Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) terletak di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Pada masa kolonial Belanda, jalan itu bernama Nassau Boulevard termasuk dalam kawasan Nieuw Gondangdia (sekarang Menteng). Pembangunan jalan ini bermula dari pengembangan Batavia ke wilayah Selatan, yaitu Weltevreden yang meliputi Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang Gambir dan Medan Merdeka) pada akhir abad ke-18.
“Di mana banyak terdapat kantor dan bangunan pemerintah,” tulis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Pegawai kantor pemerintah memerlukan tempat tinggal. Hunian ini mengambil lokasi tak jauh dari Weltevreden. Menteng nama lokasi itu. Masih berupa tanah partikelir milik saudagar asal Hadramaut.
Baca juga: Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason
Dirancang Moojen
Kepemilikan wilayah Menteng beralih ke perusahaan De Bouwploeg, bergerak di bidang Real Estate, pada 1908. Perusahaan itu membeli tanah seluas 295 rijnlandsche roeden atau setara 69 hektar dengan harga f.238.870.
“Supaya tanah yang baru diperoleh ini digunakan untuk daerah pemukiman bagi masyarakat golongan atas, yang semakin banyak berkedudukan di Batavia dan mencari rumah-rumah yang sesuai dengan kemampuan finansial mereka,” tulis Adolf Heuken dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
Selain Menteng, peralihan kepemilikan juga terjadi pada wilayah Gondangdia. Wilayah ini bertetangga dengan Menteng. Tadinya dimiliki oleh orang kaya berkebangsaan Belanda. Tetapi pada 1910, Gondangdia dibeli oleh Bouw- en Cultuurmaatschappij Gondangdia senilai f.217.724 untuk luas 315 rijnlandsche roeden atau setara 73 hektare.
Baca juga: Jalan dan Ruang yang Hilang di Jakarta
Setelah urusan pembelian tanah kelar, pemerintah Kotapradja Batavia membentuk kondangdia-comissie untuk merancang wilayah Menteng. Saat itu Menteng bernama Nieuw-Gondangdia. Seorang arsitek bernama P.A.J. Moojen termasuk menjadi anggotanya. Dia memelopori gaya bangunan indische bouwstjil baru.
Indische bouwstijl ala Moojen memiliki ide bahwa gaya bangunan bergantung pada iklim, tempat, bahan bangunan tersedia, dan tenaga kerja setempat. Ini pandangan baru dalam arsitektur di Hindia Belanda.
“Sebelum abad ke-20 tidak ada arsitek profesional yang datang ke Hindia. Orang-orang Eropa hanya mengaplikasikan apa yang mereka kenali dari Eropa,” tulis Mohamnmad Nanda Widyarta dalam “Tampilan Hindia Melalui Arsitektur” termuat di Tegang Bentang Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia.
Baca juga: Hikayat Gedung Para Kapiten
Moojen juga menghadirkan gagasan baru dalam perancangan wilayah di Hindia Belanda. “Untuk pertama kalinya di Indonesia perluasan sebuah kota dilakukan dengan perencanaan yang matang,” tulis Adolf Heuken.
Moojen merancang Nieuw Gondangdia dengan suatu boulevard atau jalan lebar berbentuk radial. Jalan itu mengelilingi sebuah lapangan bundar di tengahnya. Kelak lapangan ini bernama Taman Suropati. Di depan Taman Suropati inilah membentang sebuah boulevard radial dari timur ke barat.
Boulevard itu terbagi atas dua seksi: Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) di timur dan Nassau Boulevard (sekarang Jalan Imam Bonjol) di barat. Dua jalan ini dirancang sebagai satu kesatuan yang serasi.
Pohon-pohon besar tertanam di tengah Boulevard dan kelak deretan rumah bertingkat berada di sepanjang tepi jalannya dengan kebun luas. Bentuk rumah itu menyesuaikan iklim tropis. “Sehingga menciptakan suasana rapi dan asri pada beberapa jalan di Menteng,” lanjut Adolf.
Gedung KPU
Tetapi hingga sebelum Perang Dunia II, bangunan di Nassau Boulevard kalah ramai oleh jalan-jalan lainnya di kawasan Nieuw Gondangdia. Nassau Boulevard mulai ramai bangunan memasuki dekade 1950-an. Ketika itu namanya telah berubah jadi Jalan Imam Bonjol.
“Maka di Jalan Imam Bonjol cukup banyak bangunan baru didirikan pada tahun 1950-an, namun dalam gaya bangunan pra-perang. Diantaranya terdapat rumah kopel, yang walaupun besar agak sederhana perancangan serta pelaksanaannya,” tulis Adolf Heuken.
Baca juga: Villa Isola dari Vila Mewah hingga Sunda Empire
Selain rumah kopel, berdiri juga sebuah bangunan milik Perkebunan Negara pada 1955. Gedung ini hasil rancangan arsitek Belanda bernama A.W. Gmelig Meyling. Dia bekerja sebagai wakil direktur di biro Ingeneren-Vrijburg NV (BIV) di Bandung.
Meyling sempat ditahan pada masa pendudukan Jepang. Kemudian dibebaskan setelah kemerdekaan dan menjadi profesor luar biasa di Institut Teknologi Bandung. Dia berpraktik di Indonesia hingga 1957.
Sentuhan Meyling pada Gedung Pusat Perkebunan Negara memiliki ciri khas unsur kubistis kuat. “Seluruh tampak muka dirancang dengan pembias (louvre) untuk mencegah sinar matahari masuk ruang-ruang kerja,” tulis Adolf Heuken. Ciri ini tampak pula dalam gedung Societeit Country Club Concordia di Bandung dan Gedung Kantor GEBED di Sukabumi.
Baca juga: Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat
Gedung Pusat Perkebunan Negara (PPN) kemudian beralih fungsi menjadi kantor Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada 1987. LPU tadinya berkantor di Jalan Matraman Raya No. 40, Jakarta Timur. Tapi Kantor di Matraman itu sudah tidak layak lagi untuk mendukung pekerjaan staf LPU. “Dalam pada itu LPU harus pindah dari Jl. Matraman Raya 40 ke Jl. Imam Bonjol, bekas gedung PPN,” tulis buku Lampiran VI Pemilihan Umum 1987.
Sejak itulah Jalan Imam Bonjol sering jadi pusat perhatian orang saban Pemilu. Setelah Reformasi, berbagai demonstrasi kerap kali terjadi di Jalan Imam Bonjol, depan gedung KPU.