Masuk Daftar
My Getplus

Tujuan Konsep Jabotabek Meleset?

Konsep Jabotabek dikritik karena bukan mengurangi tapi akan menambah beban Jakarta.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 18 Jul 2018
Penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Jabotabek berjubelan di pintu dan atap gerbong. Sumber : Domain Publik.

PAGI yang semarak di Stasiun Kota, Jakarta. Hiasan pita warna-warni dan karangan bunga ucapan selamat terpampang di suatu sudut stasiun.

Pagi itu, 29 Agustus 1977, Tjokropranolo, Pejabat (Pj.) Gubernur Jakarta pengganti Ali Sadikin, meresmikan penggunaan kereta api rel listrik dan diesel untuk tiga rute ke wilayah sekitar Jakarta (Botabek atau Bogor, Tangerang, dan Bekasi).

Kompas, 27 Agustus 1977, melaporkan rute kereta rel listrik dan diesel tersebut mencakup rute Tanjung Priok-Karawang Pergi Pulang (PP), Jakarta-Rangkasbitung PP, dan Jakarta Bogor PP.

Advertising
Advertising

Pejabat pemerintah berharap kereta Jabotabek mampu melayani 100.000 penumpang per hari dengan jarak kedatangan 15 menit sekali di tiap stasiun. Mereka juga memandang kereta Jabotabek sebagai salah satu perangsang pusat pertumbuhan baru di Botabek untuk mengurangi beban Jakarta.

Pembangunan Sarana Penunjang

Penduduk Jakarta telah berjumlah hampir 6 juta jiwa pada 1977. Wilayahnya seluas 587,62 km2. Ini berarti kepadatan penduduknya mencapai 8.334 penduduk per km2. Angka ini tergolong tinggi untuk kepadatan penduduk dalam sebuah kota.

Dari sisi ekonomi, Jakarta memegang lebih dari 50 persen sirkulasi uang nasional. Ada 329 proyek Penanaman Modal Asing (PMA) dan 687 proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jakarta pada 1977. Nilai investasinya lebih dari 50 persen dari seluruh proyek PMA dan PMDN nasional. Padahal penduduk Jakarta hanya 4,2 persen dari total penduduk Indonesia.

Para ahli ekonomi dan kota telah mewanti-wanti pembagian kue pembangunan yang jomplang sekaligus memusat ini. Dampaknya meliputi kerawanan dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka pemerintah daerah dan pusat mengikuti saran sejumlah ahli perencana kota untuk mengembangkan konsep Jabotabek.

Sebagian besar wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi masih berupa hamparan hijau. Di sanalah limpahan penduduk Jakarta akan disebar oleh pemerintah pusat dan daerah.

“Dikembangkan pusat-pusat permukiman perkotaan seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok agar menjadi tempat kediaman dan berusaha yang menarik, sehingga dapat menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru,” demikian Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi.

Untuk mewujudkan konsep Jabotabek, Pemerintah Daerah Jakarta dan Jawa Barat membentuk tim Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek. Pemerintah Pusat tak ketinggalan turut serta. Mereka mengoordinasikan pengembangan Jabotabek melalui tim Perencana Jabotabek.

Kerja dua tim ini merancang segala sarana pendukung Jabotabek seperti transportasi, listrik, air, permukiman, dan fasilitas umum. Perancangan transportasi massal di Jabotabek menekankan pada penggunaan kereta api, sesuai dengan Rencana Induk Jakarta 1965-1985.

Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menargetkan penggunaan kereta api sebesar 50 persen, bus 32 persen, dan kendaraan pribadi 18 persen. Tapi kenyataannya hingga 1979, penggunaan kereta api hanya sampai 1,2 persen. Penggunaan bus mencapai 69,9 persen, sedangkan kendaraan pribadi sebesar 39,2 persen.

Pembangunan listrik, air, permukiman, dan fasilitas umum terbagi ke banyak instansi pemerintah seperti PDAM, Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, dan Perumnas. Pihak swasta turut terlibat dalam penyediaan permukiman di wilayah Serpong, Tangerang, pada dekade 1980-an.

Pengembangan Jabotabek masuk babak baru pada 1981. Tim perencana berhasil menajamkan pengembangan Jabotabek melalui Metropolitan Development Plan.

Menurut Tommy Firman dalam Pembangunan Kota-Kota Baru di Wilayah Metropolitan Jabotabek”, termuat di Prisma, No. 6 tahun 1989, Metropolitan Development Plan telah menyebut pusat-pusat pertumbuhan yang lebih luas. Antara lain Balaraja, Tigaraksa, Serpong, Bumi Serpong Damai, Ciputat, Depok, Citereup, Cileungsi, Cimanggis, Leuwiliang, Cibulang, Cikarang, dan Parung.

Wilayah-wilayah tersebut mulai terhubung oleh jalan tol Jagorawi dan rel kereta. Tim perencana juga berupaya menambah alternatif gerak warga dengan menyediakan jalan lingkar luar Jakarta.

Sebuah jalan tol lainnya rampung pada 1984. Jalan ini menghubungkan Jakarta dan Pelabuhan Merak (poros Jakarta-Tangerang).

Di Jakarta, Pemda merencanakan pembangunan jalan layang di Tebet dan Tomang untuk menyokong gerak warga dari Jakarta ke Timur (Bekasi) dan Barat (Tangerang), atau sebaliknya.

Dekade 1990-an memperlihatkan perubahan signifikan pada wilayah Botabek. Pusat pertumbuhan baru bermunculan setelah pembangunan sebagian sarana penunjang kelar. Depok, wilayah pinggiran di selatan Jakarta, telah ikut masuk konsep sehingga mengubah Jabotabek menjadi Jabodetabek.

Pertumbuhan penduduk di DKI menunjukkan penurunan, dari 3,8 persen menjadi 2,4 persen pada 1994. “Sebaliknya populasi di wilayah Botabek yang berbatasan langsung dengan Jakarta meningkat dengan cepat dari 4 persen menjadi 9 persen,” catat Bernard Dorleans dalam “Dari Kampung ke Pengembangan Pemukiman” termuat di Jakarta Batavia Esai Sosio Kultural.

Konsep penglaju (commuter) pun mulai mengkhalayak untuk menyebut warga yang kerja di Jakarta, tapi bertempat tinggal di Botabek. Sebagian mereka pergi-pulang dengan kendaraan pribadi, lainnya naik angkutan massal. Mereka menghabiskan berjam-jam di jalan dan kendaraan hingga mengikis waktu pertemuan mereka dengan sesama tetangga atau kerabat.

“Jendela-jendela kendaraan itu seperti membingkai wajah-wajah ‘Aku’ yang masing-masing terpasung dalam dunianya sendiri,” tulis Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan Nasional, menggambarkan dampak sosial kepadatan jalan dan kendaraan di Jabotabek dalam esai reflektifnya yang termuat di Pentas Kota Raya.

Keadaan-keadaan demikian sebenarnya sudah pernah diprediksi para pengkritik konsep Jabotabek sejak 1970-an.

Kritik Jabotabek

Kritik awal terhadap konsep Jabotabek muncul pada 1974, setahun setelah konsep ini jadi bahan perbincangan khalayak. Melalui opininya di Kompas, 8 Maret 1974, Sumarkoco Sudiro, seorang pengamat kota menyatakan proyek Jabotabek berpotensi menambah kepemilikan rumah oleh orang kaya dan jumlah kendaraan pribadi.

“Pembangunan jalan lingkar luar dan jalan penghubungnya akan merangsang orang-orang kaya untuk punya dua atau tiga rumah, atau mungkin lebih. Kendaraan juga bakal menumpuk di jalan lingkar luar,” catat Sumarkoco. Dia menyimpulkan Jabotabek bukannya mengurangi beban Jakarta, tetapi bakal malah menambahnya.

Sementara itu, Dorodjatun Kuntjoro Djakti, kelak menjadi Dekan Fakultas Ekonomi UI, telah berupaya mengajukan konsep alternatif pola lain pengembangan kota. Dia tak menyerang langsung Jabotabek dan Rencana Induk Jakarta sebagai cantolan utamanya.

Dorodjatun lebih mengarahkan kritiknya pada orientasi pola pengembangan kota. Menurutnya sebagian besar kota di Asia Tenggara terlalu mengekor pola pengembangan kota di negeri Barat.

“Kita katakan bahwa pola pertumbuhan serta kebijaksanaan pengembangan kota yang ada dewasa ini berbau ‘Barat’ sebab apa yang terjadi adalah kota tersebut dimodernisasikan menuruti Master Plan Barat,” ungkap Dorodjatun dalam “Alternatif Baru Pertumbuhan Kota di Dunia Ketiga” termuat di Widyapura, No. 7-8, 1977.

Pengekoran pengembangan kota menurut pola Barat tidak selalu berhasil di negara berkembang seperti Indonesia. Sebabnya perbedaan karakter dan corak masyarakat. “Pola pertumbuhan serta kebijaksanaan pengembangan kota menuruti master plan Barat membawa pada dirinya, potensi peledakan sosial dan politik yang besar,” lanjut Dorodjatun.

Perkembangan Jabotabek pada 1990-an menunjukkan kebenaran para pengkritiknya. Dalam istilah Bernard Dorleans, Jabotabek telah menjadi “sebuah megalopolis yang terlalu padat dan sarat dengan kemacetan serta polusi."

Kepadatan, kemacetan, dan polusi menyimpan potensi dampak lanjutan. Sekarang para perencana kota berupaya membenahi Jabodetabek untuk mencegah dampak lanjutan itu.

Baca juga: 

Proses Lahirnya Konsep Pengembangan Jabotabek

TAG

Jabotabek Jakarta Metropolitan Tjokropranolo Masterplan

ARTIKEL TERKAIT

Samsi Maela Pejuang Jakarta Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Sri Nasti Mencoba Melepas Trauma 1965 dengan Suara Ketika Perayaan HUT RI Marak Lagi di Jakarta Buah dan Susu di Duren Tiga Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak” Tempat Jin Buang Anak Jejak Bung Karno di Jakarta Saksi Bisu Kerusuhan Mei 1998 di Glodok Warna-warni Mudik Lebaran Tahun Ini di Jakarta