membangun grup lawak Warkop Prambors (Warung Kopi Prambanan Mendut Borobudur dan Sekitarnya-beberapa nama jalan di Menteng, Jakarta, red.) bersama Indro.
Didatangi Intel
Selain mengakrabi alam dan gunung, Dono tetap menggeluti dunia jurnalistik. Dia bergabung dalam koran resmi kampus UI bernama Salemba pada 1976. Lisan Sulaiman dalam Suara Kritis Dari Salemba, menyebut kemunculan koran ini tak lepas dari rentetan pembungkaman pers besar selepas Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974.
Kehadiran Salemba mengisi ruang kosong pers pemantau kekuasaan. “Koran mahasiswa yang berani mengangkat suara-suara kritis mahasiswa dan berbagai kalangan elemen masyarakat Indonesia dari ‘ruang hampa’ di tengah rezim Orde Baru yang otoritarian,” catat Lisan.
Baca juga: Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru
Melalui koran ini, Dono menyerang sejumlah kebijakan rezim Orde Baru yang korup dan menindas kebebasan berpendapat. Dalam edisi 15 Oktober 1976, dia membuat karikatur seorang perempuan bersanggul yang mirip Ibu Tien. Perempuan bersanggul itu menggendong anak yang dua kakinya terkekang rantai. Si perempuan menyusui bayi itu dengan peluru kendali.
Dalam Salemba, 15 Januari 1977, Dono menggambar karikatur sepatu lars militer yang menginjak sejumlah orang. Sepatu lars itu bertuliskan “Stabilitas Nasional”. Padahal saat itu militer tengah garang-garangnya kepada kelompok mahasiswa.
Akibat sikap kritis Dono, rumah Dono di Delanggu sempat disambangi intel. Ayahnya mengetahui ini dan membela pilihan sikap Dono. “Saya juga polisi, saya dulu juga intel. Dan saya yakin anak saya tidak akan makar. Dia hanya menyuarakan kebenaran,” kata ayah Dono seperti dituturkan Rani.
Baca juga: Warkop DKI, Ini Baru Namanya Mainan
Aktivitas Dono di beberapa tempat juga membuat skripsinya terbengkalai beberapa lama. Dia membuat skripsi tentang sejauh mana pemerataan pendidikan mewujud di Delanggu, tempat tinggalnya.
“Saya yang jadi pencari data untuk skripsi Mas Dono. Saya juga yang jadi tukang ketiknya,” kata Rani sembari tertawa. Skripsi berjudul Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Murid di Sekolah: Studi Kasus SMP Negeri Desa Delanggu berhasil dipertahankan pada 1978.
Dono sah menjadi sarjana. Dia bergerak meninggalkan dunia kampus, mulai sibuk dengan grup Warkop, dan jadi komedian sohor. Tapi dia tak pernah meninggalkan pandangan kritisnya terhadap kesewenang-wenangan.
“Dia memang orang yang kritis,” kata Paulus.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar