Kata “nusantara” menjadi trending topic dan polemik setelah Presiden Joko Widodo memilihnya sebagai nama ibukota baru yang akan dibangun di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Nusantara pun sepertinya tak akan lagi menjadi sebutan bagi Indonesia karena ia adalah nama ibukota.
Kata “nusantara” paling awal ditemukan dalam prasasti masa Kerajaan Singhasari. Rendra Agusta, filolog Komunitas Sraddha, menjelaskan dalam utasnya, bahwa secara epigrafi kita mengenal istilah "nusantara" dalam prasasti Mūla Malurung tahun 1177 Saka (1255 M.).
Penggalannya seperti ini: “mwaŋ dumadyakěn wŕ (4) ddhi niŋ yaśānurāga nira narāryya smi niŋ rāt. prakaśita riŋ nūśa para nūśa. tinūt=i parāmadigwijaya nira narāryya (5) smi niŋ rāt. an mahakěn samalělö niŋ sayawadwīpa mańůala. anūlūya ni nūsāntara”.
Artinya “kedudukan Sang Prabhu menjadikan lebih teguh di singgasana emas dan menjadikan ujian bagi kemasyhuran atas kebajikannya Narāryya Smi ning rāt yang menonjol di seluruh mandala Pulau Jawa dilanjutkan ke [seluruh] Nusantara.”
“Prasasti ini menyebutkan penguasa kerajaan-kerajaan daerah di wilayah kerajaan Singhasari. Kemudian [kata "nusantara"] disinggung lagi dalam Prasasti Adan-adan tahun 1223 Saka (1301 M.) dan Balawi tahun 1227 Śaka (1305 M.),” cuit Rendra di twitter-nya, @KangRendra (17/01).
Baca juga: Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya
Dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno dijelaskan bahwa Prasasti Mūla Malurung dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya, Raja Wisnuwarddhana. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa Kertanagara telah dinobatkan sebagai raja di Daha yang memerintah seluruh daerah Kadiri. Dia disebut dengan nama Nararyya Murdhaja. Sebagai putra mahkota, dia berkedudukan sebagai raja muda (yuwaraja atau kumararaja). Biasanya raja muda ini sebelum menjadi raja yang berkuasa penuh diberi kedudukan sebagai raja di suatu daerah.
Sebelum tahun 1190 Saka (1268 M.) Kertanagara belum memerintah sendiri sebagai raja Singhasari. Dia masih memerintah di bawah bimbingan ayahnya, Raja Wisnuwarddhana. Oleh karena itu, di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan Kertanagara sebelum tahun 1268 M., yaitu sebelum ayahnya meninggal, selalu terdapat istilah makamangalya artinya “di bawah pengawasan” atau “dengan bimbingan”.
Baca juga: Kertanagara Melawan Kubilai Khan
Sementara itu, menurut Jarrah Sastrawan, sejarawan Asia Tenggara di EFEO Paris yang mengkhususkan diri dalam Jawa abad pertengahan, pada saat itu, Wisnuwarddhana yang bertakhta sebagai raja. Dapat dikatakan Wisnuwarddhana yang mengeluarkan Prasasti Mūla Malurung. Namun, situasinya tidak biasa. Wisnuwarddhana melibatkan raja bawahannya dalam proses mengambil keputusan. Keadaan politik Jawa tahun 1250-an kiranya cukup rumit.
"Ini adalah situasi yang cukup rumit yang belum sepenuhnya saya pahami. Wiṣṇuwarddhana adalah raja yang memerintah yang membuat keputusan, tetapi para penguasa lain, khususnya Keṛtanagara tampaknya telah diajak berkonsultasi dalam proses tersebut. Saya berharap dapat mengerjakan terjemahan baru kapan-kapan," cuit Jarrah dalam akun twitter-nya, @infiniteteeth (20/1).
Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno menyebut bahwa baru pada 1191 Saka (31 Oktober 1269 M.) Kertanagara mengeluarkan prasasti tanpa menyebut makamangalya. Dalam Prasasti Penampihan atau Prasasti Sarwadharmma ini ditemukan kata “nusantara”. Prasasti ini disebut juga Prasasti Gunung Wilis karena ditemukan di lereng Gunung Wilis yang terletak di Jawa Timur.
St. Munadjat Danusaputro, guru besar hukum laut dan lingkungan, dalam Wawasan Nusantara, menjelaskan bahwa J.L.A. Brandes –ahli filologi, epigrafi, dan leksikografi dari Belanda– pada abad ke-19 menunjukkan Prasasti Gunung Wilis dalam karyanya, Oud-Javaansche Oorkonden. Kata “nusantara” dalam prasasti itu, yang setelah dialih tulis ke dalam huruf Latin, terdapat pada hal. 2-a, baris ke-3, huruf perpaduan ke-3, sebagai berikut: “ya, paranitińja, nūsāntaramadhuranāthānaklakārana,…”
“Adapun terjemahannya adalah sebagai berikut: ‘ya, ahli dalam politik luar negeri, bersahabat dengan raja-raja Madura dan Nusantara’,…” tulis Munadjat yang pernah menjadi Ketua Tim Penyebarluasan Wawasan Nusantara pada masa Orde Baru.
Baca juga: Sukarno Ingin Ibukota Tetap di Jakarta
Menurut Munadjat, kata “nusantara” merupakan terjemahan dari kata Sanskerta, “dwipantara”. Kata “dwipantara” terdapat dalam kitab Ramayana yang ditulis pada 300–415 M selama pemerintahan Raja Gupta di lembah Sungai Gangga, India Timur.
“Dwipantara berarti kumpulan pulau-pulau yang terletak di antara muara Sungai Gangga dan pelabuhan di Cina, yang lazimnya ditunjukkan kepada kumpulan pulau-pulau dari Nikobar sampai Kepulauan Bischmark. Dalam terjemahannya menjadi Nusantara, artinya menunjukkan kumpulan pulau-pulau di luar Majapahit,” tulis Munadjat.
Kata “nusantara” dalam Prasasti Gunung Wilis dapat dikaitkan dengan pandangan politik Kertanagara ke luar Pulau Jawa. Raja terbesar Singhasari ini ingin menjadikan Singhasari sebagai kerajaan besar.
Baca juga: Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan, semangat Kertanagara bisa dimengerti karena setiap raja memiliki impian menjadikan kerajaannya yang terbesar.
“Sehingga sebutan politiknya dari cakrawala mandala Jawa era pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasinghamurti, menjadi cakrawala mandala dwipantara,” kata Dwi.
Kertanagara pun mengirim ekspedisi ke Sumatra (Pamalayu), Bali, Pahang (Malaysia), Gurun (pulau di timur Nusantara), Bakulapura atau Tanjungpura (Kalimantan), Sunda, dan Madura.
Baca juga: Raja Kertanagara Menginspirasi Gajah Mada
Gagasan politik Kertanagara kemudian menginspirasi Mahapatih Gajah Mada yang bersumpah akan menyatukan Nusantara di bawah Majapahit.
“Gajah Mada meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh dwipantara atau Nusantara yang awalnya telah dirintis Kertanagara,” tulis Agus Aris Mundandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Gajah Mada Biografi Politik.
Menurut Agus, Sumpah Palapa dapat dianggap sebagai pernyataan politik. Apa yang dinyatakan Gajah Mada itu adalah tujuan pemerintahan yang harus dicapai agar Majapahit disegani di seluruh Nusantara.
Barangkali karena itulah, menurut Munadjat, Ensiklopedia Indonesia menerangkan bahwa nusantara adalah “1) dalam sastra Indonesia (Jawa) kuno, artinya: ‘pulau-pulau yang lain’ (di luar Jawa), yakni: rantau di daerah takluk dan daerah-daerah yang bersahabat dengan Kerajaan Singhasari (kemudian Majapahit).”
Penyerapan
Selain secara epigrafi, Rendra juga menjelaskan kata “nusantara” secara filologi dan etimologi. Secara filologi, istilah nūsāntara ditemukan dalam Nāgarakṛtāgama Nag 79.3 yang berbunyi “taṅ nūsāntare i Bali” yang berarti “itulah bagian dari kepulauan (di) Bali dst.”
Dalam Wirāṭaparwa 78.4 juga ditemukan istilah “niṅ nūsa ri madhya niṅ samudra” yang artinya “di pulau di tengah lautan”.
Secara etimologi, kata nūsāntara merujuk pada bahasa Jawa Kuna dari kata nūsa dan kata antara. Di kemudian hari, konsistensi vokal panjang tidak dipertahankan dalam kesusasteraan terjemahan di era Jawa Baru, semisal manuskrip Pararaton Mangkudimeja, jelas menyebut “adurunge samya nungkul Nusantara Pulo Bali Gurun Seran Tanjungpura Haru Pahang lan Tumasik Dhompo dst.”
Dengan demikian, menurut Rendra, kemungkinan kata “nusantara” dari bahasa Jawa Baru inilah yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia, kata nūsa berarti “pulau” sedangkan kata antara berarti "interval, interspasial, jarak, di antara". Sehingga nūsāntara berarti "di antara pulau-pulau, kepulauan, pulau di antara pulau yang lain, dan tafsir lainnya".
“Kata 'nusantara' pun agaknya memang sudah umum dipakai di Indonesia," sebut Rendra. "Sebagai produk kebudayaan Indonesia, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘nusantara’ berarti sebutan (nama) bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.”
*Tulisan ini diperbarui pada 20 Januari 2022.