ANGAN-angan menyatukan Nusantara, cakrawala mandala dwipantara, sudah dimiliki Raja Kertanagara (1268-1292), hampir seabad sebelum Gajah Mada menyatakan Sumpah Palapa. Gagasan politik raja Singhasari itulah yang menginspirasi Sang Mahapatih untuk bersumpah menyatukan Nusantara di bawah Majapahit.
“Gajah Mada meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh dwipantara atau Nusantara yang awalnya telah dirintis Kertanagara,” tulis Agus Aris Mundandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Gajah Mada Biografi Politik.
Menurut Agus, Sumpah Palapa dapat dianggap sebagai pernyataan politik. Apa yang dinyatakan Gajah Mada itu adalah tujuan pemerintahan yang harus dicapai agar Majapahit disegani di seluruh Nusantara.
Baca juga:
Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat
Wajah Lain Gajah Mada
Berkaca dari Gajah Mada
Spirit Kejayaan
Di antara raja-raja Singhasari, Kertanagara yang pertama memiliki pandangan politik ke luar Jawa. Raja terakhir dan terbesar Singhasari itu tergerak untuk menjadikan Singhasari sebagai kerajaan besar.
Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, semangat Kertanagara ini bisa dimengerti karena setiap raja memiliki impian menjadikan kerajaannya yang terbesar. “Glory itu menjadi spirit,” kata Dwi ketika dihubungi Historia.
Pandangan luas Kertanagara itu didukung basis politik dan militer yang dibangun sejak masa ayahnya, Raja Wisnuwardhana. Prasasti Mulamalurung (1255) menyebut saat itu administrasi pemerintahan dibagi ke dalam delapan nagari. Masing-masing anggota keluarga mendapat kekuasaan sebagai vasal.
“Dikokohkan secara birokrasi militer. Ini politik berbagi kekuasaan agar benturan politik di lingkungan keluarga bisa diminimalkan,” jelas Dwi.
Kertanagara kemudian meluaskan wawasan politik itu. Cita-citanya ditingkatkan dari menyatukan Jawa menjadi Nusantara. “Sehingga sebutan politiknya dari cakrawala mandala Jawa era pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasinghamurti, menjadi cakrawala mandala dwipantara,” lanjut Dwi.
Kertanagara dinobatkan menjadi raja muda ketika ayahnya masih memerintah Singhasari pada 1254. Baru pada 1269, dia mengeluarkan prasasti tanpa menyebut makamangalya ayahnya, yang artinya “di bawah pengawasan.” Enam tahun kemudian, dia mengirim tentaranya untuk ekspedisi ke Malayu (Pamalayu). Untuk mempererat hubungan dengan kerajaan di Sumatera itu, pada 1286 dia mengirim hadiah arca Buddha Amoghapasa. Empat orang pejabat tinggi dari Jawa memimpin penempatannya di Dharmasraya.
Pada arca itu, Buddha Amoghapasa terpahat bersama 14 pengiringnya dan tujuh permata (saptaratna). Semuanya dilukiskan pada alas arca, berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah. Saptaratna merupakan lambang seorang cakrawartin, merujuk pada sosok penguasa jagad yang ideal. Kemungkinan Kertanagara pun benar-benar mengirimkan seorang putri, dua orang pejabat, seekor gajah, seekor kuda, senjata cakra, dan permata kepada Raja Mauliwarmadewa.
Arca itu kemudian ditemukan kembali di daerah Sungai Langsat dekat Sijunjung di daerah hulu Sungai Batanghari.
“Semoga hadiah ini membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmana, ksatrya, waisya, sudra dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa,” ungkap tulisan dalam Prasasti Padang Roco pada bagian alas arca itu.
Prasasti Padang Roco ditulis dengan aksara Jawa Kuno memakai Bahasa Melayu Kuno dan Sanskerta. Lewat prasasti itu juga diketahui, kedudukan Kertanagara lebih tinggi dibanding Raja Malayu. Kertanagara memakai gelar Maharajadhiraja. Sementara Mauliwarmadewa memakai Maharaja.
“Walaupun dalam Nagarakrtagama disebut ekspedisi itu menundukkan, menurut saya ini semacam MoU sebagai mitra sejajar,” jelas Dwi.
Pada 1284, pergerakan Kertanagara makin meluas dengan menaklukkan Bali. Rajanya ditawan dan dibawa ke Singhasari. Setelah itu, sebagaimana tertulis dalam Negarakrtagama, Kertanagara menundukkan Pahang di Malaysia, Gurun (pulau di wilayah timur Nusantara), Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan.
“Tidak perlu disebutkan lagi Sunda dan Madura, karena seluruh Pulau Jawa tunduk di bawah kekuasaan Kertanagara,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama.
Bisa dibilang, Prapanca ingin mengatakan, seluruh wilayah Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Nusantara bagian timur, dan seluruh Pulau Jawa kala itu sudah dikuasai Kertanagara. Ungkapan ini juga muncul dalam prasasti yang ada di belakang arca Camundi dari Desa Ardimulyo, Malang. Prasasti dari tahun 1292 itu mengatakan arca Bhattari Camundi ditahbiskan sewaktu Sri Maharaja menang di seluruh wilayah dan menundukkan semua pulau lainnya. “Entah benar atau secara simbolis,” tulis Sejarah Nasional Indonesia II.
Setelahnya Kertanagara mengadakan hubungan dengan Champa. Petunjuk adanya hubungan itu terdapat dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari tahun 1306. Disebutkan di sana seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Dia adalah adik Kertanagara yang menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307).
Baca juga:
Gajah Mada dan Islam di Majapahit
Gajah Mada Memadamkan Pemberontakan Kuti
Gajah Mada Ngalap Berkah
Setelah jatuhnya Singhasari, hubungan dengan berbagai wilayah luar Jawa tidak lagi berkembang. Majapahit pada awalnya belum memperhatikan wilayah lain di Nusantara. Raden Wijaya terlalu sibuk dengan berbagai pemberontakan dan intrik politik internal Majapahit. Begitu pula pada masa pemerintahan raja kedua, Jayanagara (Baca: Benarkah Jayanagara Dalang Pembunuhan Jayanagara?).
Sebagai langkah awal setelah mengucapkan Sumpah Palapa, Gajah Mada mendirikan bangunan suci keagamaan (caitya) bagi Kertanagara yang dikaguminya. Baru kemudian dia mengembangkan pemikiran tentang dwipantara mandala.
Prasasti Gajah Mada (1351) memberikan petunjuk bahwa Gajah Mada mendirikan catya bagi Kertanagara. Sebagai Sang Mahamantrimukya atau Mahamantri yang terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri. Dia juga berhak memberi titah untuk membangun catya bagi tokoh yang telah meninggal.
Kertanagara gugur di istananya beserta patihnya Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang. Candi Jawi banyak dikaitkan sebagai pendharmaan Kertanagara. Candi ini diperkirakan dibangun setelah upacara Sraddha, 12 tahun setelah Kertanagara meninggal pada 1292.
Menurut Agus, cantya yang dibangun atas perintah Gajah Mada sangat mungkin adalah Candi Singhasari. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman candi itu. Ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara di Candi Singhasari. Pertama, dia ingin mencari acuan legitimasi pembuktian Sumpah Palapa. Kedua, dengan membangun catya, seakan Gajah Mada sedang ngalap berkah atau minta restu kepada Kertanagara yang telah bersatu dengan dewa-dewa.
“Baginya, tokoh Kertanagara adalah raja besar yang patut dijadikan teladan, layak mendapatkan pemujaan dan pemuliaan walaupun dia telah tiada,” kata Agus.
Dalam Prasasti Gajah Mada juga terdapat julukan lain bagi Sang Mahapatih, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara. Nama itu mungkin sekadar gelar, namun bisa juga dipandang sebagai nama resminya.
Jirnnodhara artinya pembangun sesuatu yang baru atau pemugar sesuatu yang telah runtuh atau rusak. Dalam arti harfiah, Gajah Mada adalah pembangun Candi Singhasari. Namun, dia juga pemugar dan penerus gagasan Kertanagara dalam dwipantara mandala.
“Gagasan itu seakan lenyap setelah kematian Kertanagara, tertutup oleh berbagai peristiwa susul-menyusul di Tanah Jawa bagian timur,” ujar Agus.
Tak hanya oleh Gajah Mada, Kertanagara pun dikenang dalam Nagarakrtagama sebagai raja yang termasyur namanya. “Di antara para raja lampau tak ada yang setara dengannya,” kata Prapanca. “Paham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama, adil, teguh, dan Jinabrata dan tawakal kepada laku utama, itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung.”