Pernyataan Edy Mulyadi dalam video yang viral mengenai penolakannya terhadap pemindahan ibu kota negara menuai kecaman. Dia menyebut lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur sebagai “tempat jin buang anak”. Orang Kalimantan pun tak terima dan melaporkan Edy ke polisi.
“Bisa memahami enggak, ini ada tempat elite, punya sendiri yang harganya mahal, punya gedung sendiri, lalu dijual pindah ke ‘tempat jin buang anak’. Pasarnya siapa, kalau pasarnya kuntilanak, genderuwo, ngapain bangun di sana,” kata Edy disambut tertawa orang-orang di sekitarnya.
Baca juga: Kertanagara dan Nusantara
“Tempat jin buang anak” merupakan istilah yang digunakan masyarakat Betawi untuk menunjuk tempat-tempat di Jakarta yang masih sepi. Sebagai produk budaya, istilah ini kemungkinan terbentuk dari kepercayaan masyarakat Betawi terhadap jin.
Ensiklopedi Jakarta membahas soal kepercayaan masyarakat Betawi pada jin dalam entri “ruh”. Disebutkan bahwa masyarakat Betawi meyakini manusia bisa berhubungan dengan jin. Melalui upacara hadirin, jin bisa dipanggil dan datang meminjam raga yang memanggil. Ditilik dari sifatnya, ada jin baik dan ada jin jahat. Yang dipelihara, tentu jin baik. Jarang orang Betawi mengusir jin, kecuali jin jahat yang merasuk ke dirinya. Secara individual, mereka yang mengerti agama cenderung untuk koeksistensi damai dengan jin yang menghuni rumahnya. Orang Betawi menggunakan jasa jin untuk mengamankan sawah, empang, kebun, rumah, dan menjaga diri serta keluarga.
Menurut Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, masyarakat Betawi punya pantangan yang dapat mengganggu jin, yaitu menguruk sumur tua. Mereka beranggapan makhluk jin senang membangun pemukiman di sumur.
“Dasar pikirannya begini, jin itu terbuat dari api, tentu saja mereka kegerahan terus, sedangkan sumur tempat yang sejuk,” tulis Ridwan.
Baca juga: Ridwan Saidi dan Dapunta Hyang
Selain itu, lanjut Ridwan, dalam kepercayaan orang Betawi, jin adalah kekuatan nyata yang dapat diperintah dan dapat dikonservasi apakah di batu cincin atau golok.
“Pada golok berwafak juga terdapat baca’an hadirin, maka dalam bilah golok itu bersemayam makhluk jin, satu atau lebih, bahkan kadang 3000. Wafak memanggil jin juga terdapat dalam isim, yang biasanya diselipkan di gesper. Atau diraja’, artinya tubuh orang diwafak dengan cairan mistik atau buhur. Mereka yang diraja’ pada dirinya bersemayam jin,” tulis Ensiklopedi Jakarta.
Baca juga: Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia
Jin juga hadir dalam cerita dan teater rakyat Betawi. Jakob Soemardjo, kritikus sastra dan seni, dalam Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia menyebut bahwa lenong adalah bentuk teater rakyat yang paling populer di wilayah Betawi. Ada dua jenis lenong berdasarkan bahasa dan materi cerita, yaitu lenong dines dan lenong preman.
Lenong preman yang menggunakan bahasa Betawi sehari-hari (Melayu-Betawi) memainkan cerita kehidupan rakyat Betawi sehari-hari. Sedangkan lenong dines menggunakan dialog bahasa Melayu Tinggi yang menekankan unsur humor dan lawak.
“Lenong dines mementaskan cerita-cerita hikayat lama yang berlangsung di istana-istana dengan tokoh-tokoh raja, putri, dan jin-jin,” tulis Jakob.
Baca juga: Lenong Menembus Lorong (Zaman)
Tempat-tempat Sepi
Setelah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat Kalimantan, Edy kemudian meminta maaf. Dia beralasan bahwa “tempat jin buang anak” adalah istilah biasa di Jakarta untuk menggambarkan tempat yang jauh. Istilah ini menjadi tidak biasa dan menimbulkan masalah ketika digunakan untuk menunjuk daerah lain.
Sejak kapan istilah “tempat jin buang anak” digunakan, belum diketahui pasti. Namun, istilah ini telah jamak digunakan pada 1960-an untuk menunjuk tempat-tempat di Jakarta yang masih sepi.
Alwi Shahab, wartawan dan sejarawan Betawi, dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, menyebut bahwa menjelang Perang Dunia II penduduk Batavia berjumlah 665 ribu jiwa. “Kala itu, Kebayoran Baru [Jakarta Selatan] yang baru dibangun tahun 1948 masih merupakan ‘tempat jin buang anak’,” tulis Alwi.
Baca juga: Selayang Pandang Kisah Mampang
Selain Kebayoran Baru, Alwi dalam bukunya yang lain, Robinhood Betawi, Kisah Betawi Tempo Doeloe, menyebut Kemang di Jakarta Selatan pada 1960-an dan 1970-an juga sangat sepi, hampir seluruh penduduknya orang Betawi yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perkebunan, sedangkan pendatang bisa dihitung dengan jari.
Alwi ingat cerita ketika Mohammad Nahar, pemimpin redaksi Kantor Berita Antara, diolok-olok teman-temannya karena pindah ke Jl. Bangka, tempat paling bergengsi di Kemang saat ini: “Anda tinggal di tempat jin buang anak”.
Namun, pada 1980-an, Kemang dan Kuningan di Jakarta Selatan dibangun sebagai kota satelit baru. Willard A. Hanna, direktur Kantor Penerangan Amerika Serikat (USIS), dalam Hikayat Jakarta menyebut Kemang setaraf Forbes Park, kota satelit paling megah di Filipina. Di sini tinggal para eksekutif perusahaan-perusahaan asing, pegawai badan-badan PBB, dan anggota-anggota misi diplomatik.
Baca juga: Awal Mula Pembangunan Ancol
Begitu pula dengan Ancol di Jakarta Utara. Kawasan ini dianggap tidak layak untuk ditempati karena menyeramkan, berawa-rawa dan bersemak-belukar sehingga menjadi sarang penyakit malaria, bahkan dikenal sebagai “tempat jin buang anak”.
“Berkat jasa beliaulah (Soekardjo Hardjosoewirjo, red.), Ancol, yang dulu oleh masyarakat Betawi dikenal sebagai ‘tempat jin buang anak’, kini berubah total menjadi kawasan permukiman, industri, dan tempat rekreasi yang indah serta nyaman bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya,” tulis Yusufpadi, testimoni dalam biografi Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol.
Ancol yang mulai dibangun pada 1966 telah menjadi kawasan wisata terpadu kebanggaan ibu kota Jakarta. Sebentar lagi Ancol akan mendunia karena menjadi tempat balapan Formula E yang semula akan digelar di Monas.